Donor Darah dan Tubuh
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Darah juga adalah obat. Transfusi darah menyelamatkan nyawa banyak penderita. Usaha pengobatan merupakan salah satu cara yang memberi harapan bagi manusia untuk memperpanjang usia. Manusia bisa menolak atau menunda renggutan maut, karena ada jenis kematian yang belum waktunya (akalamarana).
Di antara mereka yang menderita sakit, ada yang akan sembuh, ada pula yang tidak akan sembuh hingga meninggal dunia. “Sebagian orang akan menjadi sembuh apabila ia mendapatkan diet atau obat atau perawatan yang tepat, tetapi tidak akan sembuh apabila mendapatkan diet atau obat atau perawatan yang salah.”[1]
Darah untuk menyelamatkan manusia itu hanya diperoleh dari manusia juga. Darah diberikan oleh para donor. Semua orang membenarkan bahwa menjadi donor darah berarti melakukan perbuatan baik. Tetapi sikap ini seringkali tidak diikuti dengan perbuatan nyata. Cukup banyak orang yang tidak memiliki keberanian untuk menjadi donor darah.
Ada yang khawatir bahwa kesehatannya sendiri akan terganggu bila menjadi donor. Padahal dokter atau petugas kesehatan lain tentu melakukan pemeriksaan sebelumnya. Kesehatan atau keselamatan donor sebagaimana dengan resipien tidak mungkin diabaikan. Sel-sel darah sebenarnya dibatasi umur tertentu. Mereka akan hancur dan tubuh memproduksi yang baru. Darah yang disumbangkan itu dengan segera juga dibuat gantinya oleh tubuh sendiri.
“Rasa belas dan kasih, digugahkan kepada setiap makhluk yang merasakan adanya penderitaan, oleh Satwa Wisesa, sifat hakikat Tuhan sebagai Pengasih dan Penyayang.”[2] Mengurangi dan menyingkirkan penderitaan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi tema sentral dari ajaran Buddha. Untuk itu diperlukan kasih sayang dan belas kasihan, ketulusan dan keberanian berkorban tanpa pamrih. Para Bodhisattwa melaksanakannya. Kisah Bodhisattwa terhimpun dalam kitab Jataka khususnya sebagian ditemukan pada relief candi. Cerita-cerita itu memperkenalkan semangat Bodhisattwa pada anak-anak sejak dini.
Misal Bodhisattwa yang menjelma sebagai kelinci, menyerahkan jiwa dan raga untuk menyambung hidup seorang petapa tua yang arif tetapi rapuh tubuhnya. Atau Bodhisattwa sebagai seekor gajah yang mengorbankan diri untuk menolong orang-orang yang kelaparan di padang pasir. Penyu raksasa menyelamatkan ratusan jiwa manusia yang hampir tenggelam karena kapal dilanda topan, lalu merelakan dirinya menjadi makanan orang. Pengorbanan itu hanya mungkin dilakukan oleh makhluk yan penuh cinta kasih, yang mencari penyempurnaan diri melalui kebajikan dan mencampakkan keakuan (egoisme).
Raja Sivi mendonorkan matanya kepada seorang brahmin yang tunanetra sebagai amal dari orang beriman, yang terdorong oleh cinta kasih, dan bukan karena suatu pamrih. “Pengetahuan mengenai kebenaran dan kesucian hati seribu kali lebih berharga daripada mata manusia,” demikian katanya.[3]Mengorbankan hidup untuk kesejahteraan atau kebahagiaan orang lain serta menyumbangkan bagian tubuh sendiri merupakan dana yang tinggi nilainya (dana-paramita) dalam penyempurnaan diri.
Bagian tubuh yang lazim disumbangkan adalah darah. Ini datang dari orang yang hidup sehat. Belakangan ini donor ginjal mulai dikenal. Organ untuk transplantasi antara lain ginjal dan kornea mata dapat berasal dari jenazah. Orang yang sudah mati masih mendapat kesempatan menolong orang yang masih hidup. Untuk itu, sebelum mati orang yang bersangkutan perlu membuat surat wasiat dan keluarganya sepakat mengizinkan.
Mati secara makro ditandai berhentinya kegiatan otak, jantung, dan pernapasan. Pada saat kematian itu, komponen rohani yang dinamakan patisandhi-citta, yang oleh umum disebut jiwa, muncul seketika dalam kehidupan lain yang baru. Dengan demikian tiada lagi ada hubungannya dengan jenazah yang ditinggalkan. Kematian secara makro belum berarti kematian secara mikro atau partikular. Karena itu ada bagian-bagian dari jasmani orang mati yang masih hidup dan dapat dimanfaatkan untuk transplantasi. Hanya saja usianya amat terbatas.
Unit jasmani terdiri dari elemen fisik yang mempunyai bentuk, merupakan suatu yang dapat berubah, bercerai, padam oleh kondisi yang berlawanan seperti panas dan dingin (ruppanatiti rupam). Secara analitik dalam kitab Abhidhamma dibedakan adanya dua puluh delapan unsur materi yang terdiri dari empat elemen primer (maha bhuta rupa) dan dua puluh empat elemen sekunder yang tergantung pada elemen primer (upadaya rupa).
Maha bhuta rupa meliputi: elemen tanah/padat (pathavi) berfungsi sebagai penyokong dan memberi sifat keras atau lunak, elemen air/cair (apo) berfungsi sebagai pengikat dan memberi sifat kohesi atau arus, elemen api/panas (tejo) berfungsi sebagai pematurasi dan memberi sifat panas atau dingin, elemen angin/gerak (vayo) berfungsi dalam pergerakan dan memberi sifat ekspansi atau kontraksi. Upadaya rupa meliputi bermacam-macam elemen, misalnya ada yang bekerja sebagai teseptor, stimulan, dan sebagainya.
Setelah ajal, jasmani hancur kembali. Elemen padat kembali menjadi tanah, elemen cair menjadi air, elemen panas dan gerak kembali pada atmosfer. Tanpa mengurangi penghormatan kepada jenazah, daripada membiarkan mayat busuk tersia-sia, tentu jauh lebih baik mendanakannya untuk kepentingan orang banyak.
Kegiatan donor darah dan tubuh membuka ladang pahala dan menanam jasa. Ada yang menghimpun donor darah. Boleh juga ada yang menghimpun calon donor jenazah. Menjadi donor jelas bukan menjual atau mencari imbalan. “Lima macam perdagangan yang harus dihindarkan: berdagang senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging, berdagang minuman keras, dan berdagang racun.”[4]
27 Januari 1988
[1] Anguttara Nikaya III, 3;22
[2] Sanghyang Kamahayanikan
[3] Jataka 499
[4] Anguttara Nikaya V, 18;177