Olahraga dan Olah Batin
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Ray Ewry menderita lumpuh karena polio dan mesti belajar berjalan lagi. Namun ia berhasil menjadi juara loncat tinggi, lompat jauh, dan lompat jangkit dengan sepuluh medali emas dari Olimpiade 1900 sampai dengan 1908. Begitu pun Wilma Rudolph yang ketika masuk sekolah harus digendong ibunya, berhasil menjadi wanita tercepat di dunia dengan tiga medali emas dalam Olimpiade 1960.
Mereka tahu benar mengapa dan untuk apa olahraga itu Seperti juga orang-orang yang mengikuti olahraga jantung sehat, mestinya sedikit pun tidak ragu bahwa olahraga merupakan bagian dari cara hidup yang sehat. Seorang dokter akan menasihati pasien yang lemah mentalnya, yang terganggu stres atau gelisah misalnya, untuk melakukan olahraga. Melalui olahraga dapat diharapkan adanya kondisi fisik dan mental yang prima sehingga mampu meningkatkan prestasi kerja sehari-hari, selain mencapai prestasi dalam olahraga itu sendiri. Dalam rangka pembinaan bangsa, pendidikan dan kegiatan olahraga diperlukan sebagai cara untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani bagi setiap orang. Oleh karena itu sangat beralasan untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.
“Dalam tubuh yang panjangnya sedepa ini, dengan kesadaran dan persepsinya, Aku nyatakan adanya penderitaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan untuk mengakhiri penderitaan,” demikian dinyatakan oleh Buddha.”[1]
Bagaimana seseorang mengatasi penderitaan atau kekurangannya sangat tergantung pada sejauh mana ia mengenali dan mengembangkan dirinya. Apa yang dinamakan diri itu jelas tidak hanya fisik, tetapi juga pikiran atau mental. Fisik memerlukan olahraga dan pikiran memerlukan olah batin untuk menyempurnakan manusia yang seutuhnya,
Olahraga seringkali dipandang tidak jelas hubungannya dengan kehidupan beragama. Tetapi kita tahu bagaimana keterkaitan olahraga semacam kungfu Shao Lin atau Shorinyi Kempo dengan kehidupan para rahib Buddha. Kepada para pengikut-Nya Buddha mengingatkan bahwa kesehatan merupakan salah satu dari lima unsur yang diperlukan dalam menjalani kehidupan suci. Kelima unsur itu adalah: (1) iman kepada Buddha, (2) kesehatan dan kesejahteraan, (3) kejujuran, (4) semangat, (5) pengertian terhadap timbul dan lenyapnya segala sesuatu. Dalam hubungan inilah olahraga dan olah batin dipandang sebagai satu hal yang tidak terpisahkan.
Prestasi olahraga dapat dinilai dari berapa banyak mengalahkan lawan atau berapa banyak rekor yang ditumbangkan. Sedangkan olah batin menyangkut kemampuan menaklukkan diri sendiri. Tidak ada pertandingan olah batin. Tetapi untuk memenangkan kejuaraan olahraga dituntut ketahanan mental seorang juara. Menjadi bintang olahraga memang suatu kebanggaan yang sekaligus menghendaki kerendahan hati dalam olah batin. Kegembiraan seorang juara seharusnya merupakan ungkapan rasa syukur dan bukan kesombongan. “Tubuh ini terbuat dari tulang-tulang yang ditutup dengan daging dan darah. Di sinilah tempatnya kelapukan dan kematian, kesombongan dan kepalsuan.”[2] Sangat mengesankan tentunya, menyaksikan seorang juara seperti atlet Muangthai yang menyembah sebelum menerima kalungan medali. Begitu pula halnya melihat Zina Garrison yang mengalahkan Chris Evert dalam turnamen grand slam tenis dunia, ia langsung menangis dan memeluk lawannya.
Olahraga beladiri saja, yang tidak lain dari jurus berkelahi, memerlukan bentuk penghormatan, yang memberi ciri bahwa ia diciptakan bukan dengan tujuan semata-mata menghantam lawan. Dalam tradisi Buddhis, Bodhidharma menurunkan ilmunya yang bersifat dimulai dengan mengelak atau menangkis serangan, karena itu namanya pun beladiri. Lebih mendalam lagi terkandung pokok pikiran dalam mengembangkan olahraga tersebut; Kalahkan dirimu sendiri sebelum menundukkan orang lain.
Menghormati lawan adalah tidak mudah. Demikian pula menghargai wasit. Suatu pertandingan tanpa keterlibatan emosional hampir tidak pernah ditemukan. Apalagi ada iming-iming uang atau taruhan di samping sebuah gengsi. Ketika di arena pertandingan olahraga menjadi persoalan hidup atau mati, muncullah peristiwa semacam tragedi sepakbola Hillsborough yang megambil sejumlah korban, mati dan cedera. “Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagai sebuah tempayan, dan dengan membuat pikiran menjadi teguh bagai sebuah benteng kota, hendaklah ia menyerang segala iblis (mara) dengan senjata kebijaksanaannya. Ia harus menjaga apa yang telah ditaklukkan dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan iblis.”[3]
Kekuatan jasmani akan merosot dengan berlalunya sang waktu. Seorang juara olahraga pada waktunya kemudian harus mengakui ketidakberdayaannya. Berbeda dengan kekuatan batin yang menjadi semakin mantap apabila memang dilatih dan dikembangkan. “Orang yang tidak belajar akan menjadi tua seperti sapi jantan, dagingnya bertambah, tetapi kebijaksanaannya tak berkembang.”[4]
11 September 1989
[1] Anguttara Nikaya IV, 5;45
[2] Dhammapada 160
[3] Dhammapada 40
[4] Dhammapada 152