Gebrakan KB Plus Bonus
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Keluarga Indonesia yang bahagia sejahtera adalah keluarga kecil. Seorang suami sebagai kepala keluarga, seorang istri sebagai ibu rumah tangga dan dua orang anak yang sehat, baik dari segi lahir, batin, ataupun sosial. Tampaknya keluarga generasi turunan berikutnya tetap masih bertahan pada pola ini. Berbeda dengan generasi yang lalu, generasi tanpa KB, yang justru menemukan kebahagiaan dalam keluarga yang besar.
Bertolak belakang dari tradisi pada zamannya, sudah sejak dahulu, penganut Buddha tidak melihat kebahagiaan dalam suatu keluarga besar. Sebagaimana salah satu contoh, di antara kumpulan syair Zen, Pang-yun (740-808) meninggalkan tulisan:
Aku mempunyai seorang putra tak beristri,
Aku mempunyai seorang putri tak bersuami,
Membentuk lingkungan keluarga yang bahagia,
Kami bicarakan “Tanpa kelahiran”.
Tiap anggota keluarga mencapai penerangan, mandiri, hidup dengan harmoni, tetapi berlawanan dari tradisi bahwa anak yang berbakti adalah orang yang memperbanyak keturunan. Ia seorang pengikut biasa dari Buddha Sakyamuni yang putra-Nya Cuma satu dan menjadi biksu, sehingga putuslah keturunannya.
Paham ini memang tidak untuk semua orang. Tidak banyak orang bijaksana yang berhasil memanfaatkan hidup ini untuk terlepas dari lingkaran kelahiran. Tidak banyak orang mengukur kebahagiaan dari pembebasan ikatan keduniawian. Bahkan lewat kaca mata Lee Kwan Yew, keengganan golongan berpendidikan tinggi di negaranya untuk berkeluarga, dan menurunnya angka kelahiran di sana merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa Singapura.
Di Indonesia lain. Kita masih gencar-gencarnya membuat gebrakan KB. Reklame lewat segala media tak kenal surut. Mungkin saja orang mengemukakan kesan adanya kejenuhan pada pesan-pesan KB. Namun keikutsertaan masyarakat belum memuaskan. Banyak pula mereka yang memang tidak menghendaki kehamilan, tetapi tidak atau belum memakai salah satu cara KB sehingga kedahuluan hamil, lalu sibuk berikhtiar menolak apa yang sudah terjadi. Padahal program KB menyediakan berbagai macam cara, yang umumnya tidak dilarang oleh agama.
Mulai Januari 1987 lebih dari 10.000 generasi muda dilibatkan untuk ikut serta berperan mengembangkan dan menyukseskan KB di Indonesia. Bukan lagi sekadar orientasi atau ngomong-ngomong. Mereka dipersiapkan sebagai tenaga pelatih pelaksana KB. Dalam 4-5 tahun berikutnya mereka yang merupakan PUS dan sasaran KB Nasional.
Masa sebelum memasuki perkawinan, khususnya kurun usia muda acapkali merupakan saat-saat yang membanggakan dalam kehidupan seseorang. Kebanggaan atau penghargaan terhadap masa muda, masa sehat dan menikmati hidup, ditekankan benar oleh Buddha untuk dimanfaatkan sepenuh tenaga, menjalani hidup yang benar dan meraih sukses. Hanya orang yang dungu tenggelam pada masa yang baik itu dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran yang buruk, yang akan mengantarnya ke jalan neraka.[1]
Gebrakan KB oleh generasi muda tentu saja menunjukkan bagaimana tanggung jawab pemuda menghadapi masa depan. Keberhasilan KB akan dinikmati pula oleh pelakunya sendiri. Keterlibatan banyak pemuda yang kelak akan menjadi kepala keluarga, mungkin saja akan lebih meningkatkan peran laki-laki dalam KB. Dinyatakan oleh Kepala BKKBN Pusat saat membuka Temu Ahli tentang Penyusunan Kriteria Bapak Teladan, kesadaran dan tanggungjawab suami dalam pelaksanaan KB perlu ditingkatkan.
KB jelas berhubungan dengan kesejahteraan. Perhatian kepala keluarga mungkin meningkat dengan adanya sanksi dan bonus yang dikaitkan pada keikutsertaan KB. Orang yang berpijak pada materialisme akan memiliki konsep kebahagiaan yang diukur dengan materi pula. Banyak akseptor KB yang cekatan mengejar bonus KB. Baru-baru ini diumumkan adanya kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan potongan harga bila berbelanja atau memasuki fasilitas hiburan tertentu. Bonus akan mendapat dukungan masyarakat luas ketimbang sanksi. Bonus tidak menghilangkan kebebasan masing-masing manusia untuk mempertanggungjawabkan rencana keluarganya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sebuah tamsil dari kitab Saddharma Pundarika membenarkan rangsangan hadiah sebagai cara yang bijaksana. Seorang ayah harus menyelamatkan anak-anaknya yang bermain dalam rumah besar yang dilanda kebakaran. Pada mulanya sang ayah memanggil dan meneriakkan kebakaran. Perintah agar mereka keluar tidak ditaati anak-anaknya. Anak-anak itu tidak mengerti apa bahaya kebakaran. Mereka masih bermain bahkan bersembunyi dalam rumah. Lalu sang ayah meneriakkan bahwa mereka yang cepat-cepat keluar rumah akan mendapatkan hadiah mainan beraneka kereta. Anak-anak yang pada dasarnya menyenangi mainan pun berlomba keluar.[2]
Tidak selalu bonus itu harus berupa materi. Bonus bisa pula bercorak nonfisik, seperti kesempatan mengikuti suatu bentuk pendidikan. Ditinjau dari kacamata agama, hadiah yang bercorak spiritual lebih tinggi nilainya dibanding materi duniawi.[3]
21 Januari 1987
[1] Anguttara Nikaya III, 4;39
[2] Saddharma Pundarika III
[3] Anguttara Nikaya II 13;1