Kawin dengan Rencana
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Kewajiban kawin tidak ada dalam agama Buddha. Mereka yang kuat dan mampu justru dianjurkan untuk tidak kawin dan memasuki kehidupan Sanggha. Sebaliknya mereka yang tidak kuat atau belum mampu hidup selibat, dipersilakan memilih hidup perkawinan.
Setiap orang bebas memilih cara hidupnya. Untuk mencapai kebahagiaan, ia bisa merencanakan menikah atau tidak. Perkawinan sebagai salah satu aspek kehidupan akan selalu dicengkeram oleh dukkha, dan kebahagiaan lewat suatu perkawinan bersifat duniawi (lokiya) atau fana. Sedang kebahagiaan tertinggi yakni Nibbana, dalam pencapaiannya memerlukan penyingkiran semua kotoran batin termasuk nafsu seks.
Memang orang yang telah kawin tidak kehilangan kesempatan untuk mencapai Nibbana. Dari empat tingkat kesucian yang kita kenal, dua yang pemula (Sotapanna dan Sakadagami) dapat diraih oleh orang yang berumah-tangga, yang belum melepaskan kehidupan seks. Tetapi dua tingkatan berikutnya (Anagami dan Arahat) tidak mungkin diraih oleh orang yang belum membasmi segala belenggu, termasuk seks. Secara alamiah nafsu seks pada orang-orang suci akan padam dalam perjalanannya mencapai Kesempurnaan Mutlak. Contohnya adalah pasangan Visakha dan Dhammadinna.[1]
Jelas tidak kawin bukan berarti bebas menyalurkan naluri seks dengan melacur atau kumpul kebo. “Perzinahan, melakukan sendiri, menganjurkan, mengizinkan, ini membawa orang ke neraka, ke alam binatang, ke alam setan. Sekurang-kurangnya menjadikan orang itu akan dimusuhi lingkungannya.” [2]Semua umat Buddha setiap membaca doa didahului janji melaksanakan sejumlah sila, di antaranya berjanji melatih diri menghindari perbuatan seks yang salah.
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dari dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama melaksanakan Dharma agar memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini ataupun kehidupan yang akan datang. Dasar perkawinan semacam ini tidak bisa lain dari cinta. Berdasarkan hubungan jasa-jasa yang lampau atau sekarang ini maka cinta bersemi bagaikan teratai di permukaan air.
“Demikianlah perumah-tangga, bila wanita dan pria keduanya mengharapkan berjodoh satu sama lain dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang, mereka memiliki kepercayaan yang sebanding, budi pekerti yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding, kebijaksanaan yang sebanding, maka mereka berjodoh satu sama lain dalam kehidupan sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang…
Demikian di dunia ini, hidup sesuai dengan petunjuk Dharma, pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka mencapai kebahagiaan yang mereka idam-idamkan.”[3]
Siddhartha memilih sendiri calon istrinya. Dari puluhan ribu gadis, ia memilih Yasodhara. Sang putri pun menyambutnya. Namun untuk mempersunting Yasodhara, ia harus membuktikan dahulu keunggulannya dengan bertanding melawan sejumlah pangeran lain.
Kita bisa menyimpulkan bahwa pernikahan yang dijalani oleh Siddhartha dan Yasodhara bukan kawin paksa. Mereka melakoni cinta yang memiliki latar belakang penghidupan di masa lampau. Sedangkan untuk memasuki jenjang perkawinan Siddhartha telah menunjukkan kemampuan dirinya sendiri tidak sekadar berlindung, di balik kekuasaan dan kekayaan ayahnya. Siddhartha juga hanya beristri seorang saja. Padahal para raja dan bangsawan pada masa itu lazim melakukan poligami.
Bilamana seorang memilih untuk menikah, ia pantas merencanakan keluarga idamannya yang diharapkan berbahagia lagi sejahtera. Ia tidak menikah semata-mata karena semua orang pada usianya telah menikah. Ia harus menemukan orang yang dicintai yang juga mencintainya, dan sepadan bersama-sama melaksanakan Dharma. Ia memerlukan persiapan dan membuktikan kemampuan untuk menjadi kepala keluarga, memelihara dan melindungi keluarga. Hal ini berarti kematangan secara fisik harus diikuti pula kepribadian yang dewasa. Memiliki pekerjaan yang baik dan mantap serta mempunyai penghasilan yang layak. Begitu pula seorang wanita harus mempersiapkan diri dan kemampuannya untuk menjadi ibu rumah tangga. Menunda usia perkawinan merupakan kesempatan untuk mematangkan rencana dan persiapan.
Terdapat empat macam pasangan perkawinan, yaitu: (1) “Raksasa dan Raksesi”, suami istri merupakan pasangan yang hina dan berkelakuan buruk. (2) “Raksasa dan Dewi”, suami berkelakuan buruk sedang istri berbudi luhur dan berkelakuan baik. (3) “Dewa dan Raksesi”, suami yang berkelakuan baik hidup dengan istri yang buruk laku. (4) “Dewa dan Dewi”, pasangan yang mulia karena: berkelakuan baik. Sudah tentu perkawinan “Dewa dan Dewi” ini yang berbahagia, yang dipuji oleh Buddha.[4]
Perkawinan yang dipertimbangkan matang-matang, direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, diharapkan membuahkan bentuk perkawinan Dewa-Dewi ini.
3 Desember 1986
[1] Majjhima Nikaya 44
[2] Anguttara Nikaya VIII, 4;40
[3] Anguttara Nikaya IV, 6;55
[4] Anguttara NIkaya IV 6;53