Kelangsungan Hidup Anak
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Fielding Hall dari Inggris (1920) melaporkan kasus seorang gadis yang mampu mengingat kembali riwayat hidup dari kelahirannya yang lalu. Dahulu ia adalah seorang laki-laki yang pernah menikah empat kali. Ingatan itu timbul pada usia empat tahun, ketika ia melihat wayang tertentu. Ia bernama Maung Mon, pemain wayang keliling di Burma.
Salah satu istrinya masih hidup dan pernah meminta gadis penjelmaan suaminya itu tinggal bersama. Namun jawab anak tersebut, “Semua itu adalah kehidupan yang lalu.” Ia mencintai ayah dan ibunya masa kini. Hidup yang lampau cuma tinggal ingatan, seperti mimpi. Dalam perjalanan hidupnya ia melangkah ke depan, mengharapkan kehidupan yang lebih baik.
Tetapi betulkah dunia pada hidup yang belakangan lebih baik dari hidup terdahulu? Dunia yang indah seringkali direnggut bencana. Hidup yang penuh tantangan masih dibebani derita karena perang dan rusaknya kehidupan termasuk lingkungan di tangan manusia sendiri. Buddha sudah mengamanatkan bagaimana orang yang bijaksana memenuhi kebutuhan atau mengejar kesejahteraan di bumi ini, “Bagai kumbang mengembara mengumpulkan madu tanpa merusak atau menyakiti siapapun.”[1] Seekor kumbang mengumpulkan madu dari sekuntum bunga dan pergi tanpa merusak bunga, warna maupun baunya.
Nasib anak mencerminkan kesejahteraan suatu bangsa. Di negara maju dan damai tentunya diharapkan hampir semua anak sempat tumbuh dewasa yang siap mengganti mereka yang tua. Di kawasan ASEAN, kehidupan sosio-ekonomi selama 20 tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Namun 900.000 jiwa dari 37,7 juta anak meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun. Dibanding antar negara ASEAN, angka kematian bayi tertinggi di Indonesia. Bilamana dihubungkan dengan penghasilan (GNP) per kapita, rata-rata penduduk Indonesia memang belum sekaya tetangganya.
Di pihak lain, Sri Lanka merupakan negara dengan penghasilan per kapita di bawah Indonesia, tetapi angka kematian bayi jauh lebih rendah. Tidaklah berlebihan mengharapkan perbaikan nasib anak-anak pada tingkat penghasilan sekarang ini. Kekayaan yang terutama justru tidak berbentuk materi “Kesehatan adalah keuntungan yang paling besar, kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga, kepercayaan adalah saudara yang paling baik.”[2]
Hak seorang anak dideklarasikan pada tahun 1959 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Setiap anak, mempunyai hak untuk mendapat pengertian, kasih sayang dan bimbingan yang memadai, mendapat makanan bergizi dan perawatan kesehatan. Anak berhak mendapat perawatan bilamana ia menderita cacad, dan dalam menghadapi bencana termasuk yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan. Anak berhak mendapat pendidikan, kesempatan bermain dan berekreasi: belajar menjadi anggota masyarakat yang berguna dan mengembangkan kemampuan dirinya, mengenyam perdamaian dan persaudaraan, mempunyai nama dan kebangsaan. Hak ini tidak membedakan suku bangsa, jenis kelamin, agama, warna kulit, kebangsaan, dan latar belakang sosial. Memenuhi hak anak, itulah kewajiban orangtua. Sebagaimana pula dikhotbahkan Buddha dalam Sigalovada Sutta, menunjukkan cinta kepada anak dengan mencegahnya dari hal-hal yang buruk, mendorongnya berbuat baik, mendidiknya dalam suatu bidang kemampuan, lalu pada waktunya kelak mengusahakan perkawinan dan menyerahkan warisan.
Bukan kebetulan seorang anak lahir di tengah keluarga beragama Buddha misalnya. Barangkali itulah kesempatan untuk melanjutkan perjuangannya dahulu dalam pencapaian kesempurnaan atau kesucian. Osel Hita Torres, anak Spanyol yang belum lama ini menarik perhatian dunia, diakui penjelmaan dari Lama Thubten Yeshe. Anak bawah tiga tahun yang terkadang nakal ini, dipersiapkan untuk melanjutkan karyanya di masa lalu.
Bisa jadi memperoleh kesempatan saja bukan jaminan bagi seseorang untuk berkembang menjadi lebih baik. Tetapi banyak orang yang tergantung pada kesempatan bertemu dengan Buddha, atau mendengar ajaran Buddha, ia memasuki jalan yang lebih baik, dan hidup menuju penyempurnaan. Berdasarkan hal inilah, Dharma dibabarkan.”[3]
Bahkan anak-anak, pada saat bermain, mungkin dengan rumput, kayu, maupun alat tulis, atau dengan kuku jari, menggambarkan angan-angan pada Buddha, mereka sedikit demi sedikit mengumpulkan pahala, dan diantar memasuki jalan Buddha.”[4]
Pada umumnya setiap orangtua menginginkan hidup yang lebih baik bagi anak-anaknya dibanding dengan apa yang telah dialaminya sendiri. Namun bilamana anak-anak ditanya mengenai orangtuanya, barangkali cukup banyak yang merasa kurang mendapat perhatian atau kasih sayang orangtua. Sering kita dengar tentang masa kecil yang kurang bahagia, apakah asuhan ibu yang kurang, atau ayah yang tidak bersahabat, dan sebagainya.
Karena itu, suatu program yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak tentunya pula merupakan suatu usaha atau bantuan untuk menciptakan tanggung jawab orangtua.
17 Juni 1987
[1] Digha Nikaya 31
[2] Dhammapada 204
[3] Anguttara Nikaya III, 3;22
[4] Saddharma Pundarika II