Kontes Ratu-Ratuan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Barangkali betul para ratu itu cantik jelita. Namun seandainya tidak cantik pun, putri-putri yang ahli waris takhta akan menjadi ratu. Apabila ada putri seperti Kilisuci atau Gayatri memilih menjadi biksuni ketimbang menjadi ratu yang memegang tampuk pemerintahan, tiadalah hal ini berhubungan dengan masalah kecantikan.
Di luar garis keturunan penguasa dinasti, perempuan yang cantik bisa jadi ratu karena diperistri seorang raja. Hampir tidak masuk akal bila raja tidak memilih perempuan yang elok. Yosadhara yang dikawini oleh Pangeran Siddhartha terpilih dari sekian ribu gadis-gadis rupawan di tengah pesta istana yang diselenggarakan secara khusus untuk mencari calon ratu. Bagaimana cara pemilihan itu bila tidak menyerupai kontes seperti yang kita kenal sekarang ini. Ya kontes kecantikan. Bermacam-macam persyaratan lain juga ada. Mungkin itu berupa garis keturunan, sekarang diartikan kebangsaan. Atau syarat berupa kepribadian, inteligensia, kemampuan berkomunikasi, dan lain-lain.
Kontes memilih ratu bukan barang baru. Lalu perestroika, pembaharuan di Soviet, ikut ditandai dengan sorak sorai pemilihan mencari ratu kecantikan. Apakah ini betul gejala kemajuan? Indonesia sudah lebih lama punya ratu-ratu yang sempat ikut pemilihan internasional. Tetapi masih banyak orang yang tidak atau kurang setuju terhadap kontes mempertontonkan kecantikan.
Di masa silam pernah seorang menteri, yaitu Daoed Joesoef mengecam pemilihan ratu-ratuan. Ia membubarkan Pemilihan Putri Remaja Indonesia (1979). Banyak laki-laki yang senang menyaksikan keberanian gadis-gadis berlenggak-lenggok mempertontonkan keindahan tubuh dan kecantikannya. Tentu saja tidak semua laki-laki. Salah satunya menteri kita ketika itu. Katakanlah kolot, tetapi jauh lebih kolot lagi Buddha, juga laki-laki.
Buddha bahkan menolak segala tontonan dan tempat hiburan yang dianggap-Nya hanya memberi kepuasan indrawi yang rendah, yang membuat terlena sehingga lengah dan terjerat oleh ilusi. Tetapi Ia menghargai usaha yang menghasilkan ketenangan batin. Kedudukan karya seni yang bersifat tontonan dalam agama Buddha merujuk pada kesadaran akan Jalan Tengah yang timbul ketika mendengar nyanyian salah seorang penari dari rombongan kesenian tradisional. “Bilamana tali gitar ditarik terlalu kencang, talinya akan putus sehingga bunyi pun tiada. Bilamana ditarik terlalu kendor, tiadalah suara yang timbul. Orang yang memetik gitar harus pandai menimbang dan mengaturnya.”
Buddha mengingatkan murid-murid-Nya pada resiko yang akan timbul bila seseorang sering mengunjungi tempat hiburan. Di tempat semacam itu mudah ditemukan orang-orang yang senang berjudi, gemar minuman keras, dan main wanita. Di tengah pergaulan yang kurang baik, seseorang akan terjerumus terbawa menjadi tidak baik pula. Tanpa disadari lagi, orang itu keranjingan tempat hiburan. Ia akan selalu berpikir di manakah ada pesta pora dan dansa-dansa, di mana ada nyanyi-nyanyian, di mana ada musik, di mana ada pertunjukan, dan sebagainya. Kehidupan glamour dan kemewahan dunia hiburan bertentangan dengan anjuran Buddha untuk hidup sederhana.”[1]
Dalam penampilan yang erotis ketika gadis-gadis memamerkan diri, iblis mendapatkan jalan untuk menggoda. Mungkin para calon ratu sama sekali tidak berniat menggoda, tetapi iblis atau Mara yang mencoba menggoda. Terhadap Buddha pun Mara masih berusaha menggoda. Mara memiliki tiga orang anak. Wujud ketiganya dilukiskan sebagai wanita yang elok seronok. Mereka adalah Tanha, Arati, dan Raga. Tanha berarti nafsu keinginan yang rendah, Arati itu tidak mengenal kepuasan, dan Raga berarti gairah ketamakan.
Ada guru, ada murid. Ratthapala, seorang murid Buddha melukiskan wanita penggoda itu antara lain sebagai berikut: “Lihatlah tubuh itu khayali, membalut seperangkat rangka, penuh luka, berpenyakit, dan menuntut banyak pikiran. Baginya tiada yang pernah tetap, tiada abadi. Lihatlah wujud khayali, walau dalam pakaian gemerlap dengan cincin dan perhiasan, tulang belulang bersarungkan kulit. Kuku diwarnai cat, wajah dipulas bedak, cukup memperdaya si dungu namun tidak bagi pencari kekekalan…”[2]
Khema adalah istri Raja Bimbisara. Ia sangat membanggakan kecantikannya. Wajar saja kalau ia tidak setuju pada cara Buddha memandang kecantikan wanita. Ketika berhadapan muka dengan Buddha, ia mendapat pengajaran secara langsung. Dengan kekuatan batin, Buddha menciptakan seorang bidadari yang jauh lebih cantik dari istri raja itu. Bidadari ciptaan tersebut berdiri menggoyangkan kipas di samping Buddha. Khema tertegun, Ia sangat terpesona pada kecantikan si bidadari. Sementara ia memandang, bidadari itu berubah sedikit demi sedikit menjadi tua, makin tua, bahkan menjadi bungkuk, berubah rambutnya, berkeriput kulitnya, lalu berakhir jatuh terlentang, mati, tinggal jenazah.
Timbullah terang dalam hati Khema seketika. Sabda Buddha ketika itu, “Tubuh ini terbuat dari tulang-tulang yang dibalut dengan daging dan darah. Di sini tempatnya kelapukan, kematian, kesombongan, dan kepalsuan.”[3] Kontes kecantikan dengan mempertontonkan keindahan tubuh baik seluruhnya, sepotong atau sebagian tubuh, apa itu betis indah, bibir indah, atau lainnya menjadi tidak indah ditinjau dari ajaran ini. Tetapi harus diakui adanya kebebasan bagi setiap manusia untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Sehingga tidak mengherankan ada saja ratu kecantikan yang muncul dari masyarakat Buddhis. Atau banyak tempat hiburan yang seronok di antara beribu-ibu rumah ibadah.
Perlu dicatat bahwa pernah seorang menteri wanita menyatakan lebih senang melihat gadis-gadis mengikuti lomba gerak jalan daripada berliuk-liuk melenggangkan pinggul dalam pakaian minim. Belakangan ini menteri yang sekarang, Sulasikin Murpratomo mengatakan bahwa kontes yang menilai wanita dari segi fisik sesuai dengan GBHN dan nilai serta martabat wanita sebagai makhluk Tuhan.
10 Agustus 1988
[1] Digha NIkaya 31
[2] Majjhima Nikaya 82
[3] Dhammapada 150