Narkotika, Jangan Tidak Tahu
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Baru-baru ini polisi menemukan pohon koka sebagai tanaman hias di halaman rumah penduduk. Pohon koka berdaun indah, bisa berbunga dan berbuah. Namun di balik keindahan itu, terdapat ancaman yang menakutkan. Tanaman dan segala bahan yang berasal dari koka tergolong narkotika, sebagaimana halnya Papaver somniferum L. dan ganja.
Sang pemilik mungkin sekali tidak tahu bahwa itu pohon terlarang. “Manusia di dunia melihat bunga-bunga seolah-olah sedang dalam mimpi,” begitu ujar Nansen, seorang guru Zen. Manusia dan keakuannya ingin mempertahankan mimpi itu. Ia ingin memiliki. Bisa jadi ia mengamati, menikmati kepuasan tanpa keinginan tahu. Orang menyebutnya polos. Namun ada harga yang harus dibayarnya karena ketidaktahuan. Petugas tidak hanya mencabut pohon tersebut, pemiliknya diperiksa dan mungkin akan diajukan ke pengadilan. Ketidaktahuan harus dipertanggungjawabkan.
Ketidaktahuan (avijja) disebut pula tidak berpengetahuan (annana), tidak melihat (adassana), atau lebih sering dinyatakan sebagai kebodohan dan kegelapan (moha), termasuk dalam pengertian ini salah tahu. Ketidaktahuan atau kebodohan merupakan salah satu akar dari keburukan, kesalahan, atau kejahatan (akusala-mula). “Bergantung pada ketidaktahuan, maka terjadilah bentuk-bentuk karma,” demikian dijelaskan oleh Buddha.[1]
Derita pun datang dari ketidaktahuan. Dalam rangkaian sebab-musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada), ketidaktahuan tidak merupakan penyebab langsung yang berdiri sendiri. Salah satu sumber derita yang sering dikemukakan adalah hawa nafsu, kehausan, atau keinginan yang tidak ada puasnya (tanha). Kehausan itu berpokok pangkal pada anggapan adanya keakuan yang timbul dari ketidaktahuan.
Keakuan ditandai dengan mementingkan diri sendiri, menginginkan segala sesuatu bagi dirinya sendiri dan tidak menaruh peduli akan apa yang terjadi pada diri orang lain sebagai akibat dari perbuatannya yang keliru itu. Gambaran ini dapat ditemukan pada penderita penyalahgunaan obat yang mencari kenikmatan sendiri, terbius dengan meminum obat sehingga melupakan kesulitannya untuk sementara.
Seorang remaja terhuyung-huyung pulang di tengah malam. Tampaknya beringas, banyak bicara namun terpatah-patah pelo, dan matanya nanar, bagai orang terkena sakit jiwa. Kepada ibunya ia mengatakan diakali teman-teman meminum minuman yahud, tetapi bukan narkotika. Ketidaktahuan termasuk salah tahu, membuatnya terlibat penyalahgunaan obat. Tentu saja banyak faktor lain yang menjerumuskan, misal kepribadian yang lemah, tiadanya tujuan hidup, situasi krisis, stres atau frustrasi, pemberontakan terhadap orang-tua dan masyarakat.
Narkotika juga mencakup bahan-bahan lain yang dapat dipakai sebagai pengganti morphina atau kokaina. Selain itu dikenal obat-obat berbahaya sejenisnya yang dapat memengaruhi kesadaran, fungsi mental dan fisik manusia. Pemakaian obat tersebut di luar pengawasan dokter menimbulkan keadaan yang tidak terkuasai oleh si pemakai, atau menimbulkan keadaan yang membahayakan orang lain.
Menghindari bahan yang menjadikan ketagihan dan memabukkan adalah salah satu sila yang wajib dijalankan oleh umat Buddha. Secara umum semua ketentuan mengenai minuman keras berlaku untuk segala jenis bahan makanan atau minuman yang mengganggu kesadaran. Obat bius, obat tidur, obat tenang, dan minuman keras menghancurkan konsentrasi atau meditasi agama, sehingga menggagalkan pengembangan kearifan.
“Orang yang gila perempuan, gemar bermabuk-mabukan, keranjingan judi, menghamburkan apa saja yang dimilikinya, inilah sebab-sebab kemerosotan.”[2] Khususnya mengenai ketagihan bahan yang memabukkan, Buddha mengingatkan, “Ada enam akibat buruk bagi orang yang ketagihan minuman yang memabukkan, yakni kehilangan harta dengan cepat, bertambahnya pertengkaran, mudah terkena penyakit, kehilangan watak yang baik, penampilan yang buruk, melemahkan kecerdasan.”[3]
Penderita kecanduan senantiasa terdorong oleh nafsu untuk mengulangi terus (adiksi) dan apabila putus obat dia akan menderita. Kebutuhan obatnya pun meningkat (toleransi). Kebanyakan dosis, pemakaian yang tidak sehat atau bahan pencampur yang beracun akan menimbulkan komplikasi penyakit dan ancaman maut. Sedangkan untuk memenuhi atau membiayai kebutuhannya akan obat-obat tersebut para korban mudah terperosok dalam kejahatan, sehingga membahayakan perikehidupan bangsa dan negara.
Penderita itu adalah orang sakit yang harus ditolong. Wihara di Muangthai secara tradisional menolong penyembuhan pecandu narkotika. Pengobatan melepas racun memakai ramuan diikuti ritual, pelajaran agama, dan diskusi yang berhubungan dengan permasalahan yang mereka hadapi. Tanpa memahami dan mengatasi penyebab, suatu tindakan penyembuhan tidaklah tuntas. Program mereka mencakup pula latihan kerja. Pendekatan dalam penyembuhan tidak hanya terbatas pada faktor organo-biologik, tetapi juga psiko-sosiokultural.
Dalam pemberantasan penyalahgunaan obat remaja menjadi sasaran, karena profil korban kebanyakan adalah golongan muda tersebut. Remaja mungkin menjadi objek dari suatu kondisi yang diinginkan oleh orang-tua. Menurut Buddha, orang yang bodoh berpikir memiliki anak seperti halnya memiliki kekayaan. Dirinya sendiri bukan menjadi miliknya, bagaimana mungkin anak-anak itu dianggap miliknya?[4]
Remaja akan membicarakan masalahnya dengan rekan yang sebaya. Organisasi agama, khususnya kclompok pemuda jangan tidak tahu tentang penanggulangan masalah narkotika. Mereka dapat berperan merangkul sesamanya yang menghadapi kesulitan. Mereka bukan penonton dan dapat menggerakkan remaja menentang narkotika, terutama dalam upaya pencegahan, Dengan demikian remaja belajar bertanggung jawab.
“Melenyapkan dan menjauhkan diri dari kejahatan, menahan diri terhadap barang yang memabukkan dan tekun melaksanakan kebajikan, inilah berkah termulia.”[5]
9 Desember 1987
[1] Samyutta Nikaya XII, 3;22 ( 11;28 )
[2] Parabhava Sutta
[3] Digha Nikaya 31, Sigalovada Sutta
[4] Dhammapada 62
[5] Manggala Sutta