Walau Tidak Terjamah oleh Hukum
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Orang harus saling tolong-menolong. Ini betul, Namun Niels Mulder melihat batas yang tidak jelas di antara tolong-menolong dan korupsi dalam suatu masyarakat yang terlalu luas untuk saling mengawasi. Katanya, siapa yang berpangkat harus memelihara orang banyak, dan untuk menjalankan kewajibannya tergantung dari pendapatan yang ‘halus’. la mengemukakan di mana-mana ada sokongan dan potongan. Guru-guru negeri tidak diberi gaji yang cukup dan mereka harus ditolong oleh orangtua murid-muridnya. Lembaga-lembaga dan pegawai-pegawai boleh menjual formulir. Di pasar satu ons menjadi 80 gram. Oleh karena harga per ons sudah ditetapkan. Bisa jadi Mulder berlebihan, tetapi ia mengingatkan pada batas di antara benar dan tidak benar atau boleh dan tidak boleh.
Tolong-menolong seharusnya berpijak pada landasan moral atau tidak bertentangan dengan ajaran agama. Sedangkan korupsi atau mengambil sesuatu yang bukan haknya adalah kejahatan. Buddha menamakan orang-orang yang mencari keuntungan dengan merugikan orang lain sebagai sampah masyarakat. “Apakah mata-pencaharian yang salah? Hidup dengan jalan menipu (kuhana), membual (lapana), memeras (nemittakata), menggelapkan (nippesikata), merampok agar mendapatkan hasil yang banyak (labha).”[1]
Maling dikenal segala zaman, yang bekerja dengan cara kasar dinamakan perampok. Yang bekerja dengan cara halus manipulator dan koruptor. Maling cara kasar ataupun halus adalah penjahat di mata hukum dan agama. Hukum menghendaki penemuan fakta, bukan sekadar isu. Karena itu pemuda dianjurkan oleh Kepala Negara untuk membuka mata dan telinga, ikut mengawasi dan mengamankan jalannya pembangunan.
Dikisahkan dalam kitab Vinaya, Dhaniya dengan muslihatnya yang halus telah menyelewengkan kayu milik kerajaan untuk kepentingan pribadi. Ia dibebaskan dari hukuman karena raja melindungi para biksu. Rakyat boleh kecewa, tetapi hukum negara dan keadilan ada di tangan raja. Sebaliknya dari segi moral agama, ia tetap pencuri, mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya[2]
Bersih di mata hukum negara tidak berarti bersih di mata moral agama. Bebas dari hukum negara tidak berarti bebas dari hukum karma. Suatu penyelewengan yang tidak atau belum terjamah oleh hukum negara bukan berarti remeh. “Janganlah hendaknya meremehkan kejahatan walau sekecil apa pun dengan berpendapat bahwa kejahatan itu tak akan membawa akibat. Bagai sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhi setetes demi setetes, demikian pula si dungu akan penuh dengan kejahatan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit.”[3]
Manusia memiliki kebutuhan. Tidaklah salah bila ia berupaya mengejar kekayaan. Apakah kekayaan yang paling berharga bagi seseorang di dunia ini, demikian salah satu pertanyaan Alavaka. Jawab Buddha, “Kepercayaan adalah kekayaan yang paling berharga bagi seseorang di dunia ini.” Selanjutnya juga dinyatakan, “Barang siapa melakukan apa yang benar, barang siapa bertekad teguh, ia yang sadar, memperoleh kekayaan.”[4]
Orang yang sukses akan membenarkan bahwa suksesnya berikut kekayaan yang diraihnya datang dari kepercayaan. Kepercayaan lahir dari perbuatan yang patut atau terpuji yang dibenarkan oleh moral dan agama. Tolong-menolong pun terjadi didasari kepercayaan. Sedangkan manipulasi dan korupsi, perbuatan yang tercela, menyalahgunakan kepercayaan merusak kepercayaan.
Manusia membutuhkan rasa aman. Orang yang telah melakukan suatu kesalahan, merasa berdosa dan tidak aman. Agama memang menjanjikan penyelamatan bagi mereka yang bertobat. Manusia dapat menyesal, meratap memohon ampun kepada Tuhan, secara langsung ataupun tak langsung. Doa memohon ampun dan mempersembahkan korban diharapkan dapat mengambil hati Tuhan. Tetapi para biksu dan pandita Buddha lebih banyak yang tegas menegaskan: Tiada ampun bagimu, orang-orang yang menyesali dosanya cuma dengan berdoa.
Hukum karma tidak bisa ditawar. “Tidak di langit, tidak pula di tengah lautan atau di gua-gua di gunung, tiadalah tempat untuk menyembunyikan diri, orang tak dapat menghindarkan diri dari akibat perbuatan buruknya.”[5] Suatu penyesalan harus diikuti dengan pengembangan dan penyempurnaan diri di jalan suci, meningkatkan kebajikan, semadi dan kearifan. Membersihkan dosa tidak cukup dengan doa dan upacara, sebagaimana pernah diterangkan oleh Buddha kepada brahmana Sundarika Bharadvaja ketika menyaksikan orang-orang menyucikan diri di Sungai Bahuka untuk membersihkan dosanya. Menyadari hal ini, orang akan sangat berhati-hati agar tidak terjerumus berbuat salah.
“Hendaknya setiap orang menempatkan dirinya sendiri terlebih dahulu pada jalan yang lurus, kemudian ajarlah orang-orang lain.”[6] Amanat itu dikemukakan mengingat bahwa melatih dan menaklukan diri sendiri tidaklah mudah. Tiada ampun bagimu, berarti juga tiada ampun bagiku. Kita perlu tolong-menolong memberantas korupsi.
20 Januari 1988
[1] Majjhima Nikaya 117
[2] Suttavibhanga, Parajika II
[3] Dhammapada 121
[4] Sutta Nipata, I, 10
[5] Dhammapada 127
[6] Dhammapada 158