Untuk Siapa
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Ke mana saja Buddha Gotama pergi, Ia menarik banyak pengikut. Seribu petapa yang memelihara rambut mengikuti jalan-Nya, dua ratus lima puluh murid Sanjaya mengikuti-Nya pula, lalu para pemuda yang sangat terkemuka dari keluarga-keluarga terhormat di Magadha menempuh penghidupan suci di bawah pimpinan-Nya. Orang-orang yang tidak sepaham menjadi khawatir. Siapa selanjutnya yang akan diambil-Nya?”[1]
Kekhawatiran semacam itu menjadi sangat beralasan karena Buddha menolak kepercayaan yang sudah dianut turun-temurun. Siapa saja akan menemukan bahwa apa yang Ia khotbahkan tidak terdapat dalam kitab suci yang telah dikenal sebelumnya. Agaknya dengan mudah Buddha berkata, “Kalau begitu, masukkanlah itu dalam kitab suci.”
Bagaimana jika orang menyanggah, bahwa apa yang Ia ajarkan justru ada yang jelas-jelas bertentangan dengan kitab suci? Jawab Buddha yang sangat mengena, “Ubahlah kitab suci.” Ya, Ia mengajarkan hal baru dan para murid-Nya kemudian mencatat dalam kitab suci baru: Tipitaka.
Seorang putra Kalama pernah berkata kepada-Nya, “Yang Mulia, beberapa petapa dan brahmana berkunjung ke Kesaputta. Mereka mengumumkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri yang sempurna, tetapi mencaci maki, menghina, merendahkan dan menjatuhkan ajaran orang lain. Lalu Yang Mulia, datang pula petapa dan brahmana lain ke Kesaputta berbuat serupa. Mendengarnya, Yang Mulia, kami merasa ragu-ragu dan bingung, siapa di antara orang-orang yang terhormat itu yang berbicara benar dan siapa yang salah.”
Ujar Buddha, “Benar para Kalama, sudah sewajarnya engkau ragu-ragu, sudah sewajarnya engkau bingung. Dalam hal yang meragukan memang akan timbul kebingungan. Nah, kau perhatikan Kalama. Janganlah engkau percaya begitu saja pada suatu berita, atau suatu desas-desus, atau sesuatu yang merupakan tradisi. Jangan engkau percaya begitu saja apa yang dinyatakan dalam kitab-kitab suci, juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan semata-mata, atau apa yang katanya hasil penelitian, yang setelah direnungkan cocok dengan suatu teori, atau yang dirasakan agaknya akan tepat, atau pula terdorong karena ingin menghargai seorang guru petapa yang menganutnya. Tetapi Kalama, kalau setelah kau selidiki sendiri, kau ketahui hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para bijaksana, hal ini kalau dilakukan dan dijalankan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka sudah selayaknya engkau menolaknya.”[2]
Apa yang baik bagi nenek moyang belum tentu baik bagi kita. Agama Buddha yang diajarkan lebih dari dua puluh lima abad yang lalu itu masih dianut orang banyak hingga sekarang. Barangkali banyak orang yang beragama karena tradisi. Namun pesan Buddha kepada Kalama tetap berlaku. Tentu saja juga berlaku untuk segala ajaran dalam agama Buddha sendiri. Hanya dengan membuktikan melalui penyelidikan sendiri seseorang menaruh percaya kepada Buddha, Dharma, dan Sanggha.
Tak usah bertanya untuk siapa Buddha mengajarkan Dharma. Ia tidak mencari pengikut dan memang tidak memerlukan pengikut. Ia tidak akan berkurang kemuliaan dan kesempurnaan-Nya karena tidak memiliki pengikut, sebaliknya pula tidak menjadi lebih mulia karena banyak pengikut. Sebagai Cahaya, Ia memberikan terang kepada mereka yang melihat. Matahari bersinar di waktu siang dan bulan di waktu malam, sedang Buddha bersinar senantiasa di waktu siang ataupun malam. Dharma yang diajarkannya sesungguhnya adalah kebenaran yang tidak mengenal label pemilik. Buddha akan menjadi pelindung untuk orang yang memerlukan pelindung, tanpa mempertanyakan golongan dan asal muasal seseorang.
Jenderal Siha, semula adalah penganut dan penunjang agama lain, mengajukan permohonan untuk diterima sebagai upasaka. Namun Buddha menganjurkan agar ia mempertimbangkan keputusan itu sebaik-baiknya, mengingat pengaruh dan kedudukan dari jenderal itu sendiri. Keputusan Siha bahkan menjadi semakin mantap karena kagum kepada sikap Buddha. Orang lain justru sangat menginginkan dan akan mengumumkan ke seluruh negeri kalau seorang jenderal seperti dia, menjadi pengikutnya. Sampai tiga kali Jenderal Siha memohon kepada Buddha. Lalu Buddha pun berkenan mengabulkannya, setelah Siha berjanji untuk tidak menghentikan sokongan kepada golongan agama yang pernah dianutnya dahulu.[3]
Tak usah bertanya untuk siapa Buddha mengajarkan Dharma, Tak usah pula bertanya untuk siapa Borobudur didirikan dan dipugar. Atau untuk siapa Waisak dijadikan libur nasional. Atau untuk siapa mimbar Buddha ini.
24 Mei 1989
[1] Maha Vagga I, 24;5
[2] Anguttara Nikaya III, 7;65
[3] Maha Vagga VI, 31;10-12