Menghadapi Pertanyaan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Seorang biksu junior bertanya kepada gurunya, “Apakah arti kedatangan Bodhidharma?” Bodhidharma adalah rahib dari India yang menyebarkan agama Buddha di Cina dan terkenal sebagai pencipta kung-fu Shao Lin. Sang Guru, Ma-tsu namanya, menjawab, “Apakah artinya pertanyaanmu saat sekarang?”
Seorang muda yang terpelajar bertanya kepada seorang menteri, “Mengapa Liem dan Bob menjadi orang terkaya di Indonesia?” Penganut Buddha, khususnya Zen berpendapat, “Apa gunanya menghitung kekayaan orang lain?” Namun bukan soal iri atau cemburu, mahasiswa-mahasiswa itu mempertanyakan banyak hal, dari soal jalan tol, SDSB, dan isu lokal seperti Kedungombo, Kacapiring, dan sebagainya. Apa artinya pertanyaan-pertanyaan tersebut?
Buddha menuntun agar manusia melihat atau mengamati pikiran sendiri untuk mengerti siapa dan apa yang kita perbuat. Orang yang bijaksana berarti sanggup membedakan segala jenis kebaikan dan keburukan. Mampu membedakannya, tidak berarti membiarkan diri secara emosional terpengaruh oleh cengkeraman perasaan senang atau benci. Dalam tradisi Zen, Rinzai pernah mengungkapkan bahwa banyak pemuka atau guru di dunia yang tidak dapat membedakan yang salah dari yang benar. Ketika para siswa bertanya mengenai obyek-obyek di sekeliling mereka dan menyampaikan pikirannya yang subyektif, para guru yang sebenarnya tidak tahu segera memberikan jawabannya. Apabila disanggah oleh para siswa, mereka mengangkat tongkatnya dan memukul para siswa seraya berteriak: – Sungguh tidak sopan! –
Malu bertanya sesat di jalan. Maka Buddha selalu menyediakan kesempatan untuk mereka yang ingin bertanya. Pernah seorang petapa, Bahiya namanya, tidak menaruh peduli kalau Buddha sudah mempunyai acara. Sekalipun demikian, Buddha berkenan melayaninya. Ia beruntung mendapatkan petunjuk Buddha dan sempat mencapai ketenangan batin ketika itu juga, karena hanya beberapa saat kemudian, di hari yang sama, Bahiya meninggal diterjang oleh seekor binatang.[1]
Subhadda, seorang pengelana, ketika tiba di Kusinara mendengar pembicaraan orang-orang bahwa pada hari itu juga Buddha Gotama akan mengakhiri hidup di dunia. Ia menyimpan sejumlah pertanyaan dan ingin mendapatkan jawaban untuk melenyapkan keragu-raguannya. Dengan segera ia pergi menemui Buddha. Namun Ananda, murid yang mendampingi Buddha, tidak mengizinkannya. Beruntung pembicaraan mereka didengar oleh Buddha, yang sama sekali tidak merasa terganggu oleh Subhadda. Orang ini menjadi siswa terakhir yang ditahbiskan langsung oleh Buddha sendiri. Setelah itu, menjelang saat terakhir, di hadapan para muridnya, Buddha bertanya hingga tiga kali, apakah ada siswa yang merasa bimbang atau kurang jelas atas segala hal yang pernah diajarkannya. Ia menyatakan bahwa mereka boleh mengajukan pertanyaan, agar di kemudian hari tidak menyesal.[2]
Orang bertanya karena ingin tahu. Sariputra membedakan orang yang mengajukan pertanyaan itu atas lima golongan. Yang pertama, orang bodoh atau buta. Kedua, orang yang iri atau dengki dan bermaksud buruk. Ketiga, orang yang bermaksud merendahkan dan menjatuhkan orang lain. Keempat, orang yang mencari pengetahuan. Kelima, orang yang menguji dan meluruskan pendapat orang lain.[3] Buddha tidak jarangg menghadapi orang-orang yang bertanya dengan maksud buruk, yang ingin memojokkan atau menjatuhkannya. Buddha melayani orang-orang itu dengan simpatik, terbuka, dan mudah didekati siapa saja tanpa kecuali.
Tetapi Buddha membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Malunkyaputta tetap tak terjawab. Pertanyaan itu tentang kekekalan dunia, batas dunia, jiwa berbeda dari tubuh, Tathagata ada setelah mati atau tidak ada setelah mati. Sebaliknya Buddha bertanya, “Apakah Aku pernah berkata, mari Malunkyaputta jadilah muridku, dan Aku akan menerangkan soal-soal itu kepadamu?” Ia tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang bersifat spekulatif, yang tidak berguna untuk mencapai Nirwana. Ibarat orang yang terluka oleh sebuah anak panah beracun, yang perlu adalah pertolongan pengobatan, bukan mempersoalkan asal muasal panah beracun itu. Kehidupan beragama tidak bergantung pada pandangan apakah dunia kekal atau tidak kekal dan pandangan metafisika lainnya.[4]
“Bagaimana mungkin manusia membuang pandangannya sendiri yang mereka hargai sebagaimana mereka mengaturnya, didorong oleh kehendak hati dan dipikat oleh kesenangannya? Sebagaimana mereka memahaminya, begitulah mereka bicara.”[5] Orang seringkali bertanya seraya menuntut jawaban yang dapat memuaskan hatinya sehingga mengabaikan pandangan obyektif, yang tidak berat sebelah. Suatu pertanyaan tidaklah sukar untuk dijawab, tetapi tidak mudah untuk sekaligus mempertimbangkan arti di balik pertanyaan tersebut.
26 April 1989
[1] Udana I, 10
[2] Digha Nikaya 16
[3] Anguttara Nikaya V, 17 : 164
[4] Majjhima Nikaya 63
[5] Suttanipata 781