Sadar Wisata
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Tahun 1989 ini dicanangkan sebagai “Tahun Sadar Wisata”. Tahun berikutnya dijadikan “Tahun Kunjungilah Indonesia”. Maka, sadar wisata secara operasional lebih diartikan dengan berusaha memikat dan siap menerima wisatawan asing. Ada banyak daerah tujuan wisata yang tersebar di seluruh tanah air, dengan objek yang beraneka ragam, termasuk pula objek keagamaan.
Kedatangan orang-orang mancanegara ke Indonesia dalam hubungannya dengan keagamaan Buddha sudah dikenal sejak bangsa di Nusantara memasuki zaman sejarah. Misalnya Fahien yang menulis “Catatan dari Negara-negara Buddhis”, mencatat tentang adat istiadat, ilmu bumi, dan sejarah dari Asia Tengah, India, dan Indonesia. Pengunjung lain tercatat di antaranya Hui-ning dan I-tsing juga dari Cina. Gunawarman dari Kashmir, Amoghavajra dari Srilanka, Atisa dari Tibet. Khususnya para rahib dari Cina singgah di Indonesia dalam rangka perjalanan ziarah ke India, mempelajari dan mengambil Kitab Suci dari sana.
Ada empat tempat yang dianjurkan untuk dikunjungi oleh para umat. “Tempat itu, Ananda, di mana umat yang beriman itu dapat mengucapkan, “Di sini Tathagata dilahirkan, tempat yang akan dikunjungi dengan penuh rasa hormat. Tempat itu, Ananda, di mana umat yang beriman itu dapat mengucapkan: Di sini Tathagata mencapai penerangan sempurna, tempat yang akan dikunjungi dengan penuh rasa hormat. Tempat itu, Ananda, di mana umat yang beriman itu dapat mengucapkan: Di sini Roda Kebenaran mulai diputar oleh Tathagata, tempat yang akan dikunjungi dengan penuh rasa hormat. Tempat itu, Ananda, di mana umat yang beriman itu dapat mengucapkan: Di sini Tathagata akhirnya mencapai Parinirwana, yang tidak lagi meninggalkan segala sisa kemelekatan, tempat yang akan dikunjungi dengan penuh rasa hormat.”[1]
Tempat ziarah tersebut adalah Lumbini (Rumindei), kini termasuk kawasan kerajaan Nepal, Bodhgaya (Bihar), Sarnath (Benares), dan Kushinagar (Kusinara) yang terkenal di India. Ziarah ke Tanah Suci jelas dianjurkan, tetapi tidak menjadi keharusan. Di tempat mana pun seseorang menaruh keyakinan yang mantap, memuliakan Buddha dan menyempurnakan kebajikan-Nya, tempat itu harus dipandang sebagai tempat suci dan mulia.[2] Maka, tidaklah berlebihan bila Borobudur di Indonesia dipandang sebagai tempat suci dan tempat ziarah. Perjalanan ziarah atau dharmayatra ke Borobudur, Mendut, dan Pawon pun memberi manfaat dalam memperkuat keyakinan, menimbulkan perasaan tentram dan damai, sehingga orang yang melaksanakan kelak akan hidup menyenangkan.
Buddha pernah bersabda, “Jadilah ahli waris-Ku dalam hal yang berkenaan dengan Dharma, tidak menjadi ahli waris dalam hal-hal duniawi yang fana.”[3] Sangat beralasan kalau pendiri candi Borobudur ingin menjadikan karya itu sebagai bentuk lain dari kitab suci, menjadi sarana pendidikan yang dapat menuntut orang-orang untuk memahami Dharma.
Sebagai warisan sejarah, candi itu memberi kesaksian tentang nilai-nilai luhur yang dianut dan ingin dilestarikan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kalaupun pada masa kini kedudukan candi terutama sebagai objek pariwisata, nilai keagamaan tidaklah bisa diabaikan.
Nilai tersebut berfungsi sebagai sumber moral bagi setiap kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan candi, khususnya dalam kegiatan pariwisata, yakni menyaring masuknya budaya asing yang buruk. Sadar wisata tidak hanya mengambil manfaat sebesar-besarnya dari berbagai sumber daya untuk membangun industri pariwisata, menciptakan informasi, menjamin keamanan, menjual keramahan, dan membuktikan kejujuran, tapi juga memelihara nilai keagamaan dari suatu objek pariwisata.
Sadar wisata ditujukan terhadap wisatawan asing atau pun wisatawan domestik. Tentu saja kita perlu mengenal dan mengunjungi objek wisata di tanah air sendiri. Tanpa adanya kesempatan yang luang dan tanpa didukung simpanan uang yang memadai, mencoba menjadi wisatawan bukanlah hal yang mudah. Kesibukan dan pekerjaan mungkin tiada habisnya. Namun setiap karyawan memiliki hak cuti. Menurut Buddha, majikan yang baik akan memberi kesempatan berlibur bagi para pegawainya pada waktu-waktu tertentu. Majikan harus memperlakukan karyawannya sebagai berikut: memberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka; memberi imbalan baik berupa makanan, upah atau penghargaan yang layak; menjamin perawatan bilamana jatuh sakit; sekali-kali membagi kesenangan dan memberi kesempatan cuti.
Tingkat penghasilan yang layak adalah suatu jumlah pendapatan yang cukup untuk menjalankan usaha, memenuhi biaya hidup atau kegiatan sehari-hari, dan masih tersisa bagian yang dapat dicadangkan atau ditabung. Berdasar petunjuk Buddha kepada pemuda Sigala, apabila penghasilan dibagi empat bagian, dua bagian dipakai untuk membiayai kegiatan atau usaha, satu lagi dipakai untuk dinikmati sebagai hasil usaha dan satu bagian lagi disimpan.[4] Sayang banyak orang yang sudah bekerja keras namun belum mampu menyisihkan penghasilannya untuk menikmati cuti dengan melakukan perjalanan ke objek-objek wisata.
18 Januari 1989
[1] Digha Nikaya 16
[2] Vajracchedika Prajna Paramita Sutra
[3] Dhammadayada Sutta
[4] Digha Nikaya 31