Pantangan dalam Hal Makan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Suatu perayaan, pesta, dan perjamuan pantas menyajikan hidangan yang lezat. Cita rasa yang tinggi menyertai aroma, warna, dan tatanan sajian yang apik didukung suasana yang menarik, menunjukkan bahwa makan bukan sekadar mengenyangkan perut. Enak makan dan makan enak tentu saja boleh. Tetapi keinginan yang sangat, tak dapat menahan diri dan kelewat batas, dipantangkan dalam agama Buddha. Dan menghindari makanan atau minuman yang memabukkan merupakan peraturan pokok bagi umat Buddha yang wajib dipatuhi.
Di tengah masyarakat yang makmur, damai, dan sejahtera, mungkin tiba suatu saat manusia mampu mengatasi berbagai penyakit sehingga rata-rata panjang umur. Namun Buddha mengingatkan adanya tiga jenis penyakit yang akan tinggal, yakni gangguan nafsu makan, gangguan pencernaan, dan keluhan karena usia tua itu sendiri.[1]
Makan menjadi betul bukan semata-mata mengenyangkan perut. Banyak orang yang harus mengatur makannya sehubungan dengan penyakit yang dideritanya ataupun keluhan berat badannya yang mengganggu. “O para siswa, dalam perkara makan bersikaplah bagai orang makan obat. Jangan berlebihan atau kekurangan. Makanan hendaknya dipergunakan sebagai bahan untuk mendukung jasmani dan menghilangkan rasa lapar atau dahaga.[2]
Pada umumnya Buddha menunjukkan jalan tengah dengan menghindari dua hal ekstrem, tidak mengumbar hawa nafsu dan tidak menyiksa diri. Buddha pun menyatakan bahwa makanan itu tidak hanya berarti untuk mempertahankan hidup atau menyambung usia, tetapi juga menunjang keelokan, memberi ketentraman, kekuatan, dan kecerdasan.[3]
Bagi orang miskin dan kelaparan, makan tentunya tak lain dari mengenyangkan perut untuk menyambung hidup. Buddha mengecam orang-orang yang berkelebihan tetapi tidak menaruh perhatian pada orang yang kekurangan. Dalam Parabhava Sutta dinyatakan bahwa salah satu sebab kemerosotan datang dari orang kaya yang kendati berlimpah dengan harta dan makanan, menikmati sendiri kelebihan itu.
Makanan, bahkan berupa sisa sekalipun pantang disia-siakan. Berapa banyak butir nasi dan sisa makanan yang terbuang sehari-hari? Kendo, seorang guru di kuil Yokenji selalu mengingatkan murid-muridnya agar menghargai makanan. Mereka masih saja boros, menyisakan dan membuang makanan. Sedemikian besar keprihatinannya, sehingga ia mengumpulkan sisa makanan itu, mengolahnya lagi untuk memakannya sendiri.
Dogen dari kuil Eiheiji tidak pernah menyia-nyiakan air barang secangkir pun, walau tidak jauh dari kuilnya terdapat air terjun yang mengalir tiada hentinya. Sikap ini timbul karena menghargai sepenuhnya sumber alam sebagai karunia Tuhan.
Tradisi di India pernah mengenal persembahan makanan sebagai korban untuk dewa. Berbagai jenis makanan, hasil bumi dan ternak dilemparkan ke dalam api pemujaan. Buddha menolak kebiasaan itu. Dalam Bhuridatta Jataka dinyatakan pemujaan pada api atau persembahan kepada dewa semacam itu sebagai kebodohan. Praktik takhayul tersebut hanya menyia-nyiakan makanan. Berbeda dengan makanan sebagai sesajian simbolis dalam suatu upacara, lalu dimakan oleh orang-orang juga.
Pantangan makan daging sering dinyatakan sebagai ciri dari ajaran Buddha. “Bagaimana mungkin mereka yang melaksanakan kasih sayang dapat hidup dengan memakan daging dan darah dari makhluk lainnya?” Demikian dinyatakan antara lain dalam Surangama Sutra. Sutra itu pula mengemukakan bahwa Buddha mengizinkan daging dimakan pada keadaan tertentu. Di tempat yang sulit ditumbuhi tanaman karena terlalu lembab atau panas atau berbatu kapur, orang pantas hidup dari daging binatang.
Tidaklah salah orang menerima dan memakan daging. Kesalahan terjadi bilamana orang dengan sengaja membunuh. Buddha tidak membenarkan pembunuhan atau menjual hewan untuk santapan. Sedangkan daging dibedakan dari makhluk yang berjiwa. Sebagai makanan daging dan sayuran tidak dibedakan karena fungsi yang sama, yaitu menunjang kelangsungan hidup, bukan untuk kesenangan atau kenikmatan.
Sabda Buddha kepada Jivaka, “Dalam tiga hal makan daging harus ditolak, yaitu jika seseorang melihat, mendengar, atau curiga bahwa seekor binatang dibunuh khusus untuknya.” Ia yang membunuh seekor binatang dengan sengaja khusus dipersembahkan kepada Buddha atau seorang siswanya dinyatakan tercela. Ia dicela karena menyuruh menangkap binatang, karena mengikat binatang sehingga tersiksa, karena menyuruh membunuh, karena binatang itu menemui ajalnya, dan karena memberikan apa yang tidak diperkenankan kepada orang yang harus dihormati.[4]
Suci dan tidak sucinya seseorang tidak bisa dilihat dari apa yang dimakan. Kesucian tergantung pada keadaan batin. Makan daging tidak membuat orang tidak suci bilamana ia tidak terlibat pembunuhan. Sebaliknya seseorang yang hanya makan makanan nabati, tetapi tidak melaksanakan disiplin moral dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, juga jauh dari kehidupan suci.[5]
Berpantang dalam hal makanan tidak selalu menjadi ukuran kesucian. Berpantang harus dilandasi kearifan dan merupakan cara mengembangkan cinta kasih. Berpantang karena kebodohan hanya menimbulkan penderitaan.
6 Januari 1988
[1] Digha Nikaya 26
[2] Pacchimovada Parinirvana Sutra
[3] Anguttara Nikaya V, 4 : 37
[4] Majjhima Nikaya 55
[5] Digha Nikaya 8