Gaya Hidup dan Irama Kerja
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Totet, totet, tidak hanya anak-anak yang main terompet kertas. Ada banyak orang dewasa meniup terompet, tampaknya menikmati kegembiraan anak-anak. Sekali setahun memang, di malam tahun baru. Anak-anak sendiri mesti tidur malam, sedangkan orang dewasa semalam suntuk itu mencari kesenangan. Mereka bergerombol memenuhi pusat-pusat hiburan. Gaya hidup orang dewasa jelas berbeda dari anak-anak.
Klub-klub malam, diskotik, dan tempat-tempat plesir hanya untuk orang dewasa. Kehidupan malam tidak baik untuk anak-anak, begitu kata orang-orang tua. Tidak hanya anak-anak, kata Buddha. Orang-orang dewasa pun berbahaya kalau sering mengunjungi tempat hiburan dan sering keluar rumah pada waktu malam. Kepada Sigala muda Buddha mengemukakan adanya enam bahaya untuk orang yang sering berkeliaran pada waktu yang tidak pantas: (1) Dirinya sendiri tidak terjaga, tidak terlindung. (2) Keluarganya tidak terjaga, tidak terlindung. (3) Hartanya tidak terjaga, tidak terlindung. (4) Seringkali disangka melakukan perbuatan yang buruk. (5) Menjadi sasaran segala macam gosip. (6) Mengalami banyak kesulitan lain.[1]
“Dua orang dengan cara hidup dan pekerjaan yang berbeda tentu tak dapat disamakan,” demikian ujar Buddha dalam Muni Sutta. Seorang laki-laki yang berkeluarga, yang memelihara istri, jelas berbeda dari seorang rahib. Dalam masyarakat yang mengakui perbedaan derajat kelas menurut kasta, seorang brahmana atau ksatria menjaga jarak dengan golongan waisa dan sudra yang dianggap lebih rendah. Buddha menyangkal perbedaan derajat berdasarkan kasta. Tidak ada perbedaan derajat kemuliaan menurut keturunan, karena mulia tidaknya seseorang akan tergantung pada bagaimana perbuatannya. Brahmana, ksatria, waisa, dan sudra hanya menunjukkan perbedaan cara hidup atau jenis pekerjaan.[2] Gaya hidup menurut golongan pekerjaan harus diakui berbeda, misalnya menyangkut jabatan, pendidikan, sikap, tingkah laku, sopan santun, pakaian, selera, dan preferensi lainnya, tempat tinggal, juga mengenai irama atau tempo kerja. Gaya hidup seorang artis tidak sama dengan seorang guru, petani, atau tentara.
Menurut Alvin Toffler dewasa ini bukan lagi latar belakang kelas seseorang yang menentukan gaya hidup individu, tetapi yang lebih menentukan adalah ikatan atau identifikasi orang itu dengan suatu subkultur tertentu. Ia memberi contoh hipi tidak semuanya berasal dari satu kelas masyarakat yang sama, tetapi menganut gaya hidup yang sama. Terompet tahun baru tidak hanya untuk orang dari satu kelas masyarakat yang sama, tetapi didorong oleh orang yang menyukai gaya hidup yang sama. Seperti Natal yang meriah di Jepang tidak hanya untuk orang Kristen, karena semua golongan bisa menyukainya.
Pilihan atas suatu gaya hidup tertentu akan menentukan bentuk masa depan hidup seseorang. Ada banyak subkultur dengan beraneka ragam pilihan model yang favorit, tetapi sungguh cepat kita memungut suatu gaya hidup dari reklame dan etalase di pusat-pusat bisnis. Merayakan tahun baru pun tidak lain dari cara foya-foya dengan mengejar kepuasan jasmani. “Mereka yang menyenangi nafsu indra akan jatuh ke dalam arus kehidupan, seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tetapi orang-orang bijaksana dapat memutuskan belenggu ini.”[3]
Seorang petani tahu betul bahwa ia harus membajak dan menanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Aku pun membajak dan menanam,” demikian kata Buddha. “Setelah membajak dan menanam, hasilnya Aku makan,”[4] Tidak baik orang bermalas-malasan. Kepada Sigala muda Buddha mengingatkan bahwa orang malas, mengelak dari pekerjaan yang menunggu, membiarkan kesempatan lewat untuk selama-lamanya. Masih terlalu pagi, terlalu siang, masih terlalu lapar, terlalu kenyang, terlalu dingin, terlalu panas, katanya, lalu ia tidak melaksanakan pekerjaannya. Ia tidak akan mendapatkan penghasilan yang baru, sementara simpanannya akan menjadi habis. Ketika pada hari libur orang-orang berebut mencari hiburan, para pengusaha dan pekerja yang mencari untung dari bisnis hiburan justru mesti bekerja keras. Pusat-pusat perbelanjaan, bahkan bank pun, ada yang menjadikan hari minggu sebagai hari kerja.
Setiap orang yang tidak ingin kehilangan kebahagiaannya dengan cara apa pun mesti rajin bekerja. Rajin atau bekerja keras itu hanya berarti kalau bekerja yang benar. Sebagaimana yang disampaikan oleh Buddha kepada Sigala muda, bekerja itu harus sesuai dengan kemampuan dan para pekerja memerlukan istirahat atau liburan pada waktu-waktu tertentu. Tidak ada gunanya bekerja lebih keras atau lebih lama apabila tidak sesuai dengan kemampuan atau hasilnya tidak lebih baik.
Sejak tahun 1960 orang-orang Amerika memilih bekerja lima hari dalam seminggu. Dengan bekerja lebih baik dalam lima hari ternyata hasilnya melampaui apa yang telah dicapai oleh orang-orang Jepang yang bekerja enam hari seminggu. Jelas, ini adalah efisiensi. Orang-orang yang telah bekerja keras seperti itu sepantasnya mendapatkan istirahat yang lebih banyak, dua hari dalam seminggu. Tak lama kemudian orang Jepang bekerja lebih sigap, mengejar dan melampaui apa yang dihasilkan oleh orang-orang Amerika. Mereka pun bekerja lima hari dalam seminggu. Kini gaya hidup dengan irama kerja lima hari seminggu mulai diperkenalkan di lingkungan kantor DKI.
3 Januari 1990
[1] Digha Nikaya 31
[2] Digha Nikaya 27
[3] Dhammapada 347
[4] Samyutta Nikaya VII, 2,1