Keselamatan di Bumi
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Segala yang ada tidak muncul tiba-tiba. Segala yang ada pun tidak kekal abadi. Manusia bertanya-tanya tentang dirinya dan dunia yang dihuninya. Bagaimana awal-mula dan akhir dari alam semesta dengan segala isinya? Dengan bertanya dan berusaha mencari jawabannya, manusia belajar mengenal Tuhan dan Ketuhanannya.
“Para biksu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak. Para biksu, apabila tiada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin untuk bebas dari hal-hal berikut ini, kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan. Tetapi, para biksu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan.”[1]
Manusia dan para makhluk lain yang dilahirkan, yang menjelma dan yang diciptakan, berulang-kali mengalami penderitaan dan kematian. Hidup tidak hanya sekali, dan suatu kematian bukanlah akhir, karena langsung seketika berlanjut dengan kelahiran kembali. Tidaklah terhitung berapa kali suatu makhluk mengalami lahir dan mati. Tak terungkapkan awal perjalanan lingkaran hidup yang tiada habis-habisnya. “Katakanlah dari mana sungai Gangga bermula dan di mana mencapai samudra. Pasir yang terdapat di antaranya, tidak mungkin untuk dihitung. Lebih banyak dari itulah masa-dunia (kappa) yang telah dilalui.”[2]
Satu masa-dunia dari bumi adalah umur bumi itu sendiri. Dalam suatu siklus, tiap masa-dunia ditandai oleh empat periode evolusi, yaitu: (1) Periode penghancuran atau destruksi (sanvatta-kappa). (2) Periode pemadaman dan kegelapan (sanvattatthayi-kappa). (3) Periode pembentukan (vivatta-kappa). (4) Periode statis (vivattatthayi-kappa). Bumi yang kini tergolong statis pada suatu saat kelak akan hancur kembali. Tetapi kiamat atau lenyapnya bumi ini bukan akhir dari perjalanan hidup makhluk penghuninya. Masih ada bumi atau alam kehidupan lain yang tersebar di jagat raya, tempat makhluk-makhluk itu kembali lahir atau menjelma. Setiap kehancuran itu sendiri akan diikuti proses evolusi berikutnya.[3]
Selama menjalani lingkaran kehidupan, yang ditandai kelahiran, penjelmaan, penciptaan, atau pembentukan, manusia tidak mungkin bebas sepenuhnya dari penderitaan. Sia-sialah manusia mempersoalkan bagaimana asal mula kehidupan ini di luar dari usaha untuk mengakhiri penderitaan. Kepada Malunkyaputta, Buddha menjelaskannya dengan perumpamaan sebagai berikut:
Andaikata ada orang yang terluka kena anak panah beracun, ia harus mendapatkan pertolongan seorang dokter. Namun bila orang sakit itu mendahulukan persoalan siapa orang yang melukainya, dari mana ia berasal, dan sebagainya, serta ia menolak untuk diobati sebelum pertanyaannya terjawab, maka ia akan mati tanpa pernah tahu apa yang ingin diketahuinya. Ada hal-hal yang belum atau tidak terjawab, tetapi mengatasi penderitaan tidak boleh ditunda atau terabaikan.[4]
Pengetahuan tentang lingkaran kehidupan di alam semesta penting untuk memahami arti keselamatan. Dengan berbuat baik orang mengharapkan berakhirnya penderitaan dan memperoleh keselamatan di surga. Betul surga yang berlapis-lapis adalah alam yang penuh kebahagiaan. Salah satunya surga Tavatimsa dengan bidadari-bidadari yang jelita. Surga Sukhavati yang ada di arah Barat, secara simbolis dilukiskan penuh gapura hias, pagoda-pagoda emas dan kristal, taman dan kolam dengan bunga teratai beraneka warna, segala ratna mutu manikam berserakan, dan ada musik surgawi lagi. Di sana bertakhta Buddha Amitabha dan tidak ada makhluk yang menderita. Di Timur, di selatan, utara, nadir, dan zenith pun ada surga. Makhluk yang lahir di surga Sukhavati misalnya, terjamin pasti akan berhasil mencapai Nirwana.[5]
Nirwana memang bukan surga. “Para Biksu, ada suatu konsisi di mana tiada tanah atau air atau api atau pun udara, bukan alam yang tak terbebas atau yang berkesadaran tak terbatas atau yang kosong atau bukan pula alam kesadaran pun bukan ketidaksadaran. Bukan dunia ini atau dunia lain atau kedua-duanya, pun tiadalah bulan tiadalah matahari.
Dan para Biksu, Aku nyatakan di sana tidak terdapat kelahiran, di sana tiada kematian, di sana tiada batasan lama waktu, di sana tiada kelapukan, di sana tiada pembentukan, tiada hasil, tiada sebab. Itulah sesungguhnya akhir penderitaan.”[6]
Akhir penderitaan, apakah itu disebut Penerangan Sempurna, Kebebasan Mutlak, Keselamatan Sejati, atau Nirwana dapat dicapai ketika orang masih hidup. Menjadi Buddha atau Arahat berarti telah mencapai Nirwana. Dalam Itivuttaka dapat dipelajari dua aspek Nirwana. Yang dicapai dalam kehidupan ini adalah Nirwana dengan sisa (saupadisesa). Sedangkan yang dicapai setelah meninggal dunia adalah Nirwana tanpa sisa (anupadisesa). Mangkatnya Buddha disebut Parinirwana (Parinibbana), yaitu pencapaian Nirwana penuh, tanpa sisa.
Dalam agama Buddha, keselamatan yang tercapai harus didasarkan pada pengalaman yang didasari oleh orang yang bersangkutan. Pandangan bahwa keselamatan dapat dinikmati setelah kematian hanyalah merupakan pandangan yang spekulatif. Penderitaan itu dialami di bumi, dan pembebasan atau penyelamatan juga bisa terjadi di bumi.
30 Maret 1988
[1] Udana VIII, 3
[2] Samyutta Nikaya XV, 1 : 8
[3] Digha Nikaya 1
[4] Majjhima Nikaya 63
[5] Sukhavativyuda Sutra
[6] Udana VIII, 1