Awas, Itu Manusia
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Ada yang berteriak: Awas, itu manusia! Manusia tak lain dari pembawa bencana bagi sekawanan kera misalnya. Binatang itu tidak memfitnah, juga tidak harus bersusah payah menceritakan keburukan manusia. Manusia sendiri dengan jujur mengakui dan mengabadikan pengakuannya dalam relief di Candi Borobudur. Katakanlah dongeng, namun pesan yang dikandungnya, yang diangkat dari Kitab Jatakamala, mengungkapkan suatu kebenaran.
Konon segerombolan kera hidup sejahtera di hutan yang kaya dengan buah-buahan. Di anataranya terdapat sebatang pohon raksasa yang tumbuh di tepi sungai, tak habis-habisnya menghasilkan buah yang lezat sepanjang tahun. Raja kera memerintahkan anak buahnya untuk mengawasi jangan sampai ada buah yang hanyut terbawa air sungai. Bilamana manusia yang bermukim di hilir menemukan buah tersebut, bencana akan datang mengakhiri ketenangan hidup di hutan. Ia cukup waskita dan waspada. Tetapi, sekali waktu mereka lengah juga. Manusia menemukan buah yang ranum itu dan sempat mencicipinya. Mudah diduga, beramai-ramai kemudian manusia menyusuri sungai ke arah hulu, mencari pohon dari mana buah itu berasal. Tibalah bencana di hutan itu.
Tidak dapat disangkal, bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar, salah satunya adalah makanan. Orang yang lapar tidak memilih makanannya, ujar Guru P’ang dalam tradisi Zen yang klasik. Manusia yang membawa bencana bagi kera menurut kisah di atas bukanlah orang yang kelaparan. Mereka itu orang yang serakah. Terdorong oleh keserakahan manusia menangkap dan menjual berbagai satwa yang dilindungi, membantai ikan duyung, menggunduli hutan, dan sebagainya. Perbuatan semacam ini tidak akan dilakukan oleh orang yang saleh.
Barangsiapa yang saleh dan bijaksana memenuhi kebutuhan hidupnya dan menghimpun kekayaan bagai seekor lebah yang akan mengumpulkan madu tanpa mengganggu atau menyakiti pihak lain.[1] Buddha dan pengikutnya menjauhkan diri dari pembunuhan, tiada akan dengan semena-mena merusak tumbuh-tumbuhan, bahkan biji-bijian yang masih dapat tumbuh sekalipun. Orang yang pandai dan bijaksana akan mengangkat dirinya hingga mencapai kedudukan atau kualitas yang setinggi-tingginya di dunia ini, hanya dengan sumber daya yang minimal, seperti api kecil yang dapat dihembus menjadi besar.[2]
Kisah seekor kakatua di hutan Udumbara di pedalaman Himalaya dapat didramatisir untuk menunjukkan bagaimana sesosok makhluk merasa puas dengan terpenuhinya kebutuhan secara minimal. Burung kakatua ini bersarang di puncak pohon ara dan mendapatkan makanan dari pohon itu. Ia bisa menikmati buah pada musimnya. Tiada buah, dimakannya pucuk muda, daun, atau kulit pohon. Air minum diperoleh dari sungai Gangga yang mengalir di dekatnya. Pada suatu ketika pohon itu layu dan semua daun kering, berguguran. Pohon-pohon lain di sekitarnya masih rimbun dan berbuah.
Namun si kakatua tidak tertarik untuk menikmati makanan dari pohon yang lain. Kulit pohon yang kering masih dapat dimakannya, dan ia menikmati dengan puas. Mengapa mesti pindah, katanya. Burung ini tidak serakah. Konon Dewa Sakka yang sengaja menguji si kakatua, merasa terharu lalu menjadikan pohon kering itu bersemi kembali dan menghasilkan buah yang banyak.[3]
Manakala ada seekor ular menyelinap ke dalam rumah, tidak seorang pun manusia yang ingin tidur tenang akan membiarkannya. Ketika malaria atau demam berdarah merajalela, apa pedulinya manusia dengan segala hak asasi nyamuk. Penganut Buddha yang fanatik, yang pantang membunuh dengan insektisida, dengan semangatnya melakukan pengendalian lingkungan, khususnya memberantas semua sarang nyamuk. Atau melakukan pengendalian biologi, misalnya memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
Menghadapi perubahan lingkungan yang mengancam atau merugikan kehidupan, dengan berdiam diri manusia menunjukkan kebodohan. Orang yang bijaksana yang dapat memilih apa yang baik dan menghindari apa yang buruk seakan-akan memegang sepasang piring neraca, sesungguhnyalah yang patut disebut orang suci. Karena ia dapat memilih apa yang baik dan menghindari apa yang buruk maka ia disebut orang suci.[4]
Kembali kepada cerita kera di atas, manusia bersenjata memasuki hutan, mengusir dan menyerang kera-kera itu. Manusia merasa berhak atas hutan dan pohon-pohonnya, bahkan berhak pula menentukan nasib semua binatang yang menghuninya, termasuk semua kera di sana. Manusia datang dengan segala kekerasan dan keganasannya. Api kebencian berkobar. Apa daya, kera-kera yang mencoba melawan atau bertahan menghadapi kematian. Raja kera berusaha melindungi anak buahnya sehingga sebagian dari kera-kera itu sempat melarikan diri. Namun ia sendiri menjadi sasaran anak panah manusia. Ia adalah pemimpin dan memiliki kewajiban untuk menyelamatkan anak-anaknya.
Wajar, begitu wajar bagi raja kera itu, seorang pemimpin ikhlas mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan mereka yang dipimpinnya. Ada yang tercengang. Sungguh, apa yang diherankan? Mengapa bukan bawahan yang harus mengorbankan diri untuk melindungi junjungannya? Yang tercengang itu manusia.
8 Juni 1988
[1] Digha Nikaya 31
[2] Jataka 4, Cuttaka Setthi Jataka
[3] Jataka 429, Mahasuka Jataka
[4] Dhammapada 268-269