Mengangkat Martabat Si Miskin
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Menurut Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia, keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya: kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kepanduan. Kemauan bersatu yang tercetus dalam Sumpah Pemuda pasti tak lepas dari tuntunan mengangkat martabat dan taraf hidup bangsa.
Selanjutnya Republik yang berdasarkan Pancasila ini lahir untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia serta mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Negara yang mengatasi segala perbedaan suku bangsa, golongan, agama, ataupun derajat sosial berkehendak mewujudkan keadilan sosial. Kemakmuran tidak hanya bagi sekelompok masyarakat, tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan menghormati persamaan martabat dan memberi kesempatan yang sama bagi setiap manusia Indonesia. Kemiskinan pada sebagian masyarakat Indonesia tentunya menjadi masalah seluruh bangsa Indonesia yang harus dipecahkan bersama-sama.
Manusia sendiri dilahirkan berbeda, ada yang lahir sebagai anak orang kaya, ada yang lahir dalam keluarga miskin. Kalau kemiskinan ini pemberian Tuhan, maka manusia harus menerima apa adanya. Subha, seorang pemuda brahmana mempertanyakan apa alasannya ada yang hina dan ada yang mulia di antara manusia yang sama berakal budi. Ada yang miskin, ada yang kaya. Ada yang sedikit rezekinya, ada yang banyak. Demikian pula halnya perbedaan antara buruk rupa dan cantik, yang berpenyakitan dan yang sehat, yang pendek umur dan yang panjang umur, yang bodoh dan yang pandai. Buddha menjawab bahwa perbuatan (karma) yang dilakukan oleh seseorang menentukan nasibnya sendiri. Apa yang terjadi dalam kehidupan sekarang merupakan buah dari perbuatan dalam kehidupan sebelumnya. Perbuatan di masa sekarang dan yang akan datang dapat merubah nasib tersebut.[1]
Hidup itu mengandung penderitaan. Ini adalah pokok kebenaran yang pertama dalam ajaran Buddha. Pokok kebenaran ini bukan diterima sebagai takdir. Lalu, apa selanjutnya yang harus diperbuat oleh manusia? Buddha menyodorkan kebenaran yang kedua mengenai adanya sebab dari penderitaan dan kebenaran yang ketiga tentang lenyapnya penderitaan. Ia pun membentangkan kebenaran yang keempat, yakni jalan untuk mengakhiri penderitaan. Karena nasib setiap orang ditentukan oleh perbuatannya masing-masing, jalan itu harus ditempuh oleh orang itu sendiri. Buddha mengajarkan agar para pengikutnya berusaha dengan kekuatan sendiri dan tidak menggantungkan nasib pada orang lain.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah penderitaan yang ditemukan di mana-mana. Untuk menanggulangi kemiskinan ini, banyak orang yang mengharapkan belas kasihan dari mereka yang tergolong mampu. Kekayaan bagi seseorang itu seharusnya tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi agar dibagikan kepada orang-orang yang kekurangan.
Agama memang mengajarkan kedermawanan. Agaknya tidak akan ada kemiskinan apabila orang-orang yang kaya bersedia menolong si miskin. Maka, orang-orang miskin punya hak untuk meminta. Di tempat-tempat umum, di sudut-sudut jalan, di persimpangan lampu lalu lintas, muncul orang-orang yang meminta dengan sabar atau pun sampai memaksa. Berulangkali pengemis mendapat sumbangan, dari hari ke hari, tahun ke tahun, tetap saja nasibnya tidak berubah.
Barangkali tidak cukup derma yang dapat memenuhi kebutuhan si miskin. Namun ditinjau lebih mendalam menurut ajaran Buddha, bagaimana pun orang miskin hanya dapat mengubah nasibnya kalau ia sendiri berubah. Sepanjang kekuatan karma buruk yang pernah diperbuatnya di masa yang lalu masih bekerja, ia akan tetap tinggal miskin. Orang bisa menjadi kaya tidak saja karena perjuangannya dalam hidup ini, tetapi juga karena senang berdana dalam kehidupannya yang terdahulu. Sedangkan orang yang miskin tidak suka berdana dalam kehidupannya yang lalu. Maka, anjuran berdana dalam agama Buddha tidak ditujukan kepada orang kaya saja. Orang miskin justru harus lebih sering berdana supaya di kelak kemudian hari ia hidup berkecukupan. Tentu saja berdana itu harus diartikan lebih luas dari sekadar memberi sumbangan atau barang.
Orang miskin boleh tidak mengemis, tetapi sebaliknya dapat memberikan dana kepada orang yang lebih mampu. Ia dapat menyumbangkan tenaga, menyumbangkan darah, menyumbangkan pikiran misalnya. Orang miskin harus menolong dirinya sendiri. Untuk menolong orang miskin, tidak cukup dengan sekadar memberi sumbangan material. Mereka justru harus dibantu atau dididik agar tahu dan mampu memanfaatkan apa saja yang dipunyainya sehingga dapat berdana kepada orang lain. Berilah kail, bukan ikannya, begitu kata pepatah.
Maka, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya, orang miskin tidaklah berbeda dari orang yang berkecukupan, dapat menyumbang apa saja yang pantas untuk negeri ini. Perbedaan status sosial ekonomi pun tunduk pada persamaan martabat dan kesempatan.
1 November 1989
[1] Majjhima Nikaya 135