Hutang dan Bunga
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Mempunyai hutang acapkali mengganggu ketenteraman batin. Terdapat lima rintangan batin, yakni: hawa nafsu, itikad buruk, kemalasan, kegelisahan dan keragu-raguan. Buddha menghubungkan hutang pada rintangan batin, seperti halnya penyakit atau penjara, perbudakan dan perjalanan berbahaya melalui hutan yang angker, sangat tidak menyenangkan.[1]
Tidak mempunyai hutang, itulah salah satu keadaan yang menyenangkan. Adalah benar kebahagiaan mungkin datang dengan memiliki kekayaan dan tentunya pula karena dapat memanfaatkan kekayaan tersebut. Namun lebih jauh lagi Buddha mengingatkan bahwa kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai hutang dan tidak melakukan pekerjaan atau perbuatan yang tercela.[2]
Kemiskinan lazim membawa penderitaan. Orang miskin yang menghadapi kesulitan mudah terlibat hutang. Lalu ia harus membayar cicilan dan bunganya. Ia dikejar-kejar tagihan, dan sekalipun tidak mampu tetap saja ia dipaksa membayar. Jikalau tidak membayar, ia dicecar, dihina, dan disakiti. Akhirnya ke penjara ia pergi.[3]
Salahkah berhutang itu? Suatu perbuatan mungkin menimbulkan penderitaan baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Mungkin pula menimbulkan penderitaan lebih dahulu, tetapi akan menghasilkan kebahagiaan di kemudian hari. Atau sebaliknya suatu perbuatan dapat memberikan kebahagiaan lebih dahulu, dan menghasilkan penderitaan di kemudian hari. Yang paling baik perbuatan itu memberikan kebahagiaan pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Untuk menikmati kebahagiaan sekarang maupun di kemudian hari, setiap orang harus melindungi dirinya dengan menolak segala bentuk kejahatan. Ia harus merasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan merasa takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa). Kedua sifat ini dinamakan Dharma pelindung dunia.[4] Orang akan menghindari perbuatan yang tercela dan memilih bantuan atau berhutang pada orang lain dalam mengatasi kesulitannya.
Buddha sendiri mengemukakan seseorang mungkin meminjam uang dan mempergunakannya sebagai modal usaha. Setelah usahanya berhasil, ia tidak saja membayar hutangnya tetapi juga mempunyai kelebihan untuk memelihara dan melindungi keluarganya.[5]
Ia mengajarkan hukum karma (kammavadi) dan hukum perbuatan (kiriyavadi). Pepatah mengatakan: Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Masalahnya memang sukar mengenali orang yang memberi pertolongan sejati. Sama halnya sukar pula menemukan orang yang tahu terima kasih dan menyadari pertolongan yang diberikan padanya.[6]
Kepercayaan (nissayasampanno) jelas merupakan salah satu sifat yang harus dijunjung dan dipertahankan. Mereka yang menaruh rasa percaya mau menyodorkan bantuan modal kepada orang yang memerlukan. “Ambillah uang ini dan silakan pakai untuk berusaha, menyokong anak dan istrimu, lalu membayar kembali kepada kami sewaktu-waktu,” demikian ucapan yang diulas oleh Buddha. Suatu pinjaman diberikan untuk menolong, maka pengembaliannya dinyatakan sewaktu-waktu, dengan mempertimbangkan kemampuan bayar.
Buddha menjelaskan bahwa seseorang mau meminjamkan modal kepada orang lain, karena sudah dikenalnya baik, cakap, dan sewaktu-waktu mengembalikan lebih sebagai imbalan atau keuntungan yang didapat dari pinjaman modal tersebut.[7] Memberi keuntungan ini dapat diartikan sebagai bunga.
Bunga memang dibenarkan. Bunga adalah tanda terima kasih, pembalasan jasa atau ganti rugi yang diberikan kepada seseorang yang telah meminjamkan uang atau modal. Dengan meminjamkan uang kepada orang lain, seseorang tidak hanya menahan diri atau menunda untuk memakainya sendiri, tetapi juga menghadapi beberapa resiko. Resiko itu mungkin berupa kehilangan. Atau berupa perubahan nilai sehubungan dengan pengaruh waktu, termasuk adanya inflasi. Bunga sebenarnya ditentukan oleh penawaran dan permintaan yang bersifat memaksa. Orang tidak kehilangan kebebasan untuk menentukan pilihannya.
Sudah menjadi sifat manusia daripada menunggu, orang lebih senang menerima atau menikmati sesuatu yang menyenangkan, apa itu jasa atau pun barang sekarang juga. Ia mau menunggu bila perolehannya lebih besar dari yang bisa didapat segera. Jika seseorang meminjamkan kepada pihak lain ataupun menabung, mereka mengharapkan hasil kemudian yang lebih besar. Tetapi mengharap atau menuntut berlebihan, ini pertanda tamak (lobha), jelas tidaklah dibenarkan. Pemungut bunga yang terlalu banyak bisa menjadi pengisap darah maka dinamakan lintah darat. Ia dikecam karena menindas dan melupakan maksud untuk menolong.
Orang yang batinnya dikuasai oleh ketamakan yang tiada terkendalikan, akan mengerjakan apa yang seharusnya tidak boleh dikerjakan dan akan lalai terhadap apa yang seharusnya dikerjakan.[8]
13 Januari 1988
[1] Digha Nikaya 2
[2] Anguttara Nikaya IV, 7 ; 62
[3] Anguttara Nikaya VI, 5 ; 45
[4] Anguttara Nikaya II, 1 ; 9
[5] Digha Nikaya 2
[6] Anguttara Nikaya II, 11 : 2
[7] Anguttara Nikaya III, 2 ; 20
[8] Anguttara Nikaya IV, 7 ; 61