Beberapa Konsep Manajemen
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Suatu agama menjadi besar karena nilai spiritualnya sekaligus karena keberhasilan dari pelembagaannya. Buddha sebagai guru tidak hanya berkhotbah tetapi juga membentuk dan menggerakkan organisasi penganut, khususnya Sanggha. Manajemen yang sering dibicarakan dewasa ini berkembang bersamaan dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan raksasa. namun apa yang kita namakan manajemen tidak terbatas pada dunia ekonomi, dan seharusnya dapat ditemukan pula pada lembaga agama.
Tanpa organisasi dan manajemen, yang ada hanya gerombolan manusia. Lembaga Sanggha memiliki keanggotaan yang jelas identitasnya, yakni para rahib, dan jelas tujuannya. Lembaga itu didirikan bukan saja untuk kepentingan anggotanya, tetapi sekaligus pula untuk kepentingan semua makhluk. Setiap anggota Sanggha mengabdi demi cinta-kasih, bekerja untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan orang banyak. Tanpa cita-cita melayani orang yang bukan anggotanya, mereka dengan mudah mengasingkan diri, menjauhi kehidupan masyarakat umum.
Devadatta pernah mengusulkan kepada Buddha agar seorang biksu selama hidupnya bertapa di hutan. Namun usul ini dengan tegas ditolak oleh Buddha. Rahib yang tidak berumah-tangga, menempuh hidup pertapaan, sebagai perorangan memang perlu menyepi dalam melatih dirinya. Sedangkan sebagai anggota Sanggha, para rahib mengabdi dan melayani masyarakat luas. Dalam bentuk pangabdian ini, dengan sendirinya pula para rahib memperoleh buah dari apa yang mereka tanam. ‘Perumah-tangga maupun mereka yang tak berumah-tangga, keduanya bergantung satu sama lain, bersama-sama merealisasi Dharma yang sejati.”[1]
Cita-cita memberi sumbangan, melayani, dan memuaskan orang yang bukan anggotanya menjadi ciri lembaga agama atau organisasi sosial. Seperti halnya rumah sakit didirikan bukan untuk kepentingan para dokter dan perawat, tetapi untuk kepentingan pasien. Sekolah didirikan bukan untuk kepentingan pengajar, melainkan untuk para pelajar. Lembaga-lembaga semacam ini pada dasarnya memang tidak mengejar keuntungan ekonomi. Penyelenggaraan lembaga agama atau lembaga sosial dihubungkan dengan kedermawanan. Lembaga bisnis diakui justru mengutamakan tujuan ekonomi, dan perusahaan menjadi besar karena dorongan keserakahan. Kedermawanan dan keserakahan adalah dua hal yang berlawanan. Oleh karena itu banyak orang tidak melihat perlunya seorang pelaku ekonomi berpikir tentang nilai agama ketika melakukan usahanya untuk menjadi kaya.
Sebaliknya seorang penganut agama yang saleh tidak akan meninggalkan nilai spiritualnya barang sekejap pun dalam semua kegiatan, tanpa kecuali. Dari sisi pandang agama, seseorang tidak perlu serakah untuk menjadi kaya. Barangsiapa bekerja dengan giat dan produktif, dalam arti benar dan berkualitas, memberi kepuasan pada orang lain yang dilayani, dengan sendirinya ia akan memperoleh keuntungan ekonomi. Tepat sekali seperti apa yang diutarakan oleh Peter F. Drucker, perusahaan ada untuk mengadakan barang dan jasa bagi pelanggan, bukan terutama untuk memberi pekerjaan kepada pegawai dan manajer, bahkan tidak juga terutama untuk menghasilkan dividen bagi pemegang saham. Setiap orang di dalam lembaga masa kini bertugas memberikan palayanan kepada orang lain, untuk memuaskan orang yang bukan anggotanya.
Manajemen yang ditunjukkan oleh Buddha tidak tergantung pada pemilikan seseorang. Sumber daya diperlukan untuk dimanfaatkan, bukan untuk dimonopoli, apalagi dihabiskan untuk kepentingan perorangan. Anggota Sanggha bisa memenuhi kebutuhan dirinya dan menikmati kesejahteraan tanpa harus memiliki. Apa artinya memiliki tetapi tidak bisa menikmati? “Aku memiliki anak-anak, aku memiliki kekayaan,” demikian pikiran orang bodoh. “Apabila dirinya sendiri bukan menjadi miliknya, bagaimana mungkin anak-anak dan kekayaan itu merupakan miliknya?”[2]
Manusia adalah sumber daya dan kekayaan (asset) yang terbesar dalam suatu lembaga atau perusahaan, E. F. Schumacher mencatat sedikitnya terhadap tiga fungsi bekerja dalam pandangan agama Buddha, yakni: memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya; agar orang mengatasi egoisme dengan melaksanakan tugas bersama-sama orang lain; dan menghasilkan karya, barang, atau jasa. Manusia bukanlah budak yang diatur dan diperalat. Dalam banyak kesempatan Buddha menyatakan, “Diri sendiri sesungguhnya adalah tuan atas dirinya sendiri.”
Oleh karena itu setiap orang memikul tanggung jawab masing-masing. Orang yang menjadi majikan atas dirinya sendiri harus mengendalikan diri, mengembangkan kemampuan sendiri dan menghasilkan karya dengan sebaik-baiknya. “Suatu pekerjaan yang dipekerjakan dengan seenaknya, suatu tekad yang tidak dijalankan dengan selayaknya, kehidupan suci yang tidak dijalankan dengan sepenuh hati, tidaklah akan membuahkan hasil yang benar.”[3]
Menurut konsep “anatta”, setiap bentuk yang terdiri dari gabungan unsur-unsur tidaklah memiliki inti yang berdiri tersendiri. Tidak ada pimpinan tanpa bawahan, tidak ada bawahan tanpa pimpinan. Kesadaran akan ketergantungan ini tidak bisa lain menuntut leburnya sang aku (ego) dalam kebersamaan. Ketika suatu kesalahan terjadi, seorang manajer pun bukan bertanya siapa yang salah, tetapi meneliti mengapa terjadi kesalahan. Menurut konsep “anicca”, segala sesuatu di dunia ditandai ketidakekalan. Menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan menjadi penting. Kesadaran pada konsep ini menurut seseorang untuk selalu berubah menjadi lebih baik. Maka belajar pun menjadi tiada akhirnya.
Manajemen sebagai disiplin ilmu berlaku universal. Namun bagaimana pun praktik manajemen menyangkut sikap si pelaku. Di situlah manajemen Buddhis ditemukan, bagaimana nilai-nilai dan konsep pemikiran menurut agama Buddha mempengaruhinya.
31 Mei 1989
[1] Itivuttaka III
[2] Dhammapada 62
[3] Dhammapada 296