Yang Sehat Membantu Yang Sakit
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Ketika orang merasa senang gembira, tubuhnya terasa sehat dan dunia tampaknya ramah penuh tawa. Di saat orang merasa malu, kulit mukanya menjadi merah, dan dunia bagai mengejek atau menertawakannya. Orang yang merasa takut, merasakan pula jantungnya berdebar, tubuhnya gemetar, dan dunia seakan-akan mengancamnya. Orang yang merasa sedih mengeluarkan air mata, lama-lama lambungnya ikut menangis mengeluarkan cairan asam lambung berlebihan, sehingga timbul sakit maag, sedangkan dunia menjadi serba kelabu.
Buddha melihat dunia dan manusia yang terjadi dari unsur jasmani dan rohani itu tidak terpisah. “Di dalam tubuh yang tidak seberapa besarnya, disertai persepsi dan kesadarannya, Aku nyatakan adanya derita ini, demikian pula asal mula derita dan lenyapnya derita, serta jalan yang menuju akhir derita.”[1] Dunia bagi hidup seorang manusia ditandai adanya penderitaan. Pengalaman tentang ketidaknyamanan dan penderitaan di dunia diawali dengan peristiwa kelahirannya yang ditandai dengan tangisan yang pertama. Pengalaman selanjutnya adalah terkena penyakit. Lalu kecemasan karena menjadi tua dan ketakutan akan mati. Terikat pada sesuatu yang tidak menyenangkan atau terpisah dari sesuatu yang menyenangkan juga bukanlah kebahagiaan.
Untuk hidup menyenangkan, manusia memiliki sejumlah kebutuhan. Ada orang yang memerlukan banyak, ada yang cukup seperlunya saja. Salah satu kebutuhan pokok seorang manusia adalah pemeliharaan kesehatan. Sekalipun misalnya seorang rahib Buddha dapat hidup dengan konsumsi yang sangat minimal, ia tetap memerlukan tingkat kesehatan yang semaksimal mungkin. Tidak dapat disangkal setiap orang berhak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang layak. Namun hak tersebut hanya mungkin terpenuhi apabila manusia yang bersangkutan telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, yaitu aktif memelihara kesehatannya sendiri dan berperilaku sesuai dengan norma-norma kesehatan. Tetapi sebagaimana dinyatakan bahwa pada diri manusia itu sendiri, adanya derita, asal mula derita, lenyapnya derita dan tergantung pada dirinya pula jalan atau kekuatan untuk mengakhiri derita.
Banyak orang mengeluh setelah jatuh sakit. Biaya pengobatan itu mahal. Orang pandai memberi harga, pandai menghargai barang yang berharga. Tetapi apa yang dinamakan kesehatan justru kurang dihargai oleh kebanyakan orang. Nilai kesehatan tidak lebih dari sehari tanpa rokok di Hari Kesehatan Nasional yang lalu, dan setahun kurang sehari orang tetap menghirup asap rokok. Seorang perokok bisa jadi menemukan kenikmatan dari kebiasaannya itu. Kian lama kian banyak orang terbawa merokok. Yang semula tidak merokok ketularan ikut merokok. Bukankah ini semacam penyakit menular? Selama ini kita terbiasa berpikir bahwa penyakit yang menular atau kejahatan juga menular. Sebaliknya, tidakkah pantang merokok bisa juga menular sehingga para perokok berhenti merokok? Kapan kita akan mengakui bahwa kesehatan itu juga menular seperti halnya panyakit, kebajikan juga menular seperti halnya kejahatan? Begitulah Shankara melihat kebaikan itu menular dalam persekutuan dengan orang suci.
“Sekiranya seseorang melihat orang bijaksana yang menunjukkan dan memberitahukan kesalahan dirinya, ibarat orang yang menunjukkan harta karun, maka hendaklah ia bergaul dengan orang bijaksana tersebut.”[2] Bukanlah kebijaksanaan ditularkan? Buddha dan para orang kudus memang menularkan kebijaksanaan dan kebajikan-Nya. Pengajaran dari seorang guru kepada muridnya tak lain dari proses menularkan ilmu. Dengan penularan itu yang arif bijaksana atau yang pandai membantu yang bodoh. Dalam pengembangan masyarakat, mendidik kader merupakan cara menularkan bekal pengetahuan yang praktis dan perilaku yang positif untuk pembangunan. Kesehatan pun dapat menular lewat kader-kader kesehatan di desa-desa, menular lewat dokter-dokter kecil di sekolah dasar, misalnya. Dengan penularan itu yang sehat menolong yang sakit.
Orang yang baik dan layak dihargai tidak saja memikirkan kepentingan dirinya, tetapi juga kepentingan semua umat manusia, dan senantiasa membantu orang lain.[3] Banyak usaha sosial telah berkembang karena dorongan untuk membantu sesamanya. Pada suatu peristiwa kematian, masyarakat bergotong royong, mengumpulkan dana kematian. Bagaimana dengan dana untuk pemeliharaan kesehatan? Masyarakat dapat menanggung beban pembiayaan untuk kesehatan secara gotong royong pula, dengan cara berdana atau mengiur. Apakah namanya dana sehat atau asuransi, yang sehat merelakan uangnya dipakai untuk membiayai pemeliharaan kesehatan orang yang sakit. Maka yang sehat dapat membantu yang sakit dalam mengatasi beban pembiayaan.
Bagaimana menyelamatkan setitik air? Masukkanlah ke dalam lautan. “Satu dalam semua, semua dalam satu, jika ini saja disadari, jangan lagi khawatir akan kesempurnaanmu,” demikian ujar Sosan, guru Zen masa silam. Ketidak-akuan dan kebajikan yang timbul karena cinta-kasih dapat membentuk nilai bermasyarakat, untuk membantu orang lain sekaligus pula melindungi diri sendiri.
16 November 1988
[1] Anguttara Nikaya IV, v : 45
[2] Dhammapada 76
[3] Majjhima Nikaya 51