Gerakan Kebersihan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Ajaran Buddha tak lepas dari kenyataan hidup sehari-hari. Misalnya Feng, seorang guru Zen, menyatakan keistimewaan rumah tangga atau perguruannya adalah pada sebuah meja, kursi, baki, perapian, dan jendela. Lalu persekutuan biksu tak lain dari ujar sapa ‘apa kabar’ di pagi hari, atau ‘selamat malam’ di lewat senja.
Chau-chou memberi petunjuk kepada muridnya, “Jika sudah makan, cucilah mengkokmu.” Itulah ajaran Buddha untuk hidup sehari-hari. Penghayatan keagamaan Buddha bisa diperoleh lewat kegiatan kerja, apakah itu mencari kayu bakar, membersihkan lantai, membuang sampah, dan sebagainya.
Gerakan kebersihan itu bukan barang asing. Namun permasalahannya yang tak kunjung selesai.
Bersih pangkal sehat. Pernyataan ini sangat dikenal, sejak masa Taman Kanak-Kanak, bahkan lebih dini lagi. Pengaruh terhadap kesehatan paling besar datang dari lingkungan. Lingkungan ini tidak menjadi semakin baik dengan semakin bertambahnya usia suatu kota, dengan hingar-bingarnya penduduk yang semakin padat, yang membebani lingkungannya dengan sampah dan limbah. Sampah adalah sumber penyebab penyakit, tempat mencari makanan dan berkembangbiaknya vektor penyakit. Sampah menyumbat saluran air dan menimbulkan banjir. Gunungan sampah di tepi jalan tidak hanya merusak selera penglihatan dan penciuman, tetapi juga membuat macet lalu lintas, menambah kecelakaan, dan sebagainya. Semua orang dapat menambahkan sederetan keluhan lain. Semua orang, ya kita semua punya andil dalam menambah gunungan sampah. Lalu apa kita juga sudah ikut membersihkan?
Gotong Royong Menabur Kebajikan
Gerakan kebersihan tidak membosankan. Ini keutuhan, tetapi memerlukan semangat juga gaya baru. Gotong royong gerakan kebersihan yang digalakkan oleh Ibu Negara – Nyonya Tien Soeharto, disertai Pangab Jenderal Benny Moerdani, dan para pemimpin lain tentu punya makna dan pengaruh tersendiri. Sampah bukan cuma urusan dan tanggung jawab sekelompok orang atau instansi yang diserahi tugas untuk itu. Sampah bukan cuma tanggung jawab Dinas Kebersihan. Membenahi sampah tidak selesai dengan kepasrahan karena kekurangan dana, kekurangan sarana dan tenaga. Gerakan gotong royong tidak memaksa, tetapi lebih mendorong kesadaran dan mendidik.
“Seseorang yang terbiasa kotor, sekalipun melihat suatu kolam yang penuh berisi air bersih, tidaklah ia manfaatkan kolam (yang airnya dapat membersihkan kotoran) itu, sehingga bukanlah salah pada kolam tersebut.” Demikian dijelaskan oleh Buddha menurut Kitab Buddhavamsa. Dalam bagian kitab yang sama diuraikan selanjutnya, sebagaimana orang telah membuang kotoran yang menjijikkan, yang mencekik lehernya, lalu menjadi lega dan bebas. Atau sebagaimana orang membuang hajat pada tempatnya, lalu menjadi tenang dan lapang. Bodhisattwa pun mencari jalan yang bersih, bebas dari segala bentuk noda kotoran.
Kesetiakawanan dan kemauan untuk ikut bertanggung jawab membenahi sampah yang diwujudkan sebagai gerakan kebersihan tidak jarang menarik kelompok umat Buddha. Gerakan yang sekali-kali dan tak lepas dari keterbatasan mungkin menimbulkan kesan pamer. Karenanya suatu pembiasaan, pelembagaan, dan kebersamaan dengan kelompok-kelompok lain yang tak putus-putusnya akan memperkuat kesetiakawanan itu. Gerakan yang membesar akan semakin memperkuat semangat. Apalagi gerakan yang terbangkit dari rasa bakti yang mendalam.
Rasa bakti itu punya latar belakang religius. Dikisahkan Bodhisattwa itu bernama Sumedha, seorang brahmana pada zaman Buddha Dipankara. Ia terjun bersama khalayak ramai membersihkan jalan dan lingkungan untuk memuliakan Buddha. Menurut dia itulah salah satu cara menabur benih kebajikan. Bahkan bagian jalan yang tidak sempat dibersihkan ia tutup dengan hamparan jubah dan tubuh sendiri. Ia merelakan rombongan Buddha berjalan di atas tubuhnya, ketimbang di atas jalan becek berlumpur. Sumedha ini di kemudian hari menjadi Buddha Sakyamuni, Buddha yang kita kenal di zaman ini.[1]
Sanksi Perda
Kesadaran masyarakat acapkali tidak tumbuh karena himbauan atau penerangan bergaya lembut. Menegakkan disiplin dalam masyarakat kita dianggap perlu diatur oleh hukum. Konon di Bukittinggi para Kepala Daerah Tingkat II seluruh Indonesia pernah membincangkan cara mengatasi masalah sampah. Peraturan daerah (perda) dengan sanksinya perlu untuk membenahi kebersihan itu. Banyak orang baru menurut kalau ada hukumannya untuk yang bandel. Maka sesudah lumayan banyaknya orang yang mesti diadili karena melanggar perda, beberapa kota berhasil bersih. Sanksi dapat dipahami dan diterima sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan yang baik.
Dalam percakapan dengan Kesi, seorang pelatih kuda, Buddha menguraikan cara menjinakkan orang. Cara yang halus, cara yang keras, atau keduanya sekaligus. Ia pun akan menggunakan hukuman terhadap siswa yang tak dapat diperbaiki kelakuannya dengan peraturan dan teguran.[2] Tidaklah heran di mata Feng, sang Guru Zen, Buddha Sakyamuni itu bagai pengawas penjara, yang keras kepala lagi.
Setiap usaha mengatasi suatu permasalahan biasanya kita kembalikan pada formulasi, “Segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab” dan sebab itulah yang harus kita tangani.[3] Buanglah sampah pada tempatnya.
24 September 1986
[1] Buddhavamsa IIA
[2] Anguttara Nikaya IV, 12 : 111
[3] Maha Vagga I, 6