Tidak Hanya Satu Hari Cinta
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Amanat Buddha kepada para biksu sehubungan dengan sikap terhadap wanita adalah tegas sekali. “Jangan menatap mereka.” Kalau melihatnya juga, “Jangan menyapanya.” Kalau ada wanita mengajak bicara, “Jagalah perhatian dan pengendalian diri.”[1]
Mudah dimengerti para biarawan yang hidup selibat, tidak menaruh minat terhadap cinta yang berhubungan dengan jenis kelamin. Buddha sendiri lebih banyak berbicara soal cinta kasih semesta. Tetapi cinta dan hubungan antara pria dan wanita sebagai bagian dari kehidupan orang yang berkeluarga tetap mendapatkan perhatian.
Sir Edwin Arnold dalam The Light of Asia yang berbentuk syair, menulis:
“Cinta membara pada sang putri Sakya
sejak pandangan yang pertama,
Jawabnya, – Tiadalah kami asing satu sama lain
Jauh di zaman yang silam
Seorang putra pemburu, di tengah gadis-gadis pedalaman
Kala musim semi di Yamun, hadir di sana Nandadevi
Mereka berlomba, pepohonan cemara bersaksi
Bagai kelinci di malam hari berlarian
mengelilingi lingkaran bermain
Lalu seorang dimahkotainya dengan bunga,
Yang lain berhiaskan bulu burung dan ayam hutan
Berikutnya dengan buah-buahan
Namun ia yang terakhir menjadi yang pertama baginya
Demikian pula sang pemuda bagi si gadis
Diberinya seekor kijang jinak, disertai jantung hati
Mereka melewati tahun-tahun bahagia di hutan itu
Mereka tak terpisahkan ajal di hutan itu….”
Mereka di kemudian hari lahir kembali di bumi ini sebagai Siddhattha Gotama dan Yasodhara. Riwayat itu diketahui dan diceritakan oleh Buddha sendiri setelah tercapainya Penerangan Sempurna. Agar cinta tak putus oleh ajal, diajarkan empat syarat: keyakinan, tata-susila, kemurahan hati, dan kebijaksanaan yang sepadan.[2]
Pesan cinta menggaung lewat Hari Valentine, 14 Februari ini. Latar belakang kepercayaan atau keagamaan tertentu tidaklah menjadi pagar batas, dan budaya tersebut disambut pula di Indonesia. Tidak ada cinta bangsa ini atau bangsa itu, tidak ada cinta orang beragama ini atau itu. Semua orang menangkap pencaran cinta yang tidak terbatas. Pada dasarnya pula pernyataan cinta tentu tidak cukup secara verbal. Cinta meliputi unsur pikiran, perkataan, dan tindakan.
Apa itu cinta? Lia merasakan debaran jantung yang aneh menghadapi kawan laki-lakinya sebaya di SMP. Ia jatuh cinta untuk pertama kali. Ya, jatuh. Suatu saat ia bangkit, lalu jatuh hati lagi pada seorang mahasiswa. Jatuh bangun mewarnai kisah cintanya. Sampailah suatu ketika ia pun jatuh sakit. Sakit hati, namun menurut dokter, ia keracunan baygon tetapi tidak sampai mati. Setelah mulai melupakan kepedihannya, ia tahu bahwa kesalahannya adalah jatuh, melakoni cinta monyet, cinta buta, dan sejenisnya. Cinta namanya, karena itu ia melepaskan kendali kesadarannya. Ia mabuk. Orang mabuk tentu tidak pernah berpikir bahwa ia mabuk dan keadaan itu akan berakhir suatu ketika. Ia tidak bisa membedakan batas cinta dan nafsu. Agar kesalahannya tidak berulang, ia bertekad untuk tidak jatuh lagi, ia ingin belajar dan melakoni cinta manusia sejati dan cinta yang melek. Ia memerlukan cinta yang tidak sehari atau sekian hari.
Prakriti seorang gadis kaum Matanga, mengimpikan ksatria yang menjadi petapa dan merana apabila harus berpisah dengannya. Pujaan hatinya itu Ananda, seorang biksu yang pantang menyentuh wanita. Demikian kisahnya: Di suatu perigi Prakriti menimba air. Kebetulan muncul biksu Ananda yang sedang melakukan perjalanan dan kehausan. Biksu muda itu minta diberi air minum barang seteguk. Si gadis, berkata takut-takut, “Oh, Yang Mulia, hamba adalah kaum yang rendah dan terlalu hina untuk memberimu air minum. Janganlah Yang Mulia menitah hamba untuk melakukan hal yang akan mencemarkan kemuliaanmu.” Jawaban Prakriti ini mudah dimengerti, karena menurut tradisi India, orang dengan kasta yang tinggi sangat dimuliakan. Bayangannya saja tidak boleh terinjak oleh kaum yang dihinakan. Namun Buddha meniadakan kasta itu. Ananda, muridnya itu pun berkata, “Apa yang kuminta bukan derajat manusia, tetapi air minum cuma.” Si gadis dengan suka hati memberinya air. Tidak hanya itu, tetapi juga hatinya menyertai air yang seteguk tadi.
Ia menemui Buddha dan mengajukan permohonan agar diizinkan mengunjungi Ananda, merawat dan melayaninya tiap hari. Buddha yang arif memahami hati gadis itu. Sabdanya, hati Prakriti memang penuh kasih, tetapi ia tidak mengenal serta tidak menyelami watak dan pikiran sendiri. Bukan Ananda sebenarnya yang ia cintai. Buddha menganjurkan agar Prakriti yang merasakan keramahan atau kebaikan sikap Ananda untuk menerima kebaikan yang telah ditunjukkan oleh Ananda itu sebagai bagian dari dirinya sendiri dan mencoba menjalankannya kepada orang lain pula.
Buddha mengangkat atau menyublimasi cinta antara dua jenis kelamin menjadi kasih semesta, yang tidak akan luntur sepanjang zaman. Cinta itu sendiri dinamakan sebagai Rumah Tuhan (Brahma Wihara). Cinta mengandung empat unsur: (1) Metta, cinta-kasih yang tak terbatas, dan tidak membeda-bedakan. (2) Karuna, welas asih yang timbul terhadap orang yang menderita. (3) Mudita, kasih sayang yang timbul karena menghendaki atau senang bilamana orang lain gembira. (4) Upekkha, keseimbangan.[3]
Cinta tidak memandang hari baik atau buruk. “Untuk penyucian hari apa pun baik adanya, untuk penyucian hari apa pun kudus adanya.”[4] Artinya tidak hanya sehari tertentu saja kita memancarkan cinta.
18 Februari 1987
[1] Digha Nikaya 16
[2] Anguttara Nikaya IV, 6 ; 55
[3] Vibhanga 642
[4] Majjhima Nikaya 7