Mengakhiri Perang Kebencian
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Jika seseorang membabi buta karena marahnya
Akan menyerang kamu sewaktu-waktu
Kenapa kamu meniru perbuatannya
Memelihara kebencian dalam hatimu.[1]
Karena kebencian dilawan dengan kebencian, pertikaian dan peperangan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dirasuki oleh nafsu kebencian, orang kehilangan hati nuraninya. Ia tidak mampu mengendalikan diri, tidak tahu malu dan tidak takut untuk berbuat jahat. Perang dipandang mengesahkan segala macam kejahatan yang dilakukan terhadap pihak lawan. Apa saja akan dihancurkan dan dikorbankan oleh si pembenci.
Ketika nyala kebencian berkobar dan menjalar, dunia pun ikut terbakar. Barangkali itulah tanda-tanda zaman, akan tiba waktunya kiamat yang terjadi oleh karena ulah manusia sendiri. Kehidupan manusia di bumi mungkin berakhir, namun penderitaan akan selalu mengejarnya di alam yang lain. Tidak akan ada akhirnya penderitaan bagi para makhluk yang dicengkeram oleh kebencian dan terjerat oleh hawa nafsu yang rendah. Ia akan lari tunggang langgang dan tergelincir menanggung penderitaan melalui lingkaran tumimbal lahir, entah di neraka atau alam-alam rendah yang lain.
Perbuatan yang dilakukan berdasarkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha), yang timbul karenanya, yang dihasilkan olehnya, segalanya itu akan masak di mana pun makhluk-makhluk tersebut bertumimbal lahir; dan manakala sudah masak, di sanalah ia akan memetik buah hasil perbuatannya. Mungkin ia akan segera mengalaminya dalam kehidupan yang sekarang, atau mungkin dalam kehidupan yang berikutnya, atau pun dalam kehidupan-kehidupan yang akan datang. Keadaannya ibarat benih yang akan tumbuh berkembang di kemudian hari.[2] Maka bukanlah tidak beralasan kalau Buddha memandang bahwa orang yang membalas kebencian dengan kebencian itu lebih buruk dari yang membenci pertama kali.
“Aku telah berhenti!” serunya ketika menghadapi Angulimala yang terengah-engah berlari mengejarnya dengan pedang terhunus. “Tetapi engkau sendiri berhenti?” Selanjutnya Buddha berkata, “Aku berhenti selamanya, dengan kasih sayang menyingkirkan segala perbuatan aniaya. Tetapi engkau tidak menghentikan penganiayaan terhadap makhluk lain. Itulah sebabnya Aku telah berhenti dan engkau tidak berhenti.” Sebuah khotbah tidak dengan sendirinya memiliki kekuatan untuk memadamkan kebencian. Angulimala berhenti dan membuang keinginan untuk membunuh karena ia tidak pernah berhasil menyergap Buddha. Ia sudah berlari hingga habis tenaganya, namun tidak berhasil mengejar Buddha yang tampaknya hanya berjalan dengan tenang.[3]
Biasanya orang berpikir berhenti setelah menanggung sendiri akibat buruk dari perbuatannya. Buddha bersabda, “Tidaklah mungkin, para siswa, bahwa perbuatan (karma) yang dikehendaki, dilaksanakan dan ditimbulkan akan berhenti selama orang masih belum mengalami sendiri akibatnya, entah dalam kehidupan sekarang, kehidupan berikutnya atau yang akan datang kemudian. Dan tidaklah mungkin orang dapat mengakhiri penderitaan sebelum mengalami sendiri akibat dari perbuatannya yang dikehendaki, dilaksanakan, dan ditimbunnya itu.”[4]
Daripada berpikir ingin menghancurlumatkan orang lain yang tidak disenangi, lebih baik membasmi habis kebencian yang bersemayam dalam hati. Menurut Buddha menaklukkan diri sendiri lebih berharga daripada mengalahkan semua musuh.
Kemarahan dan kebencian pada seseorang
Telah membuat engkau gelisah
Kebencian itulah yang seharusnya kau hancurkan
Kenapa engkau menjadi susah tak keruan?
Selanjutnya bait lain dari syair Visuddhi Magga di atas mengingatkan bahwa sesungguhnya penderitaan seseorang itu tidaklah berasal dari luar dirinya.
Jika seseorang membenci orang lain
Siapakah yang menderita, kalau bukan dirinya sendiri?
Engkaulah yang menjadi sebab penderitaanmu
Kenapa engkau harus membenci orang lain?
Memadamkan rasa dendam dan menyingkirkan kebencian memang bukan soal mudah. Buddha mengajarkan latihan-latihan meditasi cinta kasih (metta-bhavana) sebagai cara untuk mengakhiri kebencian. Langkah itu menjadi lebih mudah kalau mau merenungkan dan menghargai segala kebaikan yang dimiliki lawannya tanpa menghiraukan keburukannya.
Ada lima cara untuk mengatasi perasaan benci yang timbul dalam diri seseorang. Kepada orang yang menimbulkan perasaan benci, kita harus mengembangkan cinta kasih. Kepadanya kita harus menumpahkan perasaan belas kasihan. Kepadanya kita harus bersikap seimbang. Atau kepadanya kita bisa tidak menaruh peduli. Atau kita merenungkan bagaimana hukum karma berlaku bagi setiap orang, masing-masing akan memetik hasilnya sendiri, baik atau buruk sesuai dengan apa yang diperbuatnya.”[5]
30 Januari 1991
[1] Visuddhi Magga
[2] Anguttara Nikaya III, 4 : 33
[3] Majjhima Nikaya 86
[4] Anguttara Nikaya X, 21 : 208
[5] Anguttara Nikaya V, 17 : 161