Apa Gunanya Perang
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Berakhir sudah batas waktu 15 Januari 1991 bagi Irak untuk menarik mundur pasukannya dari Kuwait. Semua doa mengharapkan Perang Teluk tidak terjadi. Doa mengandung kekuatan hanya karena cinta kasih. Orang yang sungguh berdoa tidak akan mengutuk siapa saja yang melakukan kesalahan sebesar apa saja, tetapi mengharapkan segala yang baik untuk semua orang. Orang berdoa dipimpin oleh pikiran yang benar. “Ia tidak menginginkan kesengsaraan bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain, atau bagi keduanya.”[1]
“Dirangsang oleh nafsu, dibakar oleh kebencian, dibuat bingung oleh khayalan, dengan pikiran yang dikuasai dan dicengkeram oleh hal-hal tersebut, orang memilih kesengsaraannya sendiri, kesengsaraan orang lain, kesengsaraan bagi keduanya; mengalami sakit dan kesedihan. Bila nafsu kebencian dan kesesatan telah ditinggalkan, orang tidak memiliki kesengsaraannya sendiri, tidak menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain maupun kesengsaraan bagi keduanya.”[2]
Apa gunanya perang? Ada orang yang percaya bahwa perang itu perlu justru untuk mencapai perdamaian. Dalam ungkapan Romawi dinyatakan si vis pacem para bellum, artinya untuk mencapai perdamaian bersiaplah perang. Namun Buddha menolak peperangan. Tidak ada perang suci. Orang berperang dengan pikiran yang dipenuhi kebencian, semata-mata ingin menghancurkan, membasmi, membunuh; maka jika ia sendiri terbunuh, ia dilahirkan di alam yang tidak menyenangkan.[3] Jangankan perang, memasok atau memperjualbelikan senjata, sama seperti memperdagangkan racun, tidak dibenarkan oleh Buddha.
Raja Ajatasattu dari Magadha pernah mengambil keputusan untuk menyerang negeri Vajji. Ia ingin mengetahui bagaimana pandangan Buddha. Diutusnya Vassakara, seorang perdana menteri, untuk menemui Buddha dan memberitahukan bahwa suku Vajji yang terkenal kuat akan dibuatnya hancur lebur. Buddha yang ditemui oleh Vassakara di Puncak Burung Nasar bertanya mengenai suku Vajji kepada Ananda sebelum menyimpulkan apakah mungkin negerinya ditaklukkan oleh lawan. Pertanyaan Buddha kepada Ananda sebagai berikut:
“Apakah engkau mendengar, Ananda, bahwa suku Vajji sering mengadakan permusyawaratan, dan permusyawaratan mereka itu selalu diikuti banyak peserta?”
“Apakah engkau mendengar, Ananda, bahwa suku Vajji bermusyawarah dalam persatuan dan mengakhiri permusyawaratan secara rukun serta menyelesaikan semua permasalahan dan tugas mereka dalam suasana yang damai?”
“Apakah engkau mendengar, Ananda, bahwa suku Vajji tidak memberlakukan suatu peraturan yang belum diundangkan, tidak mengabaikan hukum yang telah berlaku, dan selalu menaati undang-undang yang telah melembaga?”
“Apa engkau mendengar, Ananda, bahwa suku Vajji menghormati dan menjunjung orang-orang tua, para pemimpin atau sesepuh serta memperhatikan nasihat mereka yang berharga?”
“Apakah engkau mendengar, Ananda, bahwa suku Vajji tidak memperlakukan kaum wanita secara buruk, tidak memaksa atau menculik?”
“Apakah engkau mendengar, Ananda, bahwa kaum Vajji memperhatikan, menghormati, memelihara tempat-tempat suci dan tidak melalaikan kewajiban keagamaan yang pernah dikenal sebelumnya?”
“Apakah engkau mendengar, Ananda, bahwa suku Vajji menjaga dan melindungi orang-orang saleh dengan saksama, sehingga orang yang belum mencapai kesucian dapat mencapainya dan orang yang sudah mencapai kesucian dapat hidup dengan tenang?”
Semua pertanyaan itu berhubungan dengan ketujuh syarat kelangsungan hidup atau kesejahteraan bagi suatu negara. Ananda menjawab setiap pertanyaan Buddha dengan kalimat yang sama, “Saya telah mendengar Bhagawa, bahwa memang demikianlah halnya.” Lalu Buddha berkata, “Selama hal itu terpenuhi, Ananda, dapat diharapkan bahwa negeri Vajji tidak akan runtuh, melainkan mampu mempertahankan kesejahteraan dan kemajuannya.” Kepada Vassakara Buddha menegaskan bahwa negeri Vajji yang selalu menaati ketujuh syarat kesejahteraan tidak mungkin akan mengalami keruntuhan. Perdana menteri Magadha ini pun menyadari bahwa negeri Vajji tidak dapat ditaklukkan terkecuali jika terjadi pengkhianat atau perselisihan di dalam negeri tersebut.[4]
Pada peristiwa yang lain, ketika pecah perang antara kerajaan Magadha dan Kosala, Raja Ajatasattu memperoleh kemenangan. Mendengar itu, Buddha berkata, “Kemenangan menimbulkan kebencian, dan orang yang kalah hidup dalam penderitaan. Setelah dapat melepaskan kemenangan dan kekalahan, orang yang damai akan hidup bahagia.” Hanya dengan membuang pertimbangan menang atau kalah, jalan ke arah perdamaian selalu terbuka. Atau seperti yang telah terjadi dengan Kosala dan Magadha, Raja Pasenadi kemudian melakukan pembalasan dan menumpas seluruh pasukan Magadha.
“Seseorang dapat menindas pihak lain,
sejauh itu ia mencapai tujuannya.
Namun jika ia yang ditindas oleh pihak lain,
ditindas, ia akan membalas menindas pula.
Selama buah perbuatan buruk belum masak,
si dungu mengkhaya – inilah saatnya, inilah kesempatan –
Tetapi ketika perbuatan itu menghasilkan buah,
ia menjalani penderitaan.”[5]
16 Januari 1991
[1] Majjhima Nikaya 13
[2] Anguttara Nikaya III, 6 : 53
[3] Samyutta Nikaya XLII, 8 : 3
[4] Digha NIkaya 16 ; 1
[5] Samyutta Nikaya III, 2 : 4-5