Hidup Kebangsaan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Tiada bahasa, bangsa pun hilang. Begitu tulis Muhammad Yamin dalam sajaknya: Bahasa, Bangsa. Pada tahun 1921 itu ia masih menulis: Di mana Sumatera, di situ bangsa, Di mana Pertja, di situ bahasa.
Pada tahun 1928 para pemuda mengikrarkan: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Sumatera, Jawa, Celebes, Ambon, dan gugusan Nusantara lain adalah satu, yakni Indonesia. Berikrar, menegaskan kebulatan tekad dan diikuti pelaksanaan yang tepat dinamakan adhitthana. Adhitthana merupakan salah satu bentuk paramita, kebajikan yang menuntun ke arah kesempurnaan. Bagi para Bodhisattwa yang ikhlas berkorban dalam melaksanakan tekadnya, pemuda Indonesia rela mati untuk memperjuangkan dan mempertahankan Sumpah Pemuda.
Cita-cita mungkin penuh impian. Impian atau ilusi hanya membuat terlena, dan hal ini tak beda dengan kedunguan yang menghasilkan penderitaan. Dari Buddha kita belajar untuk memiliki cita-cita dengan berpijak pada kenyataan, sehingga memberi kekuatan.
Misalnya Sumedha, seorang brahmana, mendengar sendiri ramalan Buddha Dipankara, bahwa kelak ia akan mencapai Penerangan Sempurna.
Apakah Penerangan Sempurna itu, mungkin diartikan karunia atau anugerah, akan tiba-tiba saja datang padanya? Dalam sabda Buddha tiada dusta. Namun Sumedha melakukan semadi dan menelaah sedalam-dalamnya, apa saja kebajikan yang telah dan masih harus disempurnakannya sehingga memungkinkan cita-cita itu tercapai.[1]
Menelaah sejarah masa lalu dan perjuangan anak negeri ini masa itu, cita-cita persatuan dan kemerdekaan memang bukan ilusi. Berpijak pada kenyataan, sekarang kita menjadi ahli waris mereka dan hidup sebagai bangsa yang merdeka. Paling tidak terdapat lima kesamaan bagi kita semua: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, satu pemerintah dan satu ideologi Pancasila. Kelima titik temu itu adalah pengikat hidup kebangsaan.
Agama mengatasi perbedaan bangsa. Tetapi ada banyak agama. Perbedaan agama semacam potensial dan tidak jarang terjadi, merupakan sumber pertikaian. Namun negara Pancasila menerima perbedaan itu dan tidak menjadikan penghalang dalam berbagai kegiatan hidup berbangsa. Penganut agama Buddha yang mewarisi hidup keagamaan masa lalu di Nusantara, juga mengambil bagian dalam perjalanan sejarah bangsa menuju masa depan.
Bagaimana kehidupan beragama Buddha dapat ikut memantapkan masa depan kehidupan bangsa? Buddha tidak banyak mengajarkan hal-hal yang menyangkut kebangsaan dan kenegaraan. Pada masa kehidupan Buddha Gotama, masalah yang sangat menonjol adalah diskriminasi kasta. Namun kepincangan atau ketidakadilan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial yang timbul karena perbedaan kasta tidak banyak berbeda dengan masalah hidup kebangsaan masa kini. Paham kebangsaan sejak awal abad ke-20 di Indonesia erat berhubungan dengan masalah demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial.
Paling tidak terdapat enam belas kerajaan yang tercatat dalam riwayat hidup Buddha Gotama. Buddha menghargai eksistensi masing-masing, misalnya dengan pengakuan terhadap bahasa mereka. “Para siswa, engkau diperkenankan mencatat sabda-sabda Bhagawa dalam bahasamu masing-masing.”[2] Buddha juga memberi petunjuk agar kedaulatan suatu negara tetap terpelihara. Kehidupan bangsa erat berhubungan dengan kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak. Syarat kesejahteraan suatu negara antara lain adalah adanya permusyawaratan, kerukunan, keadilan hukum, kepemimpinan yang berwibawa, dan kebajikan sesuai dengan ajaran agama.[3]
Dengan melepaskan takhta kerajaan, Buddha memisahkan hidup keagamaan dari hidup kenegaraan. Ini sesuai dengan cara hidup kaum petapa. Sedangkan bagi umat awam, Buddha justru mengajarkan bagaimana Dharma itu dianut dalam pergumulan hidup seorang warganegara atau seorang penguasa dengan kewajibannya masing-masing. Solidaritas pada perjuangan hidup bangsa menjadi bagian dari pengalaman agama. Agama itu diajarkan oleh Buddha untuk menjadi alat bagi manusia. Tepatnya sering dinyatakan sebagai rakit untuk menyeberang. Agama Buddha tidak meniadakan kebangsaan. Maka penganut agama harus setia pada negara dan bangsanya.
Suatu bangsa atau negara dapat memuliakan Buddha tanpa berkiblat ke tanah asalnya. Mudah dipahami bila umat di Indonesia menunjukkan pusat ibadah adalah Borobudur dan Mendut, bukan di negara lain. Buddha memang menyatakan Lumbini di Nepal, Bodhgaya, Sarnath, dan Kushinagar di India, sebagai tempat ziarah. Namun manfaat bagi mereka yang beriman dengan berziarah ke sana juga dapat diperoleh dengan mendirikan dan beribadah di stupa di mana saja. Relik dan abu sisa pembakaran jenazah Buddha dibagi-bagi dan disimpan di Stupa berbagai negara.[4]
Penampilan unsur kebangsaan dan kepribadian pun tampak membedakan penganut berbagai bangsa. Sepintas saja kita melihat keanekaragaman bentuk patung Buddha dari berbagai negara, yang disesuaikan dengan citra bangsanya. Dalam cara hidup, di Tibet ditemukan pemerintahan teokrasi, sedang di Jepang misalnya bersifat sekular. Di Indonesia umat Buddha memiliki identitas sendiri, sesuai dengan kehidupan kebangsaan yang berdasarkan Pancasila.
Di dalam pembangunan kehidupan kebangsaan, menjadi pemikiran bagaimana umat beragama meningkatkan kualitas dan kesamaan rasa sepenanggungan, berjuang menyukseskan pembangunan untuk mengatasi derita hidup. Pemeluk agama Buddha harus menaruh perhatian pada bagaimana kreasi dan prestasinya dapat bertambah besar untuk diabdikan pada kepentingan bangsa.
Untuk itu peranan agama sehari-hari tidak hanya bersifat justifikasi, pembenaran suatu tindakan, namun perlu mengantisipasi masa depan. Misalnya bagaimana memberi etos kerja, memanfaatkan latihan keagamaan di antaranya meditasi untuk mengembangkan kemampuan diri.
28 Oktober 1987
[1] Buddhavamsa, II
[2] Cullavaga V, 33 : 1
[3] Digha Nikaya 16, 1
[4] Digha Nikaya 16, 5-6