Asadha Hari Memutar Roda Dharma
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
“Terbukalah pintu Kehidupan Abadi bagi mereka yang mau mendengar dan menaruh keyakinan”, demikian di hadapan Brahma Sahampati, Buddha menegaskan niatnya untuk mengajar Dharma.[1]
Upaka, seorang petapa telanjang (ajivika) sempat bertegur sapa dengan Buddha. Ia mengakui penampilan Buddha yang mengagumkan, namun sama sekali tak tertarik untuk menjadi pengikutnya.
Sedangkan Buddha sendiri menyadari tidak semua orang dapat memahami Dharma dan menjalankan kehidupan yang sesuai dengan Dharma hingga berhasil mencapai kesempurnaan dalam waktu yang singkat.
Dengan mata Buddha ia melihat beraneka ragam watak dan tingkat kemampuan batiniah manusia di dunia ini. Diibaratkan pada bunga teratai, ada kuntum yang terbenam dalam air, ada yang mencapai permukaan air, ada pula yang tegak mekar jauh di atas permukaan air. Yang terakhir ini tidak banyak jumlahnya, yang dapat menerima ajarannya dengan mudah. Dan Buddha memilih calon murid yang berkemampuan memadai.
Calon yang pertama adalah kelompok lima petapa di Taman Rusa Isipatana. Mereka adalah teman bertapa yang menempuh cara menyiksa diri, cara ekstrem yang sudah ditinggalkan oleh Buddha. Di hadapan mereka untuk pertama kalinya Buddha Gotama mengajarkan Dharma. Seorang demi seorang, Kondanna, lalu Vappa dan Baddiya disusul Mahanama dan Assaji, ditahbiskan menjadi biksu. Kelima petapa itu berhasil mencapai puncak kesucian dan menjadi Arahat.[2] Peritiwa yang terjadi 2576 tahun yang lalu itu diperingati pada hari Asadha saat bulan purnama pada tanggal 11 Juli tahun ini. Asadha adalah hari Dharma. Dharma merupakan salah satu permata dari Triratna. Dua permata lain adalah Buddha dan Sanggha (masing-masing dimuliakan pada hari Waisak dan Kathina).
Khotbah pertama memutar roda Dharma itu dinamakan Dhammacakkappavattana Sutta. Isinya didahului petunjuk untuk menghindari hal yang ekstrem. Ekstrem yang pertama yaitu mengumbar nafsu atau memanjakan diri dengan segala bentuk keduniawian. Ekstrem kedua yaitu menyiksa diri dengan menolak keduniawian atau mengabaikan kebutuhan fisik. Buddha mengambil Jalan Tengah (Majjhima Patipada) yang memperhatikan keseimbangan dari unsur jasmani dan rohani. Hanya Jalan Tengah yang akan memberi ketentraman dan menghasilkan Pandangan Terang.
Selanjutnya diuraikan Empat Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang derita (dukkha), tentang asal-mula derita, tentang lenyapnya derita, dan jalan mengakhiri derita. Jalan itu adalah Jalan Utama yang meliputi delapan faktor, yaitu pengertian yang benar, pikiran yang benar, pembicaraan yang benar, perbuatan yang benar, pencaharian yang benar, daya upaya yang benar, perhatian yang benar, dan semadi yang benar. Benar itu tidak lain dalam artian atau batasan Jalan Tengah.[3]
Buddha mengajarkan pembaharuan. Ia menolak kasta yang membedakan derajat manusia menurut kelahirannya dan menyangkal kepercayaan bahwa para dewa mengatur nasib manusia. Ciri dari agama Buddha adalah ajaran tentang (1) Ketuhanan Yang Mahaesa, Yang Mutlak, yang tidak dipersonifikasikan. (2) Triratna, yakni Buddha, Dharma, dan Sanggha. Buddha historis masa kini adalah Buddha Gotama atau disebut pula Sakyamuni. Dharma adalah keseluruhan ajaran Buddha sesuai dengan Kitab Suci Tipitaka (bahasa Pali) atau Tripitaka (bahasa Sanskerta). Sanggha adalah persekutuan para murid yang telah mencapai tingkat kesucian, kini sebagai lembaga diwarisi oleh persekutuan rahib yang bermacam-macam menurut aliran sekte. (3) Hukum Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Utama-8 (sebagaimana telah disebutkan di atas). (4) Hukum sebab musabab yang saling bergantungan. (5) Hukum karma. (6) Tiga corak umum kebenaran, yaitu ketidakkekalan, derita dan tiadanya inti yang berdiri sendiri. (7) Tumimbal lahir dan alam-alam kehidupan termasuk neraka dan surga. (8) Nirwana.
Agama Buddha berkembang melampaui batas berbagai negara, menembus waktu abad demi abad. Kelahiran agama dalam pergumulan hidup umat bermacam-macam bangsa yang berbeda kepribadian, budaya, dan cara hidup menampilkan penekanan yang tidak harus sama pada sebagian ajaran. Mudah dimengerti perkembangan itu sekaligus pula melahirkan sekte dan adanya corak lahiriah yang sangat beragam. Bahkan sinkretisme mudah mendapatkan tempat. Menghadapi kenyataan ini, setiap merayakan Asadha, kita diingatkan untuk kembali pada Kitab Suci. Mencari kemurnian menjadi sangat berarti manakala punya relevansi dengan hidup kita saat ini, dan menjawab permasalahan masa kini.
“Mengapa tertawa, mengapa merasa gembira sedang dunia selalu terbakar?” Dunia terbakar oleh nafsu keserakahan dan kebencian. Dunia juga diliputi oleh kegelapan kebodohan. Dharma adalah sinar penerang. Berkat kasih Buddha, Dharma dibabarkan demi kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan semua makhluk. Tujuan ini tidak dapat dicapai dengan melaksanakan keyakinan pada orang lain.
“Engkau sendiri yang harus berusaha, sedang para Tathagata hanya menunjukkan jalan.”[4] Maka misi agama Buddha seharusnya lebih menekankan pengabdian karena ingin memupuk karma baik.
Selamat Hari Asadha!
8 Juli 1987
[1] Maha Vagga I, 5
[2] Maha Vagga I, 6
[3] Samyutta Nikaya LVI, 2 : 1
[4] Dhammapada 276