Mengapa Engkau Berbicara (Thailand)
- By admin
- June 4, 2022
- Aneka Cerita dari Dunia Timur
Adalah seorang putri raja yang amat cantik dan pandai. Ia bernama Phra Nang Suwanasopha. Ayahnya ingin mempunyai seorang menantu yang sepintar sang putri, seorang laki-laki yang bisa membuatnya berbicara. Karena putri raja terkenal pemalu sehingga jarang sekali berbicara, sekalipun dengan ayahnya sendiri.
Ketika Phra Nang Suwanasopha mulai menginjak dewasa, raja mengumumkan bahwa barangsiapa yang dapat membuat putrinya berbicara akan dikawinkan dengan putri itu. Pengumuman itu disampaikannya kepada kerajaan-kerajaan lain. Dari segala penjuru telah datang pangeran-pangeran yang berhasrat mencoba membuat putri itu berbicara. Tetapi mereka semua gagal. Phra Nang Suwanasopha tiada berkata sepatah pun kepada mereka.
Raja hampir saja menghentikan usaha untuk memilih seorang suami bagi putrinya. Kemudian menghadap kepadanya seorang pangeran yang bernama Phra Sanphasit. Seperti pangeran-pangeran yang lain, ia juga membawa bermacam-macam hadiah. Ia memiliki sebuah lampu ajaib yang berisi arwah sahabatnya. Lampu itu dibawanya menemui Putri Phra Nang Suwanasopha dan diletakkannya dengan hati-hati di lantai.
Kemudian Phra Sanphasit mulai mendongeng,
“Pada suatu ketika terdapat tiga orang saudagar yang berlayar dengan perahu. Setiap malam mereka berhenti di tepi sungai untuk istirahat. Pada suatu malam, salah seorang saudagar itu terjaga karena mendengar bunyi benturan. Ada sesuatu yang telah menabrak perahu. Ia bangun untuk menyelidikinya.
Ternyata yang membentur perahu itu adalah sepotong kayu. Kebetulan, saudagar itu gemar memahat. Maka ia mengangkat potongan kayu itu dari air. Lalu ia memahat sebuah patung wanita yang cantik. Ia membaca mantera dan tiba-tiba patung itu berubah menjadi manusia yang hidup. Ketika itu kedua temannya ikut terjaga. Yang satunya meminta wanita itu duduk di dekatnya. Yang lainnya memberikannya kain yang bagus untuk dipakai.
Wanita itu sedemikian cantik dan manis sehingga semua saudagar itu mencintainya. Dan mereka mulai berkelahi memperebutkannya.”
Phra Sanphasit berhenti bercerita, lalu ia bertanya kepada lampunya siapa yang patut mengawini wanita itu.
Lampu itu segera menjawab, “Tentulah saudagar yang memahatnya, yang pertama-tama patut mengawini perempuan itu.”
“Salah! “Tiba-tiba putri raja berkata. “Laki-laki yang memahat adalah ayahnya. Yang memintanya duduk adalah ibunya. Dan yang memberikan pakaian akan menjadi suaminya.”
Terdengar sorak sorai para keluarga istana yang ikut mendengarkannya. Maka tahulah Phra Sanphasit bagaimana cara membuat putri itu berbicara lebih banyak lagi. Ia mulai mendongeng kembali.
“Pada suatu ketika ada empat orang pangeran yang berjalan-jalan di hutan. Yang seorang adalah pemanah, Yang seorang lagi adalah peramal. Yang lain adalah seorang perenang dan tukang sihir.
“Katakan,” mereka berkata kepada peramal, “Apa yang akan terjadi hari ini?”
“Hari ini akan amat menyenangkan,” jawabnya. “Dalam beberapa menit lagi akan terbang seekor burung raksasa. Dan ada seorang gadis yang cantik dalam cengkeramannya. Kita akan menolong gadis itu.”
Ketika itu pula mereka mendengar kepak sayap burung di atas kepala mereka. Mereka menengadah melihat seekor burung raksasa terbang dengan mencengkeram seorang wanita. Pangeran pemanah memasang anak panah pada busurnya, membidik, dan memanah burung itu. Panahnya mengena, burung itu berteriak kesakitan dan menjatuhkan wanita itu ke sebuah danau.
Terlambat, wanita itu ditemukan telah meninggal karena tenggelam. Tetapi ia menariknya ke darat. Pangeran yang ahli sihir menunjukkan kesaktiannya menghidupkan kembali wanita itu. Wanita itu tersenyum kepada semua pangeran penolongnya. Ia amat cantik, sehingga semua laki-laki itu jatuh cinta kepadanya. Maka mereka pun bertengkar memperebutkan wanita tersebut.
Sekali lagi Phra Sanphasit bertanya kepada lampu ajaib. “Siapa yang akan mengawini gadis itu?”
“Tentu saja pemanah yang unggul yang akan mengawini wanita itu,” kata lampu ajaib.
“Bodoh,” sela Phra Nang Suwanasopha. “Perenanglah yang patut mengawininya”. Ia yang menyentuhnya pertama kali.”
Terdengar sorak sorai meriah. Kali ini Phra Sanphasit tidak lagi mendongeng. Ia langsung bertanya kepada lampu ajaib. “Mana yang lebih lembut disentuh, seorang gadis yang manis ataukah bantal kapuk yang lunak?”
“Mudah saja,” kata lampu ajaib. “Bantal kapuk adalah benda yang paling lembut di dunia.”
“Tidak benar. Benda yang paling lembut di dunia adalah hati seorang suami yang baik,” Putri itu berkata.
Sekali lagi terdengar suara gemuruh. Suara keluarga istana dan juga Phra Sanphasit tahu bahwa dia telah memenangkan cinta putri raja. Putri Phra Nang Suwanasopha bahkan kemudian balas bercerita.
“Adalah seorang pangeran yang tidak pernah berbicara. Ia lahir sempurna, tiada tuli tiada bisu, tetapi kemudian selalu tidak berbicara. Pangeran itu cerdas dan bijaksana. Ia bertekad tidak akan berkata-kata karena berbicara sering menimbulkan salah paham. Raja pun mengumumkan bahwa barang siapa dapat membuat pangeran berbicara akan diberikan hadiah.
Pada suatu hari sang pangeran diiringi para prajuritnya pergi berburu di hutan. Mereka melihat sepasang burung murai yang terbang jauh menghindarkan diri. Karena lelahnya mengejar burung itu, mereka pun beristirahat. Kebetulan burung murai itu hinggap di puncak pohon yang berdekatan dengan tempat mereka istirahat. Suasananya yang sepi membuat pasangan burung itu merasa aman. Maka keduanya mulai berkicau sambut-menyambut. Tentu saja rombongan pemburu itu menjadi waspada dan kedua burung itu akhirnya kena dan terpanah.
Sang pangeran merenungkan kebaikan dari berdiam diri, karena apabila burung itu tidak bersuara tentu akan selamat. Ia menghampiri burung yang sudah terpanah itu dengan rasa iba, katanya, “Mengapa engkau berbicara?”
Prajurit yang memanah burung itu melonjak gembira mendengar pangeran berbicara. Ia meninggalkan rombongannya, dan melarikan kudanya cepat-cepat ke istana. Prajurit itu melaporkan kepada raja bahwa ia telah berhasil membuat pangeran berbicara. Lalu ia menuntut hadiah yang dijanjikan oleh raja. Akan tetapi raja itu ingin membuktikan sendiri kebenaran kata-kata prajuritnya.
Ternyata pangeran masih tetap tidak berbicara. Maka raja berpendapat bahwa prajurit itu telah membuat laporan palsu. Ia memerintahkan agar pembohong itu dihukum gantung.
Prajurit yang malang itu menangis dan meratap dengan sedihnya. Hanya pangeran yang dapat menyelamatkanku.” Tuanku Pangeran, hamba mohon pertolongan Tuanku. Selamatkanlah hamba dari tiang gantungan.”
Sekali lagi sang pangeran merenungkan manfaat dari membisu. Karena prajurit itu telah mengucapkan beberapa kata saja, ia telah mengundang datangnya bencana.
Terdorong oleh rasa cinta-kasihnya, pangeran itu pun akhirnya berkata, “Mengapa engkau berbicara?”
Dengan demikian, prajurit itu telah diselamatkannya. Dan pangeran itu berpikir mengenai berbicara yang benar.