Benang Laba-laba (Jepang )
- By admin
- June 4, 2022
- Aneka Cerita dari Dunia Timur
Pada suatu hari, Buddha Sakyamuni berjalan di tepi telaga Surga. Kuntum bunga teratai di telaga itu putih semua bagaikan mutiara. Dari putik dan benangsari yang keemasan di tengahnya terpancar bau harum yang tak terlukiskan, terus-menerus memenuhi udara di sekitarnya. Ketika itu pagi hari di Surga.
Setelah beberapa saat Sakyamuni berdiri diam di tepian telaga. Ia melihat sesuatu pemandangan yang memukau dari balik daun-daun teratai yang menutupi permukaan air. Dasar Neraka terletak tepat di bawah telaga teratai Surga. Menembus air telaga Ia dapat melihat dengan jelas Sungai Sanzu dan Bukit Jarum, seperti tampak lewat suatu stereoskop.
Lalu pandangan-Nya jatuh kepada seorang laki-laki bernama Kandata yang ada di antara makhluk berdosa lainnya di dasar Neraka. Kandata adalah seorang penjahat yang telah melakukan banyak dosa, seperti membunuh orang dan membakar rumah. Tetapi ia pernah melakukan satu hal yang tidak buruk. Suatu hari, ketika berjalan melalui hutan lebat, ia melihat seekor laba-laba kecil merayap di tepi jalan. Kandata mengangkat kakinya langsung akan menginjak mati binatang itu. Tapi tiba-tiba terpikir olehnya, “Jangan, jangan. Betapa kecilnya pun binatang ini dia tetap bernyawa. Keliru kalau aku membunuhnya.” Dan ia membiarkan laba-laba itu hidup.
Melihat ke Neraka di bawah itu, Buddha ingat bahwa Kandata telah membiarkan hidup seekor laba-laba. Untuk hal baik itu, Buddha berniat membebaskan Kandata dari Neraka. Tetapi ia hanya memberikan jalan, sedangkan hasilnya tergantung Kandata sendiri.
Kebetulan dilihatnya seekor laba-laba Surga sedang menjalin benang perak yang indah pada daun teratai berwarna jamrud. Buddha dengan lembut mengambil benang laba-laba itu dan melalui celah di antara bunga teratai putih, Ia melemparkannya ke bawah dasar Neraka.
Di dalam Telaga-Darah di dasar Neraka, Kandata timbul tenggelam bersama pendosa lainnya. Di sekitarnya gelap gulita. Kadang-kadang tampak samar di kegelapan, bayangan jarum dari Bukit Jarum yang mengerikan. Sedemikian dahsyat lebih dari yang dapat dilukiskan. Selain itu, tempat tadi begitu sunyi seperti sebuah kubur dan yang terdengar dari waktu ke waktu hanya sayup-sayup ratapan mereka yang pernah berbuat dosa. Orang-orang di sana amat letih, menghadapi bermacam-macam siksaan di Neraka. Mereka tidak memiliki cukup tenaga unuk menjeritkan tangisnya.
Penjahat besar seperti Kandata pun tergelagap oleh cairan darah telaga. Dia tidak dapat melakukan hal lain daripada menggerung bagaikan katak menghadapi sakaratul maut.
Tetapi pada suatu hari, ketika Kandata menengadah dan melihat ke atas, tampak olehnya benang laba-laba yang melayang ke arahnya. Dari kejauhan langit hanya tampak sedikit sinar samar-samar dalam gelap yang sunyi, seolah-olah takut pada tatapan matanya.
Kandata menjembakan tangannya. Seketika timbul harapan akan dapat meninggalkan Neraka kalau berhasil menjangkau benang tadi. Dia akan memanjat naik ke atas. Ya, bila semua berjalan denga baik, mungkin sekali ia dapat mencapai Surga. Dan ia tidak disiksa lagi di Bukit Jarum atau ditenggelamkan di telaga darah. Berpikir demikian, Kandata segera meraih benang itu, dan ia berhasil. Kedua tangannya memegang benang itu kuat-kuat, lalu ia mulai memanjat. Naik dan naik meninggalkan permukaan Telaga Darah.
Sebagai manusia berdosa sudah lama ia terbiasa melakukan segala macam kejahatan. Selama itu ia kuat amat perkasa. Tetapi karena Neraka dan Surga terpisah berjuta-juta mil, sekalipun ia tangkas, tidak mudah baginya memanjat keluar dari Neraka.
Pada suatu saat Kandata merasa letih dan tak kuat memanjat lebih lanjut lagi. Ia memutuskan untuk beristirahat sambil bergantung pada benang perak itu. Ia nelihat jauh ke bawah. Sebagai hasil usahanya, kini tampak Telaga Darah samar-samar dalam kegelapan di bawah. Juga Bukit Jarum yang menakutkan hampir tidak jelas terlihat lagi. Kalau dia memanjat terus mungkin meninggalkan Neraka lebih mudah dari yang diduganya. Dengan memegang benang erat-erat, Kandata bersorak kegirangan. “Hurah, hurah!” Dia tertawa. Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya dalam banyak tahun di Neraka.
Tiba-tiba ia melihat pada ujung benang laba-laba di bawahnya. Makhluk-makhluk Neraka yang lain yang tak terbilang jumlahnya berebut memanjat ke atas. Mereka mengikutinya seperti semut beriring. Kandata menjadi sangat terkejut dan ketakutan. Biji matanya berputar, mulutnya menganga lebar. Benang tipis itu, yang tampaknya akan putus menahan beban dirinya sendiri saja, bagaimana dapat menahan beban berat dari semua makhluk itu?
Kalau benang tersebut putus di tengah, walau cuma ia sendiri yang memanjatnya sampai pada ketinggian itu dengan segala jerih payah, ia akan jatuh kembali ke Neraka. Betapa mengerikan.
Sedangkan ketika itu ratusan bahkan ribuan makhluk Neraka beriringan keluar dari Telaga Merah Darah dan dengan tekunnya memanjat. Bayangkan mereka bergantungan pada seutas benang tipis. Pikirnya, jika ia tidak melakukan sesuatu, benang itu tentu akan putus, dan ia akan jatuh.
Maka Kandata berteriak dengan suara lantang, “Hai orang-orang berdosa, benang perak ini punyaku. Siapa yang mengijinkan kalian memanjatnya? Turunlah! Ayo turun!”
Secepat ia berteriak, benang laba-laba itu putus pada tempatnya bergantung. Tiada waktu lagi untuk mencaci, ia jatuh terguling-guling ke kegelapan lagi. Kandata yang berhati jahat dan ingin selamat sendiri akhirnya kembali ke Neraka lagi.
Setelah itu hanya terlihat seutas benang laba-laba Surga bersinar redup dan halus, menggantung di tengah langit yang tidak berbulan ataupun berbintang.
Buddha Sakyamuni berdiri tepekur di tepi telaga teratai di Surga. Ia memperhatikan semua yang terjadi dengan tenang. Dan ketika Kandata jatuh tenggelam seperti batu ke dasar Telaga Darah, Ia tampak berduka. Lalu mulai berjalan lagi. Teratai di telaga Surga tidak peduli pada apa yang terjadi. Bunga-bunga yang bagaikan mutiara putih itu melambaikan mahkotanya pada kaki Buddha. Dan ketika melambai, bau harum semerbak dari putik serta benangsarinya terus memenuhi udara di sekitarnya. Ketika itu hampir tengah hari di Surga.
Ryunosuke Akutagawa