Wawasan Intersekte
Krishnanda Wijaya-Mukti
Disampaikan dalam Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Buddhis
KMB Dhammavaddhana Universitas Bina Nusantara, 24 Desember 2004.
Sekte adalah suatu kelompok keagamaan yang memisahkan diri dari agama induk (mainstream). Biasanya sekte muncul sebagai protes terhadap ajaran maupun kepemimpinan organisasi agama induk. Sekte dapat diartikan sama dengan mazhab (KBBI 2001). Mazhab berarti aliran paham atau pemikiran. Penganut sekte mempunyai kepercayaan, pandangan dan praktik keagamaan yang berbeda dari agama induk yang lebih lazim diterima oleh kebanyakan penganut agama itu.
Menurut Akhmad Danial, analisis tentang suatu sekte haruslah dimulai dari pelacakan terhadap mainstream yang melingkupi sekte yang bersangkutan. Kategori mayoritas dan minoritas adalah kategori sosiologis dan bukan teologis. Lurus dan sesat menurut analisis teologis tidak membutuhkan pemungutan suara. Konsep sekte ditentukan oleh ruang dan waktu serta dipengaruhi oleh konteks-konteks sosial politik tertentu. Aliran-aliran agama senantiasa berubah statusnya dari waktu ke waktu, seperti paham yang dominan di Iran, dulu Sunni, sekarang Syi’ah.
Istilah sektarian selain diartikan sebagai sikap berpihak pada suatu sekte, juga mengandung pengertian picik, eksklusif, terkungkung pada satu aliran saja. Non-sekte berarti di luar atau tidak bergabung dalam sekte tertentu. Intersekte atau antar-sekte, menunjukkan hubungan sekte yang satu dengan yang lain. Pendekatan intersekte mencari harmoni dan kerukunan, tidak bermaksud agar sekte-sekte yang berbeda itu lenyap atau melepaskan identitas mereka yang berlainan. Tahapan sesudah penganutan sekte tertentu sampai pada intersekte sehingga memiliki pandangan dan sikap inklusivisme bahkan paralelisme dapat dinamakan pascasekte..
Penelusuran Kitab Suci
Terdapat dua versi Kitab Suci Tripitaka. Yang satu bersumber pada bahasa Pali, dan yang lain bahasa Sanskerta. Kita tidak memiliki bukti konkrit mengenai bahasa apa yang dipakai oleh Buddha Gotama. Agaknya Buddha menggunakan lebih dari satu bahasa/ dialek. Dalam Aranavibhanga-sutta Buddha menasihati para biku untuk menyesuaikan diri dengan bahasa-bahasa lokal tempat mereka membabarkan ajaran (M. III, 234). Menurut Kinti-sutta, orang seharusnya lebih memperhatikan makna dan jiwa daripada hanya kata-kata (M. II, 239). Karena itu Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk mempelajari ajaran Buddha dalam bahasa masing-masing (Vin. II, 139).
Penemuan dan penelitian atas sisa-sisa naskah Buddhis kuno seperti Udanavarga dan Dharmapada Gandhari, membuktikan bahwa naskah-naskah ini bukan merupakan terjemahan dari Kitab Suci Pali. Sebuah riset telah mengungkapkan bahwa baik Kitab Suci Pali maupun Sanskerta dapat ditelusuri ke asal yang sama. Empat dari lima Kitab Nikaya Pali dapat ditemukan padanannya pada empat Kitab Agama Sanskerta. Kitab Suci Pali yang dikenal sekarang ini berasal dari penulisan di Sri Lanka. Berdasar penelitian linguistik, sekalipun mirip, Kitab Suci itu bukan yang disusun dalam Konsili Ketiga.
Penyusunan Kitab Suci dimulai pada Konsili Pertama, tiga bulan setelah Buddha parinirwana. Peserta Konsili 500 orang, sedangkan jumlah Arahat jauh lebih banyak dari itu (pada peristiwa Magha Puja, tercatat 1250 orang Arahat). Menurut Kitab Suci versi Pali, Purana yang kembali dari daerah selatan sesudah berakhirnya Konsili, memilih berbeda pendapat dengan hasil Konsili, mengingat Dharma miliknya sendiri yang telah ia terima langsung dari Buddha (Vin. II, 290).
Bisa dimengerti kalau terdapat sejumlah ajaran Buddha yang autentik, yang tidak terkumpulkan dalam Konsili Pertama. Dan menjadi cukup beralasan, lewat tradisi oral yang panjang, sampai kemudian dituliskan, keranjang Kitab Suci terbuka untuk dimasukkan naskah-naskah lain di kemudian hari. Dalam Kitab Suci dimasukkan pula khotbah-khotbah para siswa utama, seperti Sariputra, Moggallana, Ananda, yang dipandang kalau diberikan oleh Buddha sendiri akan sama isinya, sehingga dihargai seperti sabda Buddha.
Di zaman Buddha tidak terdapat penggolongan Therawada, Mahayana atau Tantrayana. Dari kitab sejarah Dipavamsa (abad IV M.), Mahavamsa (abad V M.) dan Samantapasadika (Komentar Winaya) diketahui bahwa istilah Therawada pertama kali dikenal setelah Konsili Pertama. Apa yang diterima dalam Konsili itu disebut Therawada, Theriya atau Therika (Tradisi Para Sesepuh). Therawada telah masuk di Sri Lanka pada abad III sebelum Masehi, yang pada waktu itu tidak dikenal sebutan Hinayana atau Mahayana. Kedua istilah ini tidak ditemukan dalam Kitab Pali maupun kitab sejarah Dipavamsa dan Mahavamsa. Bila kita sekarang mengenal penggolongan Therawada dan Mahayana, perlu dimaklumi bahwa Therawada bukan sinonim dengan Hinayana, istilah yang muncul di India kemudian. Sekarang ini tidak ada lagi aliran Hinayana yang berbentuk sebagai kumpulan umat.
Satu Agama Dengan Beragam Metode
Sekalipun banyak persamaan antara manusia yang satu dengan yang lain, adanya perbedaan dalam hal-hal tertentu merupakan keniscayaan. Karena mempertimbangkan kebhinnekaan, Buddha mengajar dengan bermacam-macam metode (Sadddharmapundarika-sutra V). Cara Buddha menuntun Culapanthaka yang tak pandai menghafal berbeda dengan membimbing Ananda yang intelektual. Berbeda pula menghadapi Kassapa dari Uruwela yang mahir dalam ilmu gaib, atau Mahakasyapa yang menerima transmisi tanpa kata-kata. Keunikan itu akan diwariskan kepada murid-muridnya. Seorang murid yang kurang cerdas bisa tidak cocok dengan guru seperti Ananda, lain halnya kalau ia mendapatkan guru seperti Culapanthaka. Mudah dipahami perbedaan metode itu melahirkan aliran-aliran yang pada dasarnya adalah semacam perguruan. Perguruan atau sekolah agama belakangan disamakan dengan sekte. Ada yang menitikberatkan sikap yang rasional, ada yang mementingkan kepercayaan atau bakti, ada yang mengutamakan disiplin, ada yang bersandar pada pengalaman intuitif atau meditasi dan sebagainya. Dalam perkembangannya tak terhindarkan muncul perbedaan tafsir dan praktik keagamaan yang dipengaruhi oleh beragam budaya, yang menjadikan agama Buddha kaya dengan bermacam-macam tradisi.
Pemahaman ini tidak dengan sendirinya menganggap semua sekte itu sama. Pada zaman Buddha Gotama saja sudah terdapat dua macam orang yang keliru, yaitu ia yang menyatakan apa yang tidak pernah dikatakan oleh Tathagata sebagai sabda Tathagata, dan ia yang mengingkari apa yang telah disabdakan oleh Tathagata (A. I, 59).Karena itu Buddha menyampaikan pesan kepada Cunda, agar berkelompok mempelajari semua ajaran bersama, dan tidak mempertengkarkannya (D. III, 127). Ia mengajarkan bahwa bagi orang pandai tidaklah cukup melindungi kebenaran dengan membuat kesimpulan: hanya ini saja yang benar dan lainnya keliru (M. II, 171). Ada petunjuk-Nya tentang pengujian empat otoritas, menyangkut apa yang dinyatakan oleh seseorang diterima langsung dari Buddha, atau dari Sangha, atau dari beberapa biku senior, atau dari satu biku senior, yang harus sesuai dengan Sutta dan Winaya (D. II, 123-125). Jika diibaratkan dengan sebatang pohon, tanaman itu tumbuh berkembang dengan bercabang dan beranting. Bagaimanapun semua cabang dan ranting tersebut dikenali sebagai bagian dari pohon yang sama, yang berasal dari biji yang satu. Menurut pernyataan Buddha sendiri, “Sebagaimana halnya dengan samudera raya yang hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa garam, demikian pula Dharma hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa kebebasan” (Ud. 56).
Pengakuan atas aliran-aliran keagamaan pertanda dari pluralisme, sepanjang tidak mengarah pada sikap sektarian yang mengembangkan konflik. Karena setiap komunitas menginginkan kesempatan dan kebebasan untuk menjalani kehidupan berdasar keyakinannya, sudah sewajarnya jika masing-masing sekte (dan golongan agama) bisa menerima serta menghargai keanekaragaman. Pluralisme menghendaki agar kita dapat saling berbagi pemahaman partikular kita mengenai agama dengan orang lain, yang memperkaya dan menghasilkan kemajuan rohani semua pihak. Untuk itu diperlukan kerendahan hati dan keterbukaan, toleransi dan saling pengertian.
Tren Intersekte
John Blofeld mengumpamakan agama Buddha itu seperti sebuah kota yang dikelilingi tembok besar dengan begitu banyak gerbang, sehingga pendatang baru khawatir akan menjumpai jaringan jalan yang rumit, namun sesungguhnya, memasuki pintu yang mana pun, kalau ia berjalan terus, ia akan menemukan jalan memusat di bawah satu benteng perlindungan. Thich Nhat Hanh mengemukakan seperti bermacam-macam obat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, ajaran Buddha juga membuka pintu-pintu Dharma yang sesuai bagi setiap orang dengan keadaan yang berlainan. Meski pintu-pintu ini bisa berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain, mereka semua adalah pintu Dharma.
Dr. D. T. Suzuki menulis: Tiada terdapat dua aliran agama Buddha, Mahayana dan Hinayana sebenarnya satu, dan semangat pendiri agama Buddha terdapat dalam kedua macam aliran ini. Dr. K. Sri Dhammananda mengatakan, pengikut Buddha sejati dapat menjalankan agama ini (Buddha) tanpa melekat pada mazhab atau sekte apa pun. Menurut Piyasilo, bila seseorang mengerti satu tradisi, apakah itu Therawada, Mahayana, atau Vajrayana, ia juga akan memahami semua tradisi yang lain. Namun ia harus berusaha dan membuka pikirannya. Dengan kata lain sikap fanatik yang membuta dan eksklusif pada satu sekte, menunjukkan ketidakpahaman akan konsep dasar ajaran Buddha sendiri. Mereka yang mencela tradisi Buddhis mana pun bahkan sesungguhnya tidak memahami tradisinya sendiri.
Dunia serba global bergerak menuju unifikasi. Kecenderungan umat Buddha bersatu terlihat dari keinginan untuk mempunyai lambang persatuan yang diterima oleh ketiga mazhab, sehingga muncul Bendera Buddhis Internasional (1885). Pada tahun 1891 H.S. Olcott menyusun 14 pasal Dasar-dasar Keyakinan Agama Buddha, yang disetujui oleh para pemimpin Mahayana dan Therawada.
Tahun 1943, di London terbit majalah Buddhis Internasional “The Middle Way” yang tidak memandang mazhab. Pada tahun 1950 berdiri WFB (World Fellowship of Buddhist), disusul dengan WBSC (World Buddhist Sangha Council) di tahun 1966, yang menghimpun semua mazhab/ sekte agama Buddha. Dalam WFB terdapat lebih dari 25% institusi/ organisasi yang memiliki semangat non-sektarian atau intersektarian, menerima segala tradisi, terbuka untuk semua sekte, tidak berafiliasi dengan sekte.
Dalam Kongres Dunia I dari WBSC di Colombo (1967), telah disepakati secara bulat rumusan prinsip-prinsip dasar agama Buddha. Dalam rumusan itu, baik Therawada maupun Mahayana (termasuk Tantrayana) mempunyai prinsip yang sama. Perbedaan-perbedaan mengenai tata kehidupan biku, adat dan kepercayaan Buddha lokal, upacara, tradisi dan kebiasaan hanyalah perwujudan luar, tidak boleh dianggap sebagai dasar Ajaran Buddha.
The Third Annual International Buddhist Seminar di New York (1974) mencetuskan harapan dari para peserta seminar untuk tidak mengklasifikasi ajaran Buddha ke dalam bermacam-macam yana. Harapan ini disambut oleh Dr. Buddhadasa Kirtisinghe, ketua seminar, yang mengusulkan sebutan “Ekayana” atau “Buddhayana”.
Dr. Ananda W.P. Guruge yang bekerja untuk Unesco, dalam ceramahnya yang berjudul Universal Buddhismemenyatakan: Saya meramalkan timbulnya kecenderungan-kedenderungan baru dalam agama Buddha di Barat. Interaksi yang rapat dari berbagai aliran dan sekte yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. Pakar-pakar Barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama Buddha yang menggabungkan ketiga tradisi dari Therawada, Mahayana, dan Wajrayana. Kita mendengar istilah-istilah Triyana dan Buddhayana sebagai nama untuk bentuk gabungan dari agama Buddha.
Perkembangan di Indonesia
Di abad ke-20 agama Buddha mulai dikenal kembali di Jawa dengan terbentuknya organisasi Association for the Propagation of Buddhism in Java (1929), yang kemudian menjadi Java Buddhist Association. Sekalipun organisasi ini berwatak Therawada (pusat di Thaton, Myanmar), namun kuat dipengaruhi Theosofi dan menjalin kerja sama dengan para biksu Mahayana di kelenteng-kelenteng. Peran umat-umat Buddha Tionghoa dari tradisi Mahayana juga tak mungkin diabaikan ketika menerima kunjungan Biku Narada dari Sri Lanka (1934). Sam Kauw Hwee (1934) yang didirikan oleh Kwee Tek Hoay menggabungkan agama Buddha dengan Taoisme dan Konfusianisme. Bagaimana sikap non-sektarian mewarnai kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia, tercermin dari figur Biku Ashin Jinarakkhita yang mendapat penahbisan lewat dua tradisi: Mahayana dan Therawada. Di wihara-wihara binaannya puja bakti memakai paritta bahasa Pali juga mantra Sanskerta dan Tionghoa. Dalam pembacaan Vandana paritta Pali, terdapat nama berbagai Buddha dan Bodhisatwa-Mahasatwa yang hanya dikenal dalam Mahayana. Umat Buddha di Indonesia tidak membeda-bedakan sekte sampai Sangha Therawada memisahkan diri (1972), yang disusul kemudian dengan munculnya majelis-majelis sekte..
Berkembangnya sekte-sekte tidak menggusur praktik-praktik intersekte. Kita masih banyak menemukan penggunaan satu wihara yang sama untuk puja bakti dan merayakan hari-hari suci berbagai tradisi, dan khotbah tidak harus eksklusif berdasar versi satu sekte. Selama ini kita memiliki pengalaman bagaimana umat tanpa membedakan sekte membaca Dhammapada versi Pali (hanya saja lomba dengan mengedepankan irama pelafalan merendahkan nilai bacaan yang sakral, tidak sesuai dengan pesan Buddha dalam Vin. II, 108). Umat Buddha dapat mempelajari bermacam-macam ajaran dan tradisi Buddhis secara seimbang. Kecocokan terhadap ajaran tertentu merupakan masalah pribadi. Dan sebagaimana pesan Thubten Chodron: Bagaimanapun terbuka untuk pendekatan yang berbeda tidak berarti mencampur-adukkan semuanya. Khususnya teknik-teknik meditasi dari tradisi yang berbeda jangan dicampur dalam satu latihan meditasi.
Bahan Diskusi
1. Bagaimana pendapatmu mengenai pernyataan seorang tokoh sektarian yang menganggap bahwa non-sekte itu manifestasi sikap tuna-keyakinan dan perangai bunglonisme?
2. Apakah mempelajari dan menganut ajaran berbagai sekte yang bersumber dari satu ‘nabi’ itu sinkretisme?
Kepustakaan
Chodron, Thubten. Agama Buddha dan Saya. Diterjemahkan oleh E. Suwarnasanti. -: Penerbit Karaniya, 1990.
Danial, Akhmad. “Sekte sebagai Fenomena Keagamaan”, Kompas, 23 Mei 1995.
Piyasilo, Ven. Jalan Tunggal, Studi Perbandingan Mengenai Mahayana dan Theravada. Diterjemahkan oleh Edij Juangari. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1995.
Sanjivaputta, Jan. Untaian Dhammakatha. Jakarta: Yayasan Pancaran Dharma, 1987.
Wijaya-Mukti, K. Buddhayana, Tinjauan Skolastik. Makalah pada Lokakarya Buddhayana, Jakarta, 10 September 2000
———- Wacana Buddha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003