ABRI Ksatria Kita
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Prajurit itu ksatria. Pekerjaan para ksatria ini adalah profesi. Seseorang bisa memilih apakah ia akan menjadi ksatria yang prajurit atau tidak. Kedudukan ksatria tidaklah datang karena terlahir sebagai keturunan golongan yang sama. Siddhattha yang lahir sebagai anak raja menolak anggapan bahwa derajat seseorang itu semata-mata ditentukan oleh kelahiran.
Siddhattha setelah menjadi Buddha menegaskan pandangan ini kepada Vasettha yang mengeluh bahwa kaum brahmana merendahkan golongan kasta lain. Pada keempat kasta, sama saja terdapat orang-orang yang jahat, tercela, dan berpandangan keliru. Sebaliknya pada semua kasta itu pula terdapat orang-orang yang baik, terpuji, dan menganut pandangan yang benar. Maka tinggi rendahnya derajat seseorang tidaklah ditentukan oleh kasta atau kelahiran. Tetapi seharusnya mulia atau hinanya seseorang ditentukan oleh perbuatan orang itu sendiri.”[1]
Pada tanggal 5 Oktober 1986 kembali kita merayakan Hari ABRI. Angkatan Bersenjata ini, prajurit kita, ksatria yang berkedudukan mulia karena perbuatan nyata, berjuang dan berkorban bagi bangsa dan negara. ABRI tumbuh dari rakyat, dari segala lapisan dan golongan, serta bersama rakyat menegakkan kemerdekaan. TNI lahir karena Proklamasi 17 Agustus 1945, hidup dengan proklamasi itu dan bersumpah mati-matian hendak mempertahankan kesucian proklamasi tersebut. Demikian pernah dinyatakan oleh Jenderal Soedirman almarhum. Ia adalah suri teladan bagi kita, dari generasi ke generasi Angkatan Bersenjata merupakan salah satu modal dasar Pembangunan Nasional. ABRI adalah kekuatan Pertahanan Keamanan, sekaligus pula adalah kekuatan sosial.
Dwifungsi ini adalah tuntutan sejarah dan diperlukan dalam memelihara kelangsungan hidup bangsa. Kekaryaan ABRI merupakan penjelmaan jiwa dan semangat pengabdiannya, yang bersama dengan kekuatan sosial lain memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa, mengisi kemerdekaan, mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jiwa dan semangat yang senantiasa ingin mengabdi, melindungi serta menyelamatkan bangsa, bagai percikan semangat Buddha. “Ibarat es dan air, terpisah dari unsur air tiada pula es.” Demikian, meminjam pernyataan Hakuin. Tidaklah mengherankan ksatria kita bukan hanya terampil menghadapi segala ancaman dan gangguan dari luar maupun dalam negeri pada masa perang saja, tetapi mereka pun masuk desa misalnya.
Bagaimana peran ABRI di masa damai tercermin dari Perintah Harian Panglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani menyambut Hari ABRI ke-41. Perintah itu singkatnya: Memantapkan penghayatan makna Proklamasi, Pancasila, dan UDD 45; Memantapkan kepribadian pejuang yang menjunjung tinggi Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan kemanunggalan dengan rakyat; Meningkatkan peranan sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial politik; Menggalakkan kepeloporan dalam norma yang mendukung pembangunan; Dan kesiagaan dalam rangka ikut mewujudkan cita-cita Nasional termasuk mengatasi tantangan pembangunan. Jelas ruang gerak ABRI adalah bagian integral dari Pembangunan Nasional, yang mendukung pelaksanaan, mengamankan hasil-hasil, dan menjamin kelanjutan pembangunan.
Pembangunan Pertahanan dan Keamanan bukanlah sekedar mengadakan lebih banyak senjata dan perlengkapan perang lain. Kita menganut sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Hankamrata).
Konsep pertahanan nasional menghendaki adanya kemampuan menggagalkan rencana dan usaha agresi musuh sedini-dininya, bahkan sejak musuh masih di kandangnya sendiri. Konsep keamanan nasional menghendaki kemampuan menggagalkan usaha dan kegiatan infiltrasi atau subversi di segala bidang kehidupan dalam negeri, baik yang ditimbulkan oleh kekuatan asing maupun oleh kekuatan dalam negeri.
Mudah dimengerti kekuatan Hankamnas terdiri dari potensi ABRI sebagai inti dan potensi politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk agama, sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Potensi di luar ABRI berperan sesuai dengan kehendak bahwa tiap warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.
Pelaksanaan sistem Hankamrata ini tidak saja menggunakan sistem senjata teknologi (sistek), tetapi juga memerlukan sistem senjata sosial (sissos) secara serasi dan terpadu. Kekuatan sistem senjata sosial berhubungan erat dengan kehidupan keagamaan.
Ajatasattu raja Magadha berniat memerangi kaum Vajji. Melalui Brahmana Vassakara, utusan raja itu, Buddha mengingatkan bahwa kaum Vajji adalah golongan yang taat melaksanakan kebajikan dan memenuhi persyaratan kesejahteraan suatu negara.
Syarat itu adalah: Permusyawaratan yang diikuti khalayak ramai, rukun berhimpun melaksanakan tugasnya, tidak memberlakukan sesuatu yang belum diundangkan dan tidak mengabaikan hukum yang telah berlaku namun berbuat sesuai dengan hukum yang lama melembaga, menghormati dan menjunjung para pemimpin atau sesepuh, tidak memaksa atau menculik wanita, memuliakan agama dan melindungi orang-orang suci lagi bijaksana. Ajatasattu menyadari bahwa kaum Vajji memiliki kekuatan sosial yang tidak terkalahkan, dan ia mengurungkan niatnya.[2]
Selanjutnya Buddha disertai para siswa-Nya pun pergi ke Vesali, dan menetap selama musim hujan di ibukota kaum Vajji itu. Kita dapat menduga bahwa tindakan ini merupakan penegasan dari sikap Buddha, agar Raja Ajatasattu memelihara perdamaian, sekaligus mendorong agar kaum Vajji tetap mempertahankan kebajikan.
8 Oktober 1986
[1] Majjhima Nikaya 135
[2] Digha Nikaya 16, (II, 73-75)