Alih Generasi
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Adanya keturunan atau generasi penerus menjamin kelangsungan hidup keluarga dan bangsa. Pergantian terjadi karena ada yang pergi dan ada yang datang menggantikan. Pewarisan terjadi karena ada yang memberi dan ada yang menerima. Yang akan pergi memberi, yang datang menerima.
Dalam Sigalovada Sutta dinyatakan, bahwa orangtua berkewajiban untuk menyerahkan warisan pada waktu yang tepat, sedangkan anak wajib mengusahakan dirinya agar pantas menerima warisan. Ada keturunan yang melampaui kualitas para pendahulunya, ada yang menyamai dan ada yang merosot kualitasnya. Alih generasi memerlukan persiapan agar generasi penerus memiliki kualitas yang lebih baik.
Seorang raja bisa pensiun dan mewariskan mahkotanya. Mahkota itu berarti takhta, kekuasaan, dan pemilikan atas negara. Manakala putra mahkota atau ahli warisnya tak bisa diandalkan, masa depan dinasti menjadi pertanyaan yang meresahkan. Mahanama pernah mengkhawatirkan nasib kaumnya Licchavi, karena putra-putra Licchavi sangat brutal dan buruk laku. Pandangan itu berubah setelah dilihatnya kemudian mereka menaruh hormat dan tunduk pada Buddha.
Alih generasi tidak lagi menjadi masalah dan suatu kemajuan dapat diharapkan jikalau mereka memenuhi kewajibannya, yakni: Giat bekerja dengan cara yang dibenarkan oleh hukum, membaktikan karyanya untuk memuliakan dan menjunjung orangtuanya. Demikian pula ia membaktikan karyanya untuk keluarga, kerabat kerja, bawahan dan rakyatnya, serta memuliakan agama. Semua orang akan memperhatikannya dan menaruh kasih sayang, mendoakan panjang usia dan perlindungan baginya.[1]
Ajatasattu yang pernah silap lalu merebut takhta ayahnya, berpikir tentang masa depan anaknya sendiri. Ia mengagumi disiplin para jemaah biksu dan mempertanyakan kemampuan putranya. Buddha menanggapi sebagai berikut, “Apakah pikiranmu tertuju pada cinta kasih untuk membimbingnya?”[2]
Tradisi kerajaan sekarang ini cuma peninggalan budaya. Tetapi putra raja masih bisa mewarisi gelar dan istana. Rakyat jelata, misalkan putra petani mungkin mewarisi sawah ladang, putra pedagang mewarisi toko ayahnya. Pewarisan pemilikan dan pergantian pemegang hak bisa menyertai alih generasi tanpa perlu menghubungkannya dengan kehidupan berbangsa.
Alih generasi dalam kehidupan berbangsa sering dilihat dari pergantian kepemimpinan. Di lingkungan ABRI proses peralihan kepemimpinan dianggap paling jelas. Kini semua jabatan tertinggi telah sepenuhnya di tangan generasi penerus. “Siapa pun yang duduk di puncak pimpinan ABRI hari ini maupun besok, identitas ABRI sebagai prajurit pejuang dan pejuang prajurit tidak akan pernah berubah,” demikian dinyatakan oleh KSAD Jenderal TNI Try Sutrisno yang akan menggantikan Jenderal LB Moerdani. Ini hanya dimungkinkan dengan adanya persiapan yang matang.
Tanpa pewarisan nilai dan identitas, alih generasi cuma berupa pergantian penguasa atau pemegang hak. Senada dengan apa yang dinyatakan oleh Buddha dalam Dhammadayada Sutta, “Jadilah ahli waris-Ku dalam hal yang berkenaan dengan Dharma, tidak menjadi ahli waris dalam hal-hal duniawi yang fana.” Dharma secara umum dapat diartikan pegangan hidup dan nilai-nilai luhur yang sekaligus mengatur kewajiban ataupun hak penganutnya.
Buddha sebenarnya putra mahkota, tetapi menolak warisan takhta yang diperoleh semata-mata karena terlahir sebagai anak raja. Ia memilih menjadi orang biasa yang berjuang mengatasi penderitaan di tengah kehidupan sehari-hari, dan dengan itu berhasil mencapai kemuliaan jauh melampaui segala raja.
Mencapai suatu kedudukan melalui usaha dan perjuangan sendiri sangat berbeda dengan mewarisi kedudukan karena keturunan. Suatu kedudukan harus didukung oleh kualitas yang sepadan. Dikisahkan dalam tradisi Zen, seorang rahib ‘Petapa Sarang Burung’ mengingatkan adanya bahaya di balik suatu kedudukan. Untuk mengatasi bahaya itu diperlukan pegangan hidup.
Sebagaimana gelarnya ‘Petapa Sarang Burung’ seringkali melakukan meditasi di atas pohon. Seorang kepala daerah yang melihatnya berkata, “Alangkah bahayanya engkau dengan kedudukan seperti itu di atas pohon!” Sang petapa menjawab, “Kedudukanmu jauh lebih berbahaya daripadaku.” “Aku gubernur. Aku tidak melihat bahaya padanya.”
“Nah, engkau tidak mengenali dirimu sendiri. Bilamana nafsu keinginanmu membakar dan hatimu terombang-ambing, apalagi yang lebih berbahaya dari itu?”
Buddha menyatakan bahwa Ia bertahan tidak akan meninggalkan dunia ini sebelum ajaran-Nya yang penuh kesucian memperlihatkan hasil, berkembang, meluas, dan merakyat dalam segala aspek, sehingga dikenal baik di antara manusia. Ia tetap memegang kepemimpinan sampai para pengikut-Nya terlatih dengan baik, hidup sesuai dengan ajaran-Nya, dan mampu mengajarkan pula kepada orang-orang lain.[3]
Seorang pemimpin pantas mempertahankan kepemimpinan dalam batas kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan. Dengan persiapan yang baik, yang lebih tua tidak terpaksa bertahan terus hingga uzur dan yang muda bisa berperan dengan tanggung jawab yang sama. Setiap detik sesungguhnya eksponen generasi-generasi yang baru lahir berkesinambungan. Maka berbicara tentang generasi yang akan datang, tanpa disadari generasi itu sudah muncul bersusulan.
24 Februari 1988
[1] Anguttara Nikaya V, 6:58
[2] Digha Nikaya 2
[3] Digha Nikaya 16