Anak Emas
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Nilai seorang anak bagi orangtuanya itu ternyata bermacam-macam. Anak bisa berarti anugerah, yang memberi kebahagiaan. Anak bisa berarti tumpuan harapan, yang mendatangkan rejeki, merupakan kekayaan dan investasi yang akan menghasilkan jaminan sosial atau penunjang ekonomi dan penghibur orangtuanya di kemudian hari. Mungkin pula kehadiran anak itu di luar harapan karena menambah beban derita. Dengan adanya kesempatan untuk merencanakan punya atau tidak punya anak, agaknya di kemudian hari dunia hanya mengenal anak-anak yang didambakan.
Anak-anak itu seharusnya menjadi anak emas bagi orangtuanya. Namun seiring dengan kesibukan para ibu yang segera bekerja kembali sesudah melahirkan, anak emas dititipkan pada wanita lain, umumnya pembantu, sekalipun dinamakan baby–sitter. Anak ini tidak mendapatkan susu ibu. Ia mendapat makanan pengganti, dan tidak dapat disangkal kemajuan teknologi cukup menolong. Anak-anak dibesarkan dengan makanan yang diawet atau makanan kaleng yang semakin banyak menggantikan makanan alami.
Dari mana asal makanan itu? Pabrik dengan cerobong asapnya atau sawah ladang dan peternakan? Hampir dua puluh enam abad yang lalu, beberapa anak emas pernah memperdebatkan darimana asalnya makanan mereka. Seorang anak, Kimbila namanya, mengatakan bahwa makanannya berasal dari lumbung. Anak lain, Bhaddiya menolak pendapat Kimbila. Makanan itu berasal dari sebuah periuk, katanya. Sedangkan Anuruddha cuma tahu bahwa makanan itu berasal dari mangkuk emasnya yang berhiaskan permata. Ketiga anak itu tidak pernah tahu tentang bertani, tentang padi yang harus ditanam, sebelum ke lumbung. Sebelum masuk ke periuk untuk dimasak, lalu akhirnya mengisi mangkuk nasi.
Salah seorang dari anak emas itu, Anuruddha, adalah anak bangsawan yang sangat dimanjakan oleh orangtua dan keluarganya. Di tengah kehidupan yang mewah berkelebihan, ia dibesarkan tanpa mengenal kata ‘natthi‘ (tidak). Suatu ketika ia bermain taruhan dengan teman-temannya. “Puva‘, yaitu kue yang dipertaruhkannya. Anuruddha kalah bertaruh. Ia menyuruh seorang pelayan untuk meminta kue lagi kepada ibunya di rumah. Setelah berulang sampai keempat kalinya, pelayan itu menyampaikan pesan ibunya, “Puva natthiti pahini,” yang berarti “tidak ada kue untuk diberikan.” Anuruddha belum pernah mendengar kata ‘natthi‘ (tidak) sebelum itu, sehingga ia mengira bahwa ‘natthi’” adalah nama kue yang lain. Lalu ia menyuruh pelayannya kembali, titahnya, “Bawakan untukku beberapa Natthipuva‘ (kue tidak).”
Seorang pelayan boleh tercengang, namun ia harus menaati perintah majikannya. Maka tanpa membantah lagi permintaan itu disampaikan kepada ibu majikannya. Sang ibu mengerti, bahwa anaknya salah paham. Pikirnya, Anuraddha belum pernah tahu apa itu arti “natthi” (tidak). Maka dengan maksud membuat anaknya mengerti, ia mengirim sebuah mangkuk kosong yang diberi tutup. Tetapi konon ada pihak lain yang ikut campur tangan, yang mengisi mangkuk kosong itu dengan kue yang lezat lagi harum. Menerima kiriman tersebut Anuruddha pun berpikir, “Ibu tidak mencintaiku. Selama ini ia tidak pernah membuat ‘natthipuva’ untukku.”[1]
Kemanjaan seorang anak emas sering berlanjut dengan kemerosotan. Sukses yang dicapai oleh orangtua jarang bertahan di tangan anak yang dibesarkan dengan kemanjaan dan kelengahan. Seorang anak dari keluarga yang kaya raya mungkin memperoleh warisan tetapi jatuh miskin di kemudian hari. Ia terlahir di tempat terang berkat perbuatan (karma) baiknya pada kehidupan yang lampau. Hidupnya kemudian lari ke tempat gelap karena lengah, tidak waspada, atau keliru. Sebaliknya, ada orang yang terlahir di tempat gelap hidupnya kemudian lari ke tempat yang terang. Nasib yang baik hanya diperoleh dengan adanya usaha untuk memperbaiki prestasi dan tak bosan-bosannya menimbun jasa perbuatan yang baik.
Bagi kehidupan bangsa, terlena dalam tingkat kehidupan yang berkecukupan, juga berarti menimbulkan kemerosotan. Itulah yang terlihat dengan prestasi pelajar suatu bangsa yang merasa paling maju tetapi kemudian tidak lagi menduduki peringkat teratas dibanding bangsa lain. Bisa jadi sekolah dan guru menentukan nasib pendidikan anak-anak, namun pada dasarnya sekolah hanyalah refleksi dari masyarakat yang bersangkutan.
Kemanjaan dan kelengahan itu datang dari dalam rumah. Perhatian pada anak-anak pun dimulai dari rumah. Orangtua adalah guru yang pertama dan rumah merupakan sekolah yang pertama, yang menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak. Apa artinya anak emas bila tidak menjadi baik?
25 Juli 1988
[1] Dhammapada Atthakata