Antara Jujur dan Bohong
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Beberapa anak memperebutkan sebuah mainan, Boneka Pinokio. Menurut ceritanya, setiap berbohong, hidung Pinokio semakin panjang. Untuk menentukan siapa yang boleh memiliki boneka itu, mereka sepakat beradu dusta. Pemenangnya adalah orang yang bisa menceritakan dusta yang terbesar. Bergiliran mereka membual. Lalu berdebat, kebingungan menentukan siapa jagonya.
Seorang guru menghampiri mereka dan bertanya, apa yang sedang mereka lakukan. Salah seorang anak menjawab, ”Kami sedang berlomba bohong, siapa yang dustanya paling hebat, dia akan mendapatkan Boneka Pinokio ini.” Sang guru berkata, ”Saya sungguh terkejut. Ketika saya masih kecil seperti kalian, saya tidak pernah berpikir untuk berdusta.” Semua anak serempak berseru, ”Bohong.” Mereka mengatakan bahwa guru itu yang pantas jadi pemenang.
Temuan dan Pengawasan
Cerita di atas fiktif. Namun sedikit banyak memberi gambaran tentang apa yang kita temukan dalam kehidupan nyata. Banyak anak sulit membenarkan seorang jujur mengaku tidak pernah bohong. Orang dewasa bisa jadi melupakan bagaimana pada masa kanak-kanaknya belajar mengenal dusta dan melakukan untuk pertama kalinya. Ada bermacam-macam ketidakjujuran yang mewarnai kehidupan sehari-hari.
Apakah itu bohong basa-basi, ingkar, menutupi kebenaran, tidak mengatakan seluruh kebenaran, menyunting, membelokkan, atau menjungkirbalikkan kebenaran. Ada bohong yang secara keliru mendapatkan pembenaran, agar merasa aman, terhindar dari kesulitan, untuk melindungi diri atau menyenangkan orang lain. Banyak kasus ketidakjujuran yang tak lain dari kejahatan, seperti memfitnah, memalsukan, menggelapkan, menipu, korupsi, mark up belanja proyek, termasuk juga kecurangan yang membuat kisruh Pemilu.
Semua orang belajar dari pengalaman dan lingkungan. Di sekolah siswa belajar ilmu pengetahuan sekaligus nilai-nilai moral, termasuk kejujuran. Pendidikan agama pastilah menekankan kebenaran dan kejujuran. Pendidikan olahraga mengedepankan fair play, tidak ada tempat untuk menang dengan cara curang. Menyontek diharamkan. Belakangan ini, warung atau kantin kejujuran menjadi sebuah cara pembelajaran bagaimana mempraktikkan kejujuran. Komisi Pemberantasan Korupsi bukan hanya menangkap koruptor, tetapi juga melakukan usaha pencegahan dan perlawanan terhadap ketidakjujuran. Selama ini sudah banyak badan yang melakukan pengawasan. Slogan pajak saja berbunyi: Bayar pajaknya, awasi penggunaannya. Perangkat hukum pun tak kurang menangkal segala bentuk kecurangan.
Rumpang Nilai
Sistem Ujian Nasional (UN) dipertanyakan apa tidak memercayai guru dan sekolah. UN menentukan kelulusan dari nilai pengetahuan intelektual, terlepas dari bagaimana sikap mental dan moral para siswa. Pengalaman menunjukkan, bahwa untuk mencapai target akhir lulus UN, tidak sedikit sekolah bahkan pemerintah daerah yang menjaga citra, sibuk dengan tim sukses. Muncul upaya-upaya instan seperti doa bersama, pelatihan mental, dan ikrar kejujuran. Kejujuran diakui penting, maka diperlukan pengawasan. Lebih dari satu juta tenaga pengawas, di antaranya polisi, dilibatkan dalam penyelenggaraan UN untuk menghindari terjadinya kecurangan yang dilakukan siswa, guru, atau pihak-pihak lain. Tentu saja seharusnya semua pengawas jujur.
Penelitian Harthstone dan May menemukan bahwa kita tidak dapat membagi dunia atas kelompok orang yang jujur dan kelompok yang tidak jujur. Hampir setiap orang berbohong atau menipu pada suatu waktu. Nilai kejujuran yang diucapkan oleh seseorang sama sekali tidak berhubungan dengan bagaimana orang itu berbuat. Pembohong melontarkan kecaman terhadap penipuan sama banyaknya dengan mereka yang tidak menipu, bahkan lebih (lih. Kohlberg, 1963). Ada disparitas dan rumpang nilai (value gap) antara apa yang dicela dengan yang dipraktikkan sendiri oleh seseorang. Tidak jarang kita dengar keluhan mengenai pemberlakuan standar nilai ganda, yang berbeda untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
Jujur pada Diri Sendiri
Bersikap jujur pada orang lain berarti jujur pada diri sendiri. Demikian pula sebaliknya, seperti contoh perumpamaan berikut ini. Seorang tukang roti membeli satu kilogram gula kelapa dari seorang petani. Ia menimbang kembali gula kelapa yang dibelinya. Ternyata kurang dari satu kilogram. Maka ia menuduh si petani telah berlaku curang. Petani itu menjawab komplain si tukang roti dengan mengatakan bahwa untuk menimbang gula kelapa yang dijualnya ia memakai kue kering seberat satu kilogram sebagai penyeimbang. Kue kering itu dibeli dari tukang roti tersebut.
Kejujuran atau ketidakjujuran dimulai dari pikiran atau niat, yang diekspresikan tidak terbatas pada kata-kata, melainkan juga bahasa tubuh, aktivitas, termasuk tulisan. Dusta adalah apa yang tidak benar yang kemudian diucapkan atau dilakukan untuk mengelabui orang lain. Sekalipun orang yang menangkap pernyataan tersebut tidak memercayainya, dusta tetap terjadi. Pelaku tidak bisa membohongi diri sendiri, ketidakjujuran mengotori dan akan membuat batinnya menderita.
Buddha mengajarkan, meski tidak bisa membaca pikiran orang lain, paling sedikit orang dapat belajar dan membuktikan ‘Aku bisa membaca pikiranku sendiri.’ (A. V, 92). Meski tidak bisa memperbaiki kelakuan orang lain, kita bisa memperbaiki kelakuan sendiri. ”Kalahkan kebohongan dengan kejujuran.” (Dhp. 223). Tujuannya menghindari atau mengakhiri penderitaan. Tujuan yang baik, dengan motivasi yang baik, menuntut cara yang baik, tepat, atau benar. Cara merupakan kebajikan yang disebut paramita (keutamaan sempurna), di antaranya kejujuran sebagai disiplin moral (sila), yang tak terpisahkan dari kebenaran (sacca), dan kebijaksanaan (panna).
Jakarta, April 2009