Antara Rakyat dan Penguasa
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Dogen (1200-1253) yang berguru pada Ju Ching di Cina pulang ke Jepang dengan dibekali pesan sang guru sebagai berikut, “Jangan tinggal di tempat yang ramai dan berisik. Jangan mendekati pembesar atau bangsawan. Kembangkan metode Zen dengan baik.” Orang-orang di sekeliling penguasa biasanya hidup mencari muka atau menjilat junjungannya, mudah terperangkap oleh kemewahan duniawi dan tergelincir melupakan ajaran agamanya.
Buddha sendiri berasal dari golongan penguasa. Jika Ia menghendakinya, mudah saja untuk menduduki takhta dan memerintah sebagai pemimpin negara sekaligus merangkap sebagai pemimpin agama. Ketika Buddha tinggal di negeri Kosala, dalam penyepian di lereng Himalaya, Ia pernah memikirkan apakah mungkin memerintah tanpa menjatuhkan hukuman mati atau membunuh, tanpa menyita dan memecat tanpa menimbulkan atau mengakibatkan kesedihan, apakah mungkin memerintah itu selalu secara benar dan adil? Godaan Mara pun muncul dan menantang: Silakan Bhagawa memerintah dengan meniadakan hukuman mati, tanpa membunuh, tanpa menyita dan memecat, tanpa menimbulkan atau mengakibatkan kesedihan bagi siapa saja. Menurut Buddha, bagaimana orang yang telah melihat penderitaan dan sumbernya masih memelihara keinginan seperti itu. Ia tidak bisa lain kecuali melepaskannya. Buddha memilih untuk menjadi rakvat jelata[1].
Pada mulanya, manusia dilahirkan tanpa perbedaan kedudukan. Masing-masing dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi kehidupan yang damai mulai terganggu ketika manusia yang kuat menindas yang lemah, yang licik menipu yang bodoh. Dalam Aganna Suttadiuraikan bagaimana manusia yang serakah menjaga ladang sendiri, tetapi mencuri hasil ladang orang lain. Masyarakat berusaha menangkap si pencuri, memeriksa, membedakan yang jujur dari yang bohong dan menghukumnya. Mereka memilih salah seorang di antaranya untuk mengadili orang-orang yang bersalah dan membayar jasanya dengan sebagian dari hasil ladangnya. Penguasa itu dipilih oleh orang banyak (maha sammata). Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan ksatria dan jabatan raja yang membuat senang orang lain dengan melaksanakan kebenaran dan keadilan. Demikian asal mulanya golongan penguasa. Mereka berasal dari kalangan orang-orang itu juga, bukan orang lain; memenuhi keinginan mereka sendiri dan sesuai dengan prinsip kebenaran[2].
Rakyat yang memiliki tanah dan seharusnya menjadi junjungan penguasa. Penguasa bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi, ketika pengakuan atas golongan penguasa ini berlanjut secara turun temurun, rakyat menjadi tamu di atas tanah miliknya dan menjadi hamba dari para penguasa. Monarki itu baik jika penguasa atau raja melimpahkan kemurahan hati atas rakyatnya dan rakyat berterima-kasih kepada pemimpinnya. Tidak demikian halnya jika penguasa berlaku zalim, mengorbankan rakyatnya dengan sewenang-wenang dan menghamburkan kekayaan negara untuk kepentingan diri sendiri.
Seorang raja akan menyerahkan singgasana kepada keturunannya sekalipun dia tidak berbakat atau tidak cakap. Mengapa tidak dipilih pewaris takhta berdasar keahlian, bukan berdasar keturunan? Pada kekuasaan raja sering kali melekat mitos bahwa mereka adalah keturunan dewa. Gagasan ini tidak diakui oleh Buddha. Penguasa itu pada mulanya tidak lain dari orang-orang biasa. Mereka berasal dari kalangan orang-orang itu juga, bukan orang lain. Kitab Mo-tsu mengemukakan bagaimana penguasa mengangkat sanak keluarga atau kaum kerabatnya yang tidak mempunyai keahlian untuk memimpin negara. Padahal jika ia membutuhkan sehelai pakaian, akan dicarinya seorang penjahit. Jika ingin mengobati seekor kuda yang sakit ia akan minta tolong kepada dokter hewan. Untuk tugas-tugas seperti itu sang penguasa tidak akan memakai kerabatnya yang tidak mempunyai keahlian. Dengan demikian, bukankah artinya ia kurang menaruh perhatian kepada negara dibanding sehelai pakaian atau kuda yang sakit.
Konstitusionalisme merupakan Bodhisattwa, sedangkan demokrasi merupakan Buddha, demikian tulis Nakae Tokusuke yang memakai nama samaran Nakae Chomin dalam Sansuijin Keirin Mondo (Perbincangan Tiga Pemabuk tentang Pemerintahan). Konstitusionalisme patut dihormati, demokrasi patut dicintai. Konstitusionalisme sekadar penginapan yang pada akhirnya harus ditinggalkan, sedangkan demokrasi merupakan rumah terakhir. Ia begitu yakin seharusnya rakyatlah yang berkuasa. Wujudnya adalah demokrasi.
Sebuah negara maju dapat mempertahankan monarki tetapi memiliki konstitusi dan melaksanakan demokrasi. Rakyat mempunyai hak untuk turut serta dalam pemerintahan dan menentukan nasib negaranya. Mereka memilih wakilnya dan mempercayakan orang yang dipilihnya untuk menyelenggarakan pemerintahan. Seperti di Jepang, Akihito, Kaisar yang ke-125, naik takhta dengan menghargai konstitusi, tanpa mengurangi kekuasaan Perdana Menteri yang mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin pemerintahan.
21 November 1990
[1] Samyutta Nikaya IV, 2:10
[2] Digha Nikaya 27