Apa itu Berdana
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Spanduk kuning agen Porkas berkibar di mana-mana. Apa salahnya mengumpulkan dana untuk mengembangkan olahraga? Yang salah, dengan Porkas orang tidak betul-betul berdana tetapi bertaruh dan mimpi akan kaya mendadak.
Sekelompok biksu mengamati bendera yang berkibar. Seorang di antaranya berkata, “Bendera itu sedang berkibar.” Yang lain menanggapi pernyataan itu, “Bukan, melainkan angin yang sedang bertiup.” Kemudian Sang Patriach keenam menyatakan keduanya keliru. “Sesungguhnya, pikiran kalianlah yang bergerak.” Mengutip catatan dari tahun 676 ini, kita dihantar untuk menelaah pikiran yang menyertai kibaran spanduk Porkas.
Gubernur Aceh melarang Porkas masuk daerahnya, tetapi ada saja warga yang ikut menyumbang untuk dana pembinaan olah raga tersebut. Ini diberitakan oleh majalah Tempo (20/6/87). Sebaliknya Bupati Pasuruan mengizinkan Porkas masuk sampai kecamatan Nongkojajar. Namun penjaja Porkas di situ gigit jari karena tidak ada peminat. Boleh ada bendera Porkas di suatu tempat, tetapi tidak berarti bendera itu pun berkibar, karena pikiran masyarakatnya bisa tidaklah tergerak.
Orang berjudi dengan membeli kupon Porkas karena pikirnya jelas bertaruh untuk mendapatkan keuntungan. Semua dampak negatif dari Porkas datang dari orang-orang yang niatnya memang berjudi untuk mengubah nasib. Namun bisa saja orang menikmati Porkas sebagai permainan bila pikirnya hanya iseng tanpa menuntut keuntungan. Atau barangkali pula ada orang yang sengaja berdana.
Tetapi apa itu berdana? Seorang tidaklah berdana dengan sekadar melepaskan miliknya dan memberi kepada pihak lain. Memberi bisa dilihat pada transaksi semacam jaul beli, dengan pikiran ‘ia pun memberi kepadaku’ atau ‘ia pun akan memberi kepadaku’. (Orang yang tamak mengharap akan menerima lebih banyak). Mungkin pula seseorang melepaskan kepunyaannya karena bodoh misal tertipu, karena dorongan rasa takut atau malu, karena jengkel, karena perasaan tidak pantas bila tidak memberi, karena melanjutkan kebiasaan atau tradisi orang-orang terdahulu, karena mengharapkan nama baik. Atau seseorang memberi karena pikiran bahwa itulah perbuatan yang baik, memberi itu memperkaya dan melembutkan batin, mendatangkan kegembiraan dan ketenangan, mengharapkan bahwa kelak akan lahir di surga, atau bisa saja seseorang memberi karena spontan terdorong oleh rasa yang penuh kasih.[1]
Berdana adalah perbuatan melepas sesuatu yang dimiliki dengan tulus ikhlas dan memberi kepada mereka yang membutuhkan bantuan demi tujuan yang baik. Berdana tak lain adalah murah hati yang terkandung dalam pengertian alobha (tidak serakah). Alobha merupakan salah satu dari tiga akar kebaikan. Dua akar yang lain adalah adosa (tidak benci), dan amoha (tidak bodoh).
Apakah sasaran yang akan dicapai dengan berdana? Yang pertama, melakukan dana berarti mengikis keserakahan dalam diri kita. Yang kedua, menumbuhkan rasa kasih (karuna) yang senantiasa ingin meringankan dan melenyapkan penderitaan orang lain. Karena itu dana dianggap sebagai pedang untuk membunuh egoisme. Berdana tidak mengharap imbalan, tetapi spontan timbul dari rasa kasih.
Banyak orang berpendapat bahwa hanya mereka yang berkelebihan yang pantas berdana. Tetapi dengan menghayati bahwa berdana itu membuang keserakahan dan menumbuhkan rasa kasih, walau masih merasa kekurangan, kita tetap berusaha melakukan dana. Termasuk sekalipun kekurangan waktu, masih ikhlas menyisihkan sebagian waktu untuk membantu orang lain; masih harus belajar, namun rela membagi pengetahuan untuk membebaskan orang lain dari kebodohan.
Sebagai perbuatan (karma), berdana ditandai kehendak (cetana) seseorang yang diliputi perasaan senang atau gembira baik sebelum memberi dana (pubba-cetana), atau pada saat memberi dana (munca-cetana), dan sesudah memberi dana (apara-cetana). Dengan terpenuhinya tiga faktor itu, yang menunjukkan keikhlasan hati, perbuatan dana dapat menghasilkan buah kebajikan yang sepenuhnya.
Hasil berdana dinyatakan sebagai berikut: (1) Pemberi dana akan disenangi dan disayangi orang banyak. (2) Mengikat persahabatan dan orang-orang yang baik bijaksana mengikutinya. (3) Nama yang terkenal harum. (4) Dalam lingkungan pergaulan apa pun penuh kepercayaan diri. (5) Setelah meninggal dunia kelak dilahirkan di alam surga.
Empat hal yang pertama adalah kenyataan yang bisa kita temukan dalam hidup sehari-hari. Sebagaimana komentar Jendral Siha, tanpa menaruh keyakinan kepada Buddha pun, keempat hal itu akan dialami oleh orang yang banyak memberi. Tetapi tentang lahir di alam surga, itulah yang memerlukan keyakinannya pada ajaran Buddha.[2]
Katakanlah membeli kupon Porkas tidak termasuk dalam batasan dana di atas. Siapa yang tidak mengharap tiba-tiba kaya? Minta menjadi kaya merupakan isi doa. Lupa sudah bahwa Buddha sendiri justru melepaskan semua kekayaan dan istananya.
15 Juli 1987
[1] Anguttara Nikaya VIII, 4:31-33
[2] Anguttara Nikaya V, 4:34