Asadha Mengingatkan Jalan Tengah
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Hari ini, 19 Juli 1989, adalah hari suci Asadha. Pada hari Asadha dunia memperingati peristiwa Buddha Gotama memutar Roda Dharma, maksudnya yaitu membabarkan agama Buddha. 2578 tahun yang lalu, di Taman Rusa Isipatana (di Sarnath, Benares sekarang) la menyampaikan khotbah-Nya yang pertama kepada lima orang petapa.
Kelima orang itu telah dikenal-Nya ketika bersama-sama bertapa dengan cara menyiksa diri. Gotama meninggalkan cara bertapa semacam itu, karena Ia mengalami bahwa tidak mungkin penyempurnaan batin dapat diperoleh tanpa memelihara kesehatan jasmani. Sedangkan mereka menganggap bahwa Gotama telah gagal dalam pertapaan sehingga tidak lagi patut dihormati. Namun pikiran dan sikap mereka seketika berubah ketika berhadapan muka dengan Buddha kemudian. Buddha ternyata tidak sama dengan petapa Gotama yang pernah dikenal dulu. Lalu para petapa itu mendengarkan khotbah-Nya. Secara bertahap mata mereka terbuka dan ditahbiskan menjadi biksu.
Khotbah pertama itu dinamakan Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dharma). Sekalipun isi khotbah luas mencakup ajaran pokok (tentang Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Utama yang terdiri dari delapan faktor), dengan mudah dapat disederhanakan bahwa khotbah tersebut menekankan prinsip dasar agama Buddha, yaitu Jalan Tengah. “Dua pinggiran yang esktrem, o siswa, yang harus dihindari. Pinggiran ekstrem pertama adalah mengumbar nafsu yang bersifat rendah, ciri khas dari orang yang terikat pada hal-hal duniawi, tidak mulia, dan tidak berfaedah. Pinggiran ekstrem kedua adalah menyiksa diri, yang menimbulkan kesakitan hebat, tidak mulia, dan tidak berfaedah. Jalan Tengah menghindari kedua pinggiran ekstrem, sebagaimana yang telah Kuselami, sehingga memperoleh pandangan terang, kebijaksanaan, ketenangan, pengetahuan tertinggi, Penerangan Sempurna, dan Nirwana.”[1]
Prinsip Jalan Tengah ini diilustrasikan dengan bagaimana menyetel senar gitar atau kecapi. Tanya Buddha kepada seorang siswa, “Bagaimana kalau tali senar dikendorkan sama sekali?” Jawab siswa-Nya, “Senar itu akan kehilangan suaranya tentu.” Buddha bertanya pula, “Bagaimana kalau tali senar dikencangkan sekuat-kuatnya?” “Tali itu akan putus, dan suaranya pun hilang.” Pertanyaan Buddha selanjutnya, “Bagaimana kalau tali senar disetel sepantasnya, tidak terlalu kencang, tidak terlalu kendor?” Jawab sang siswa, “Suaranya dapat diatur serasi berirama.”[2] Perumpamaan dengan tali senar ini merujuk pada pengalaman petapa Gotama sendiri setelah menyadari bahwa hampir saja ia menemui ajalnya karena menjalani cara bertapa yang ekstrem dengan menyiksa diri. Ketika itu Ia mendengar syair lagu yang dinyanyikan oleh serombongan pengamen dan penari, yang mengisahkan bagaimana seharusnya menyetel dan memainkan tali senar dengan baik.
Dharma adalah ajaran Buddha yang diyakini dengan berpangkal pada keyakinan terhadap diri Buddha sendiri, yang sempuma dan telah mewujudkan Kebenaran itu dengan kekuatan sendiri. Lebih dari itu Dharma diyakini sebagai Kebenaran yang mengatasi segala kondisi dan waktu. Oleh karenanya Dharma mengundang siapa saja untuk datang memeriksa (ehipassiko) sehingga patut dilaksanakan (opanayiko). Dengan demikian Dharma bukanlah ajaran kepercayaan, tetapi merupakan ajaran untuk dapat diselami oleh mereka yang bijaksana. Barangsiapa melihat Dharma, ia melihat Buddha. Melihat itu memerlukan mata. Menaruh keyakinan kepada Buddha dan Dharma dengan benar berarti bukanlah percaya secara membuta atau apriori fanatis, tetapi dengan membuka mata dan melihat sejeli-jelinya atau menguji secara obyektif.
Sebagai Kebenaran, Dharma yang diajarkan oleh Buddha terbuka untuk diuji. Ajaran yang berpijak pada Jalan Tengah ini hanya dapat dianut secara baik dan dihargai secara obyektif apabila mampu mengatasi segala bentuk celaan atau pun pujian. Dalam Brahmajala Sutta tercatat sebagai berikut, “Demikian yang telah kudengar. Dengan diikuti oleh lima ratus orang biksu, Bhagawa melakukan perjalanan di antara kota Rajagaha dan Nalanda. Pada saat itu petapa Suppiya pun sedang menempuh perjalanan yang sama, diiringi oleh seorang muridnya yang bernama Brahmadatta. Sambil berjalan mengikuti rombongan Buddha, Suppiya mengucapkan bermacam-macam kata yang merendahkan Buddha, Dharma, dan Sanggha. Sedangkan muridnya yang memiliki pandangan berbeda, memuji Buddha, Dharma, dan Sanggha.
Sehubungan itu Buddha bersabda di hadapan murid-murid-Nya, “Para Siswa, bilamana ada orang berbicara menentang Aku, atau menentang Dharma, atau menentang Sanggha, janganlah karena hal itu engkau menjadi marah, benci, atau menaruh dendam. Jika engkau merasa tersinggung, hal itu akan menghalangi perjalananmu mencapai kebebasan. Bilamana engkau mengucapkan kata-kata yang merendahkan kita, bagaimana engkau dapat menilai sejauh mana ucapannya itu benar atau salah? Maka bilamana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Aku, atau Dharma, atau Sanggha, engkau harus menjelaskan apa yang keliru dan menunjukkan kesalahannya dengan menyatakan berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, itu bukan begitu, hal demikian tidak ditemukan di antara kami dan bukan pada kami.
Sebaliknya pula para siswa, bilamana orang lain memuji Aku, memuji Dharma, memuji Sanggha, janganlah karena hal tersebut engkau merasa senang atau bangga atau tinggi hati. Jika engkau bersikap demikian maka hal itu pun akan menghalangi perjalananmu mencapai kebebasan. Bilamana orang lain memuji Aku, atau Dharma, atau Sanggha, maka engkau harus menunjukkan apa yang benar sebagai faktanya dengan menyatakan berdasar hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian terdapat di antara kami, ada pada kami.”[3]
19 Juli 1989
[1] Maha Vagga I, 6
[2] Sutra 42 Bagian
[3] Digha Nikaya 1