Badai Datang dan Pergi
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Ketika badai datang, itu bukan akhir segalanya. Badai terjadi hanya untuk beberapa saat, lalu pergi meninggalkan dampaknya. Kita segera menyadari, bahwa alam sedang mencari keseimbangan. Segala sesuatu di dunia terjadi karena sebab-musabab yang saling bergantungan. ”Ketika ini hadir, itu terjadi; karena munculnya ini, maka muncullah itu. Ketika ini tidak ada, itu tidak ada; dengan berhentinya ini, maka berhentilah itu.” (Ud. 1). Alam semesta dan isinya berada dalam suatu persekutuan yang saling bergantung dan saling memengaruhi.
Tidak heran dengan mengamati bintang-bintang astrolog bisa meramalkan apa yang akan terjadi pada seseorang atau suatu bangsa. Menurut pandangan Buddhis, fenomena alam berhubungan dengan perilaku atau karma kolektif dari seluruh makhluk. Doa seperti paritta Ettavata yang mengharapkan hujan turun tepat pada waktunya, hasil panen berlimpah, dan dunia berkembang maju, dihubungkan dengan pemerintah yang berlaku lurus. Kondisi alam mencerminkan suasana batin rakyat sehingga bisa dijadikan pertanda dari kelangsungan stabilitas suatu pemerintahan.
Menemukan Harmoni
Menunjuk pada hutan yang terbakar, Buddha mengingatkan bahwa manusia juga terbakar. Segala apa terbakar oleh api keserakahan, api kebencian, dan api kebodohan atau kesesatan. Mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh terbakar. Pikiran pun terbakar (Vin. I, 34). Bukan mengada-ada jika bencana banjir dihubungkan dengan keserakahan manusia. Keserakahan melatarbelakangi penggundulan hutan. Angin topan ditafsirkan sebagai reaksi alam terhadap pandangan sesat manusia. Gempa dianggap merupakan respons bumi terhadap ketidakadilan dan penindasan. Dan letusan gunung berapi dikaitkan dengan kebencian. Kehidupan adalah satu. Thich Nhat Hanh mengingatkan bahwa bumi ini adalah tubuh kita. Pohon-pohonan dan hutan misalnya, merupakan paru-paru kita.
Munculnya badai bisa diramalkan. Walau kita tidak mampu menghalanginya, kita bisa menghindar, menjauhkan diri. Atau membuat persiapan untuk menghadapi dan mengurangi dampaknya. Tidak hanya berdoa sampai badai reda. Dalam batas tertentu, di tengah gelombang, manusia bisa belajar berselancar. Dengan fleksibel, menyeimbangkan dan membawakan keseimbangan. Setelah badai berlalu, tinggallah manusia memperbaiki apa yang rusak, memulihkan dan menemukan harmoni baru. Seperti juga mengobati bagian dari tubuh kita yang terluka.
Krisis ekonomi global yang dampaknya mulai mengguncang negeri ini dapat dikatakan mirip dengan badai. Kita belum lupa dengan krisis di tanah air satu dekade yang lalu, yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa, mengoyak kedamaian dan melindas kemanusiaan. Krisis moneter ketika itu tidak berdiri sendiri dan erat berhubungan dengan krisis akhlak. Untuk menanggulangi krisis multi dimensi, selain reformasi ekonomi, dibutuhkan reformasi politik dan hukum, bahkan reformasi yang menyeluruh. Krisis menjadi sebuah momentum untuk melakukan konsolidasi yang mengubah bencana menjadi rahmat.
Hidup Realistis
Ketika kita tidak bisa mengendalikan dunia luar, yang perlu dilakukan adalah mengendalikan dan mengubah diri kita sendiri. Segala hal tampaknya menjadi buruk di mata orang yang pesimis. Ia hanya melihat masalah, tetapi tidak melihat adanya jalan keluar. Pikiran yang suram, membuat orang putus asa. Orang yang optimis melihat segalanya baik saja, selalu penuh harapan dan melupakan apa yang tidak menyenangkan. Yang paling tepat adalah bersikap realistis. Dengan itu orang berpikir dan bertindak sehat, menghadapi hidup ini seperti apa adanya.
Sebuah parabel dari Tiongkok menarik untuk direnungkan. Cerita mengenai seorang pria yang tinggal di daerah perbatasan. Suatu hari, kudanya hilang, lari ke seberang perbatasan. Orang-orang berusaha menghibur pria itu. Tetapi ayahnya berkata, “Apa yang membuatmu begitu yakin kalau ini bukan suatu rahmat?” Beberapa bulan kemudian, kudanya kembali, membawa seekor kuda jantan yang liar. Semua orang memberi selamat kepadanya, tetapi ayahnya berkata, “Apa yang membuatmu begitu yakin kalau ini bukan suatu bencana?”
Pria itu suka menunggangi kudanya yang baru. Suatu hari ia jatuh dan kakinya patah. Setiap orang ikut merasa sedih dan menghiburnya, tetapi sang ayah berkata, “Apa yang membuatmu begitu yakin kalau ini bukan suatu rahmat?” Tak lama kemudian, orang-orang nomad menyeberangi perbatasan menyerbu mereka. Setiap laki-laki dewasa yang sehat diwajibkan ikut maju ke medan perang. Mereka kehilangan sembilan dari sepuluh orang-orangnya. Pria itu pincang, sehingga selamat tidak harus terjun dalam pertempuran.
Perubahan selalu terjadi. Rahmat berubah menjadi bencana, dan bencana berubah menjadi rahmat. Krisis seperti juga badai, datang dan pergi. Tinggal kita menangkap maknanya. Apa pun yang terjadi, kita bisa tetap tenang dan bahagia. Realistis, menghadapi hidup seperti apa adanya.
Jakarta, Desember 2008