Balas Dendam Itu Kejahatan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Ketika Anusapati membunuh ayah tirinya, semua orang berpikir itulah kewajiban seorang anak untuk membalas dendam. Bukankah Ken Arok yang menjadi ayah tirinya itu telah membunuh ayah kandungnya, Tunggal Ametung? Selanjutnya Tohjaya, anak Ken Arok, membalas dendam atas pembunuhan ayahnya. Menyusul kemudian giliran Rangga Wuni, anak Anusapati, berganti membalas dendam pula.
Balas membalas dendam menjadi alasan eksekusi Letkol Marinir AS William Higgins yang diikuti ancaman menggantung Joseph Cicippio oleh kelompok radikal Libanon. Mereka melakukan teror sebagai balas dendam atas penyanderaan Obeid oleh tentara komando Israel. Penculikan pemimpin Hizbullah itu sendiri konon sebagai upaya untuk membebaskan tiga serdadu Israel yang diculik kelompok tersebut. Seandainya dunia membenarkan hukum balas-membalas dendam, berikutnya merupakan giliran Amerika Serikat melakukan pembalasan.
“Kebencian tidak akan pernah berakhir bila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah hukum yang abadi.”[1] Oleh karena itu balas dendam tidak dibenarkan, apalagi dipandang sebagai kewajiban. Dalam pandangan Buddha perbuatan balas dendam itu merupakan suatu kejahatan dan pelaku balas dendam adalah penjahat. Sabdanya, “Mereka yang membalas kebencian dengan kebencian, lebih jahat daripada yang membenci pertama kali. Orang yang tidak menaruh kebencian kepada siapa saja yang membencinya, ia telah mengatasi perjuangan berat dan sulit.”[2]
Raja Dighiti menjadi contoh dalam hal mengakhiri kebencian dan melupakan balas dendam. Raja dari Kosala ini diserang oleh Raja Brahmadatta dari Kasi. Ia melarikan diri dan mengasingkan diri sebagai rakyat jelata hingga istrinya sempat melahirkan seorang putra. Anak itu dinamakan Dighavu dan sengaja dibesarkan terpisah jauh di tempat lain. Belasan tahun kemudian Raja Brahmadatta berhasil menemukan Dighiti dan istrinya. Ia tidak bisa membiarkan mereka tetap hidup sebagai orang biasa, karena khawatir pada suatu saat kelak mereka akan membalas dendam. Bekas raja dan permaisurinya ini kemudian dieksekusi di hadapan rakyat banyak.
Sebelum hukuman mati dilaksanakan, Dighavu sempat menyelinap di antara orang-orang yang menonton dan berhasil mendekati orangtuanya. Ia mendengar sang ayah berpesan, “Dighavu, janganlah engkau melihat terlalu jauh atau terlalu dekat. Kebencian tidaklah lenyap dibalas dengan kebencian. Kebencian hanya lenyap dibalas dengan tidak membenci.” Tidaklah mungkin Dighavu dapat menyelamatkan orangtuanya, maka ia harus menyembunyikan diri agar tetap hidup dan selanjutnya menunggu kesempatan untuk membalas dendam. Tenggelam dalam perasan duka yang sangat mendalam, Dighavu tidak memperhatikan benar pesan ayahnya.
Dimulai dengan berguru pada seorang pawang gajah kerajaan, ia mencari peluang agar dapat memasuki istana. Pada suatu malam ia memetik kecapi dan suaranya yang merdu terdengar hingga istana. Brahmadatta tertarik mendengarnya dan memanggilnya ke istana. Ia diterima menjadi pelayan dan selanjutnya berhasil menjadi salah seorang yang dipercaya oleh sang raja. Kesempatan untuk membalas dendam akhirnya tiba, ketika Raja Brahmadatta yang ditemaninya pergi berburu terpisah dari para pengawalnya. Kebetulan raja itu tertidur di hutan karena kelelahan. Maka Dighavu pun menghunus pedangnya. Namun seketika ia teringat pada pesan ayahnya almarhum. Ia merasa bimbang, sehingga Brahmadatta sempat mendusin. Raja itu terjaga tiba-tiba, terkejut dan ketakutan karena dalam mimpinya ia melihat anak raja Kosala sedang menikamnya. Ternyata mimpi itu benar, Dighavu yang berdiri di hadapannya sedang mengancam dengan pedang terhunus. Seru Dighavu kepadanya, “Akulah anak Raja Kosala.” Raja Brahmadatta dengan sangat ketakutan menyembahnya, memohon untuk diampuni. Jawab Dighavu, “Bagaimana mungkin aku menjamin keselamatan seorang raja? Justru seorang rajalah yang seharusnya melindungi hidupku.” Akhirnya mereka berdamai.
Selanjutnya Dighavu menjelaskan apa yang diamanatkan oleh ayahnya sebelum eksekusi dilaksanakan. “Janganlah melihat terlalu jauh” diartikan, “Janganlah lama-lama memendam kebencian.” “Janganlah melihat terlalu dekat” diartikan, “Jangan terburu-buru memutuskan hubungan persahabatan.” Apabila ia melakukan balas dendam dan membunuh Raja Brahmadatta akan tiba suatu saat ia pun harus menanggung pembalasan dari keturunan atau pengikut raja tersebut. Maka, ia memilih untuk memelihara persahabatan dan perdamaian.[3]
Indonesia pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Setelah memperoleh kemerdekaan, rakyat negeri ini sama sekali tidak berpikir untuk membalas dendam. Sebaliknya kita memelihara persahabatan dan perdamaian. Sikap mengakhiri kebencian dan menyingkirkan kekerasan menuntut jauh lebih banyak keberanian. Dan orang yang beriman percaya bahwa kebenaran dapat mengalahkan kekerasan tanpa dengan kekerasan (ahimsa).
23 Agustus 1989
[1] Dhammapada 5
[2] Samyutta Nikaya VII, 2
[3] Maha Vagga X, 2