Batasan Kematian
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Kelahiran mendahului kematian. Itulah penglihatan kita sehari-hari dalam hidup ini. Dari mana datangnya makhluk yang dilahirkan itu? Penganut agama Buddha percaya bahwa lahirnya seorang makhluk di sini harus didahului matinya suatu makhluk di tempat lain. Maka kelahiran terjadi bilamana ada kematian yang mendahului.
Pernyataan ini dapat dimengerti bila hidup dipandang tidak hanya sekali. Semua makhluk menempuh suatu siklus perjalanan dari alam kehidupan yang satu ke alam yang lain. Kelahiran dan kematian adalah dua fase dari satu proses yang sama. Rangkaian kelahiran dan kematian dalam arus kehidupan tiap makhluk ini dikenal sebagai samsara, pengembaraan berulang, atau lingkaran tumimbal lahir.
Kematian merupakan suatu proses transisi dari kehidupan yang satu memasuki kehidupan berikutnya. Menurut agama Buddha, sebagaimana dinyatakan dalam Abhidhammattha Sangaha[1] kematian terjadi karena salah satu dari empat hal ini:
1. Ayukkhaya-marana, yaitu habisnya usia atau masa kehidupan, bagai api pelita yang padam karena habisnya sumbu.
2. Kammakkhaya–marana, yang disebabkan oleh habisnya kekuatan karma, bagai api pelita yang padam karena habisnya minyak. Karma yang dimaksud adalah janaka-kamma yakni karma penghasil yang menyebabkan timbulnya syarat untuk tumimbal lahir, dan upathambhaka-kamma atau karma penguat yang mendorong terpeliharanya suatu akibat. Kematian terjadi walau umur harapan hidup di alam kehidupan tersebut belum tercapai.
3. Ubhayakkhaya-marana, kematian yang disebabkan oleh habisnya usia dan karma, bagai api pelita yang padam karena habisnya sumbu dan minyak.
4. Upacchedaka-marana, kematian yang disebabkan gangguan lain (usia dan karma belum habis), bagai api pelita yang padam karena hembusan angin, sedangkan minyak dan sumbu masih ada.
Tiga jenis kematian yang pertama adalah kematian yang sudah waktunya atau kala-marana. Sedangkan yang terakhir disebut meninggal bukan pada waktunya atau akala-marana. Tidaklah mungkin kita mengelakkan kematian yang sudah waktunya. Namun menghadapi jenis kematian yang belum pada waktunya, suatu pertolongan yang tepat bisa jadi menghindari atau menunda datangnya maut.
Kapan seseorang dinyatakan meninggal dunia? Keliru menentukan berarti mengubur orang yang belum mati. Penentuan kematian mungkin berhubungan dengan pertanyaan sampai kapan suatu usaha perawatan dilanjutkan, atau kapan suatu organ dapat diambil untuk pencangkokan, dan sebagainya.
Penentuan kematian di banyak negara adalah tanggung jawab seorang dokter. Kematian secara klinis ditandai berhentinya denyut jantung dan berhentinya pernapasan spontan. Kematian klinis akan diikuti kematian otak, tetapi mungkin pula sebaliknya. Kematian otak yang dinyatakan dengan datarnya elektroensefalogram (EEG) merupakan penemuan yang sangat menolong dalam memastikan kematian. Namun bukan tidak mungkin orang nyaris mati dan EEG yang datar kembali menunjukkan aktivitas. Kematian otak sendiri terjadi bertahap. Pertama kematian cerebral, kemudian diikuti kematian mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Kematian cerebral saja membuat orang tidak sadar tetapi jantung dan paru-paru untuk sementara waktu masih dapat berfungsi.
Kematian secara mikro, termasuk kematian sel dalam tubuh terjadi berangsur setiap saat. Misal sel-sel darah memiliki umur tertentu, mereka diproduksi dan hancur bergantian. Peristiwa timbul dan lenyap atau lahir dan mati ini tidak hanya terjadi pada unit materi dari jasmani, tetapi juga terjadi pada unsur rohani.
Pada awal kehidupan, komponen rohani yang muncul di saat pembuahan dinamakan gandhabba dan orang kebanyakan menyebutnya sebagai roh atau jiwa. Dalam terminologi Buddhis yang analitik, komponen rohani itu disebut patisandhivinnana atau patisandhi citta, sebagai kesadaran penerusan dari suatu makhluk yang telah mati sebelumnya. Tiap saat bentuk batin dan kesadaran pikiran atau citta timbul dan lenyap kembali dengan memberi kondisi kepada munculnya bentuk berikutnya. Setiap saat sebuah citta lenyap, dan ini adalah kematian dari citta. Sekaligus bersamaan itu pula muncul yang baru, dan inilah kelahiran dari citta. Citta ini sebagai faktor kehidupan atau kondisi eksistensi timbul berkesinambungan tak terhitung jumlahnya sepanjang masa hidup seseorang.
Citta terakhir dari masa hidup tertentu adalah cuti citta, yang padam bersamaan dengan munculnya citta pertama atau patisandhi citta dari kehidupan yang baru berikutnya. Demikian terjadi pengulangan lahir dan mati.[2] Kematian secara makro terjadi bersamaan dengan padamnya cuti citta.
Buddha menyatakan: yam rupam niscaya, tergantung kepada jasmani, bentuk batin terjalin erat dan mengambil tempat pada materi. Kesadaran pikiran bertempat pada suatu organ yang mengandung elemen hadaya. Kata hadaya juga dipergunakan untuk menyatakan citta. Sarjana-sarjana Buddhis, sebagaimana dikemukakan oleh W.F. Jayasuriya, berkesimpulan bahwa elemen hadaya bertempat pada sistem susunan saraf pusat atau otak.
Tradisi yang ditunjang oleh paham Upanishad menafsirkan tempat dari kesadaran adalah jantung. Menurut Aung, Buddha tidak pernah menyatakan apakah yang dimaksud itu jantung atau otak. Selain itu, seperti ucapan Anuruddha pada saat Buddha mangkat, diakui berhentinya gerakan pernapasan menandakan kehidupan berakhir.[3] Sekarang kita telah mengenal cara atau alat tiruan yang dapat mempertahankan fungsi jantung dan paru-paru dalam jangka waktu yang lama, sehingga hidup tetap berlangsung.
“Jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk pikiran, dan kesadaran adalah tidak kekal. Dan sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha. Sesuatu yang dukkha adalah tanpa inti yang berdiri sendiri.”[4] Mengingat tiadanya inti yang berdiri sendiri ini, dalam pandangan seorang Buddhis, kematian tidaklah ditentukan hanya berdasar pada satu temuan semata-mata.
18 November 1987
[1] Vithimutta Sangaha Vibhago: 11
[2] Vithimutta Sangaha Vibhago: 15
[3] Maha Parinibbana Sutta
[4] Samyutta Nikaya XXII, 15