Belajar Menjadi Bijaksana
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Selama empat bulan Cula Panthaka tidak berhasil menghafal walau satu ayat. Apa pula yang bisa dipelajarinya? Sedangkan ia seorang biksu yang akan jadi guru dan panutan umat. Maka kakaknya, sebagai biksu senior menyuruhnya keluar dari asrama. Hal ini berarti Cula Panthaka harus menanggalkan kebiksuan, kembali pada kehidupan orang awam.
Buddha mengetahuinya. Ia membawa Cula Panthaka untuk tinggal bersama dan dididik secara khusus. Ia memberi selembar kain putih bersih kepada Cula Panthaka. Biksu ini disuruh duduk menghadap ke arah timur, menggosok kain itu seraya mengucapkan kata-kata ‘bersih dari kotoran’. Di bawah terik matahari ia mengamati kain yang menjadi kotor kena keringat tangannya. Dengan memahami proses menjadi kotornya kain itu, ia sampai pada induksi kausalitas dan ketidakkekalan. Ia bermeditasi, merenung sedalam-dalamnya. Buddha menciptakan bayangannya sendiri yang bercahaya membantu dalam meditasi pandangan terang (vipassana), serta menyampaikan ayat bahwa nafsu, kebencian, dan kebodohan adalah noda yang harus dilenyapkan. Lalu Cula Panthaka berhasil menjadi bijaksana tanpa menghafal.
Riwayat Cula Panthaka yang tercatat dalam Dhammapada Atthakatha Appamada Vagga ini, mengingatkan kita pada Newton yang mengamati apelnya atau Archimedes dengan air bak mandinya. Apel atau bak mandi bukan barang luar biasa. Semua orang bisa melihatnya tiap hari. Tetapi tidak semua orang menjadi Newton atau Archimedes. Kain putih menjadi kotor juga tidak luar biasa. Tetapi bagi Cula Panthaka, kain itu menyingkapkan hal yang tersembunyi. Hidup di bumi bukan hanya sekali. Ia pernah terlahir sebagai seorang raja. Raja itu menggosok dahinya yang berkeringat dengan kain bersih. Ia terkesan sekali pada kain yang berubah menjadi kotor. Pada kehidupan yang lain pula, ia adalah pengikut Buddha Kassapa dan mencemooh seorang biksu yang bodoh. Pengalaman dari kehidupan yang lampau menghasilkan buah karma yang menjadi pembawaannya kini.
Karma dan tumimbal lahir adalah jawaban dari pertanyaan anak yang berbeda-beda. Anak tidak dilahirkan dalam keadaan yang sama bersihnya seperti kertas lilin yang betul-betul putih. Tetapi lingkungan hidup sekarang memang dapat mempengaruhinya. Kasus Cula Panthaka menunjukkan bahwa pendidikan dapat mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang buruk. Untuk itu dibutuhkan guru atau pendidik yang tepat.
Menurut tradisi guru memegang peran otoriter sebagai satu-satunya orang yang cakap dan berhak menentukan apa yang harus dipelajari, bagaimana muridnya harus berpikir dan berlaku. Ajaran esoterik menuntut keterikatan pada guru. Sekali mengangkat guru, harus selalu taat dan setia. Guru dipandang tidak akan salah. Justru guru juga merangkap peran sebagai hakim yang akan memutuskan suatu kesalahan dan menjatuhkan hukuman. Atau sebagai dokter yang mengobati penyakit muridnya. Pandangan ini hanya masuk akal bila sang guru adalah Buddha, Arahat, atau manusia yang telah mencapai kesempurnaan.
Buddha sendiri mengajarkan kebebasaan berpikir. Ia tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun. Apa yang diajarkan oleh seorang guru, sekali pun mencapai tujuh keturunan, tidak harus berarti benar. Serta sabda-Nya kepada Bharadvaja, bagi orang pandai tidaklah cukup melindungi kebenaran dengan membuat kesimpulan: hanya ini saja yang benar dan lainnya keliru.[1] Demikian pula kalama-sutta yang sering disitir karena mengajarkan agar tidak segera percaya pada suatu ajaran sebelum diselidiki sendiri benar.
Oleh sebab itu murid bukanlah objek dalam pendidikan. Murid bukanlah gudang kosong yang diisi tergantung pada guru, atau semacam bank tempat deposito. “Ehipassiko”, artinya “Datang dan melihat”, itulah landasan berpijak pendidikan menurut agama Buddha. Belajar tidak hanya untuk mengetahui atau mengingat (pariyatti) tetapi juga untuk melaksanakan (patipatti) dan mencapai penembusan pandangan terang (pativedha). “Engkau sendiri yang harus berusaha. Para Buddha hanya menunjukan jalan.”[2] Proses belajar menuntut praktik yang mendukung teori secara utuh. Murid pun belajar meneliti untuk menjadi penemu.
Setiap orang berhak mengatur dirinya dan memilih jalan hidup sendiri. Pendidik memperhatikan kepentingan, minat dan kemampuan dari anak didik, mendorong perkembangannya sesuai dengan bakat, watak, apa saja yang merupakan pembawaannya yang baik. Sebaliknya pembawaan yang buruk dicegah, sehingga tidak berkembang lebih lanjut.
Sistem among atau tut wuri handayani memiliki dua dasar: (1) Kodrat atau pembawaan sebagai kekuatan dan bekal hidup anak didik. (2) Kemerdekaan sebagai syarat untuk bebas tanpa paksaan, menggerakkan dan mengembangkan kekuatan diri sendiri, baik lahir atau pun batin agar mampu mandiri. Keduanya sejalan dengan pokok-pokok pemikiran menurut agama Buddha di atas.
Dalam arti sempit, pendidikan dapat dinyatakan sebagai penerusan nilai, pengetahuan, dan kemampuan pada generasi berikutnya. Namun dalam arti luas pendidikan bahkan merupakan hidup itu sendiri, sebagai proses menuju penyempurnaan. Kita semua tiada henti-hentinya belajar untuk jadi lebih baik, lebih pandai, lebih bijaksana.
“Orang yang belajar sedikit, menjadi tua seperti seekor sapi jantan; dagingnya bertambah tetapi pengetahuannya tidak berkembang.” [3]
29 April 1987
[1] Majjhima Nikaya 95 (II,170)
[2] Dhammapada 276
[3] Dhammapada 152