Belas Kasihan Dermawan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Batasan kaya dan miskin biasanya ditentukan menurut ukuran materi. Namun siapa kaya dan siapa miskin dapat pula dibedakan menurut ukuran kejiwaan atau rohani. Orang kaya dikaruniai kelebihan agar dapat membagi rezeki kepada orang yang kekurangan. Orang miskin menyadari kekurangannya, pantas dikasihani dan boleh mengharapkan belas kasihan, atau ia harus sabar berusaha. Dengan itu manusia mengenal kasih Tuhan sehingga hidupnya menjadi lebih baik dan kelak akan mendapatkan tempat di surga.
Harus diakui kebanyakan orang mudah merasa iri dan cemburu. Kesenjangan pendapatan antara kaya dan miskin sangat mungkin menimbulkan kecemburuan sosial. Bagaimana pun iri dan cemburu adalah penyakit pikiran. “Barangsiapa merasa iri atas makanan dan minuman orang lain, maka ia tidak akan memperoleh kedamaian batin, baik siang ataupun malam.”[1] Semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatannya (karma) sendiri dan menikmati hasil perbuatannya masing-masing. Oleh karena itu orang yang beriman tidak akan merasa iri hati, sebaliknya ia menaruh simpati melihat orang lain beruntung. Ia tidak akan berniat menghalangi kemajuan orang lain, tidak pula mengharapkan orang yang lebih beruntung itu menjadi susah.
Kemiskinan merisaukan karena hampir selalu merupakan pangkal penderitaan. Orang-orang miskin yang terhimpit penderitaan mudah terdesak untuk melakukan kejahatan. Orang kaya pun merasa terancam oleh kemiskinan. Tetapi cinta kasih membuatnya berbelas kasihan, tidak menempatkannya sebagai penindas. Ia seharusnya lebih banyak berbuat baik, murah hati, ramah, dan memperlakukan semua orang sama selayaknya. Dengan demikian ia mendapatkan simpati dari orang lain.[2]
Seorang pengusaha besar mengibahkan sahamnya senilai 37 milyar rupiah kepada koperasi karyawan. Kebaikan hati ini mungkin diartikan sebagai belas kasihan. Belas kasihan itu menandai keluhuran budi seorang manusia. Barangsiapa memiliki belas kasihan (karuna) ia memasuki rumah Tuhan (Brahma Wihara). Ia tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang lain. “Sebenarnyalah, orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa. Sebenarnyalah, orang bodoh tidak akan memuji kemurahan hati. Akan tetapi, orang bijaksana senang memberi, dan oleh karenanya ia akan bersukacita di alam mendatang.”[3]
Seorang kepala negara di India, Harsha namanya, mendermakan semua kekayaan miliknya pribadi. Raja ini memerintah selama empat puluh dua tahun (606-648 M). Hsuan Tsang, musafir dari Cina menulis dalam Catatan Harian Perjalanannya bahwa raja itu merasa prihatin karena tidak mendapatkan kemajuan dalam hal kebajikan setelah ia memerintah bertahun-tahun lamanya. Ia telah mengakhiri peperangan dan menciptakan perdamaian, mengikuti jejak Raja Asoka.
Ada banyak orang miskin, orang cacat, orang jompo, yatim piatu, dan sebagainya yang memerlukan bantuan. Maka raja ini pun menghimpun kekayaan dan membagi-bagikannya kepada semua orang yang membutuhkan. Lima tahun sekali, ia menyelenggarakan Festival Penyelamatan berupa pelimpahan jasa. Pada kesempatan itu selama dua puluh hari terus menerus ia memberi dan memberi dengan berulang-ulang memuji nama Buddha. Sampai pun mahkota dan jubah kebesarannya ia dermakan. Dengan memberi, Harsha dan semua dermawan sesungguhnya akan menjadi semakin kaya.
Seorang cucunya, Shanti Deva, menjelang hari penobatannya sebagai raja, mengambil jalan hidup yang lain. Ia memilih untuk menjadi pelayan dari para orang miskin. “Semoga dalam tiap kelahiranku menjadi seorang pelayan serta penawar rasa sakit dan derita dari dunia ini,” demikian ia harapkan. Shanti Deva meninggalkan sejumlah syair doa yang mengungkapkan bagaimana rasa belas kasihan memenuhi hati sanubarinya.
Semoga aku menjadi mestika yang tiada tara
bagi semua orang papa.
Semoga aku menjadi pembela
bagi mereka yang dicampakkan
yang terlantar di pinggir jalan.
Semoga aku menjadi perahu dan titian
bagi mereka yang merindukan Pantai Seberang.
Semoga aku menjadi cahaya penerang
bagi mereka yang tersesat jalan.
Dengan belas kasihan itu sesungguhnya Shanti Deva yang mengabdikan diri untuk menyelamatkan orang lain, sekaligus pula menyempurnakan dirinya sebagai seorang calon Buddha.
Karena belas kasihan, seseorang terdorong untuk menjadi dermawan. Namun menjadi dermawan tidak harus selalu terdorong oleh rasa iba. Orang memberikan dana kepada Buddha sudah tentu tidaklah karena belas kasihan kepadanya, tetapi karena terdorong oleh rasa hormat dan untuk memuliakannya. Pemberian dana kepada orang yang dipandang lebih tinggi status kedudukannya itu dinamakan puja-dana. Sedangkan pemberian kepada orang yang lebih rendah statusnya dinamakan anuggaha-dana.
Nafsu yang rendah, kebencian, kebodohan, keinginan yang buruk merupakan bencana bagi manusia. Agar menghasilkan pahala yang besar, orang memberi untuk tidak menimbulkan bencana tersebut.[4]Seorang demawan yang arif memberi dengan sepenuh pengertian, memahami akan sebab akibat dari perbuatannya (jana-dana). Shanti Deva tidak merasa cukup memberi dengan belas kasihan sebagaimana yang diperbuat kakeknya. Ia bertindak lebih jauh, mengabdikan dirinya untuk menyingkirkan segala bencana.
18 April 1990
[1] Dhammapada 249
[2] Anguttara Nikaya IV, 4 : 32
[3] Dhammapada 177
[4] Dhammapada 356-359