Berakar pada Kebudayaan Sendiri
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Agama Buddha dengan usianya yang lebih dari dua puluh lima abad memang kaya dengan bermacam-macam aliran atau tradisi. Jika diibaratkan pada orang kaya, tinggallah kita memilih di antara dua keadaan. Yang pertama, menjadi orang kaya yang bisa memelihara baik-baik semua kekayaannya dan pandai-pandai memanfaatkan kekayaan itu. Yang kedua, menjadi orang kaya yang kebingungan karena kebanyakan harta, kebingungan pula memanfaatkannya.
Bisa jadi lewat Theravada dari Srilanka, sebagian dari kita mengenal kembali agama Buddha. Pada tahun 1934 seorang Bumiputera pertama di abad ini, Mangunkawatja, masuk agama Buddha disaksikan oleh Biksu Narada. Rahib suci ini, kini telah almarhum, datang dari Srilanka. Ia menginjakkan kaki di Jawa, berziarah ke Borobudur dan menanam pohon Bodhi di sana.
Juga tidak salah, banyak yang kembali pada agama nenek moyang lewat Theosofi dan Mahayana tradisi keturunan Cina. Biksu Ashin Jinarakkhita, seorang yang paling terkemuka di antara penganut Buddha di Indonesia hingga saat ini, semula adalah aktivis Pemuda Theosofi dan Sam-kauw-hwee. Yang Arya tersebut menerima Mahayana tradisi Cina dari Mahathera Pen Ching, dan sekaligus kemudian Theravada dari Mahathera Mahasi Sayadaw di Burma.
Theravada datang pula lewat Muangthai. Kitab suci Tipitaka mulai dikenal. Karena Tipitaka adalah kumpulan tiga keranjang kitab, tidak mengherankan bahwa terlalu sedikit yang ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Inggris mengenal misi agama Buddha sekitar 75 tahun, dan organisasinya terbentuk tahun 1924, Tipitaka dalam bahasa Inggris menolong kita untuk belajar lebih banyak. Kitab-kitab itu terbitan Pali Text Society di London. Kumandang Mahayana juga tidak hanya dari Jepang atau Cina, khususnya Taiwan di Asia, gaung doa dan pembacaan kitab-kitab Sutra di kota Sepuluh Ribu Buddha (City of Ten Thousand Buddhas) di Talmage sudah sampai di Indonesia.
Sebagian dari kita jatuh cinta pada para Lama. Sang pemimpin, Dalai Lama yang penuh karisma, walau mesti mengungsi dari tanah tumpah darahnya, punya penggemar di mana-mana, Pada tahun 1982 ia menginjakkan kaki di Indonesia. Ia berkisah tentang eratnya hubungan antara Tibet dan Indonesia. Di masa yang lampau, orang Tibet belajar agama Buddha dari Indonesia. Sejarah mencatat banyak rahib Buddha terkemuka dari berbagai negara belajar agama Buddha pada guru Jawa dan Sumatera, Kini giliran Dalai Lama mengajarkan Tantra kepada umat di Indonesia.
Generasi masa kini belajar agama Buddha dari bermacam-macam sumber dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Tanpa berakar pada kebudayaan sendiri, tiba-tiba kita akan tercengang dengan keterasingan beragama Buddha di rumah sendiri. Kita bukan berasal dari masyarakat Buddha Taiwan, bukan pula Jepang, misalnya. Ini Indonesia, dan kita memerlukan masyarakat Buddhis Indonesia. Dengan demikian kita memiliki dan mempertahankan satu wawasan nasional. Dalam hubungan ini Upacara Waisak Nasional di Borobudur memiliki peranan yang sangat penting.
“Aku seorang pengabdi Buddha,” demikian diucapkan oleh pemimpin yang saleh. Semua pengabdi Buddha tentulah tidak mengembangkan kecongkakan golongan. Tidak akan ada pengelompokan ‘umatku’ dan ‘umatmu’, apalagi memojokkan sesama pengabdi Buddha, menggerakkan pertentangan atau barangkali memakai doa sebagai senjata untuk mengutuk. “Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa dalam pertengkaran mereka akan binasa, tetapi mereka yang dapat menyadari kebenaran ini, akan mengakhiri semua pertengkarannya.”[1] Umat di mana-mana dengan bebasnya menerima dan menghormati para rahib dan pandita, apa pun penampilan jubahnya sepanjang bukan rahib atau pandita palsu.
Seseorang tidak menjadi baik dan suci hanya dengan menganut atau mengubah pandangannya. Pengetahuan semata-mata tidaklah cukup, tetapi praktik nyata yang akan memberikan hasil. Karena itulah, menyatakan diri sebagai pengikut Buddha, berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sanggha selalu diikuti pernyataan janji untuk memenuhi sila atau peraturan agama Buddha. Tugas Dharmaduta pun terutama menolong dan memajukan masyarakat, tidak hanya sebagai juru khotbah. Dharmaduta termasuk pemimpin, harus menjadi teladan. “Barangsiapa memiliki sila dan pandangan terang sempurna, teguh dalam Dharma, selalu berbicara benar dan memenuhi kewajibannya, maka orang-orang lain akan mencintainya.”[2]
Dalam salah satu pidatonya yang mengesankan, mendiang Indira Gandhi mengatakan bahwa daripada berbicara sia-sia tentang perdamaian di meja konferensi, lebih baik kita mengenang kembali ajaran-ajaran para pendiri agama dunia dan berusaha mempraktikkannya. Merayakan Waisak pun menjadi berarti dengan melaksanakan amal bakti, memelihara ketenteraman dan kedamaian.
1 Juni 1988
[1] Dhammapada 6
[2] Dhammapada 217