Berita Harus Diwaspadai
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Perang Teluk agaknya akan berlangsung lama. Berita perang masih akan menjadi laporan utama berbagai media massa. Masyarakat memang haus berita mengenai perang tersebut, terbukti dari oplah koran yang meningkat. Hampir semua orang membentuk opini dan sikapnya prasangka mengikuti segala macam pemberitaan. Maka mudah dimengerti adanya kekhawatiran bahwa pemberitaan perang dapat memancing dan membuat orang larut dalam emosi yang keliru sehingga mengakibatkan gangguan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Ada berita perang, ada perang berita. Pihak yang berperang tidak hanya menambahkan peluru tetapi juga melemparkan isu dan propaganda melalui media massa sebagai senjata yang ampuh. Propaganda bersifat sangat strategis dalam menghadapi lawan. Pemberitaan yang bersumber dari setiap pihak yang terlibat perang dapat dibandingkan dengan harumnya bunga atau pun bau mesiu dan mayat di medan perang yang menyebar mengikuti arah angin. Angin bertiup ke satu arah. “Harumnya bunga dapat tersebar melawan arah angin,” demikian ujar Buddha. “Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin. Harumnya nama orang yang bijak akan menyebar ke segenap penjuru. Harumnya kebajikan membubung hingga ke surga.”[1]
Orang yang berperang tahu mengenai bau mayat yang tidak dapat tersebar melawan arah angin. Mereka tidak mau tahu mengenai harumnya kebajikan yang dapat melawan arah angin. Bagaimana dengan orang yang mengikuti berita perang, apa masih ingat pada kebajikan dan cinta kasih? Berita mana yang lebih menarik, perang atau perdamaian? Media massa lebih banyak mengutamakan berita perang, melaporkan jalannya pertempuran, strategi militer dan teknologi persenjataan, ketimbang berita perdamaian atau kemanusiaan yang adil dan beradab. Segala yang bersifat sensasional dalam pemberitaan lebih menarik perhatian. Bukan tidak beralasan kalau pers dipandang ikut menyebarkan api perang. Pandangan semacam ini dikemukakan oleh para anggota Gulf Peace Team (Tim Perdamaian Teluk), salah satu pembicaranya adalah seorang biksu dari Jepang, ketika akhirnya mereka terpaksa meninggalkan Irak.
“Jangan percaya begitu saja segala apa yang diberitakan kepadamu,” demikian petunjuk Buddha kepada suku Kalama. Setiap berita boleh memikat perhatian tetapi harus selalu diwaspadai dan dipertanyakan kebenarannya. Terlalu sering kita menemukan adanya distorsi dari kebenaran. Setiap orang dapat mengerti tentang keharuman bunga melati karena pernah menciumnya sendiri. Tidak biasanya orang menyukai atau tidak menyukai melati hanya dengan mendengar pendapat orang atau membaca tulisan mengenai bunga tersebut. Apakah pantas jadinya seseorang yang hanya tahu karena pemberitaan saja, sepenuh hatinya menaruh simpati atau pun benci, kepada George Bush atau Saddam Hussein yang tidak pernah dikenalnya secara pribadi? Semua berita tidak boleh ditelan mentah-mentah. Bahkan ibarat makanan, apa yang sudah dikunya pun kalau perlu boleh dibuang pada akhirnya.
Orang yang mudah terpengaruh dan terpancing oleh suatu pemberitaan sehingga tidak mampu mengendalikan emosinya akan menjadikan korban dari kebodohannya sendiri. Orang yang bijaksana akan mempertimbangkan apa yang didengarnya, tetapi tidak akan membiarkann dirinya terbawa mengikuti arah angin yang ditunggangi orang lain.
Menghadapi suatu berita dan pendapat, sama seperti menghadapi berbagai ajaranbahkan suatu hal yang sudah menjadi tradisi, Buddha menganjurkan agar setiap orang melakukan penyelidikan sendiri secara mendalam sebelum mengambil keputusan yang terkait erat dengan kepentingan diri masing-masing. Apa yang menyimpang dari kebenaran, yang tercela, dan apa yang tidak berguna, yang akan mengakibatkan kerugian atau penderitaan, sudah seharusnya disingkirkan. Sebaliknya apa yang benar, yang dibenarkan oleh orang-orang bijaksana, yang tidak tercela, apa yang berguna, yang akan membawa keberuntungan atau kebahagiaan selayaknya mendapat perhatian dan baik sekali mempengaruhi hidup seseorang.
“Bagaimana pendapatmu, orang-orang Kalama, kalau kebencian timbul dalam diri seseorang, apakah itu membawa keberuntungan atau kerugian?” demikian Buddha bertanya. Orang-orang Kalama, juga kita sekarang, mengakui bahwa kebencian hanya akan membawa kerugian. “Orang-orang Kalama, berangsiapa membenci, dicengkeram oleh kebencian, ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Orang itu mungkin akan memaksa dengan kekerasan hingga membunuh, mengambil sesuatu yang tidak menjadi haknya, melanggar kesusilaan, memutarbalikkan kebenaran dan juga memancing orang lain berbuat demikian. Tidakkah hal ini mengakibatkan kerugian dan penderitaan?” Selain kebencian, kegelapan batin dan keserakahan juga akan menimbulkan kerugian dan penderitaan.
“Seorang siswa yang telah bebas dari keserakahan dan kebencian, dan tidak lagi bingung, tetapi dapat mengendalikan dirinya dengan baik dan pikirannya terarah, batinnya dipenuhi oleh perasaan kasih sayang, oleh perasaan belas kaishan, oleh perasaan simpati dan keseimbangan batin yang ditujukan ke segala arah tanpa batas, bebas dari perasaan bermusuhan dan perasaan tertekan. Orang itu tidak akan ternoda, bersih, dan dalam penghidupannya akan memperoleh ketentraman.”[2]
Berita yang baik adalah berita yang membuat hati kita tentram. Satu kata damai lebih baik daripada banyak kata yang membangkitkan permusuhan. “Daripada seribu kata yang tidak berguna, lebih baik sekalimat kata yang bermanfaat, yang memberikan kedamaian bagi pendengarnya. Daripada seribu bait syair yang tidak berguna, lebih baik sebait syair yang bermanfaat, yang memberikan kedamaian bagi pendengarnya.”[3]
13 Februari 1991
[1] Dhammapada 54-56
[2] Anguttara Nikaya III, 7 : 65
[3] Dhammapada 100-101