Berkorban Bukan Menjadi Korban
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Dalam pelaksanaan pembangunan selalu ada pengorbanan. Tetapi bukan berarti harus ada korban pembangunan. Demikian ucap Wahono, Ketua Umum DPP Golkar. Apabila ada anggota masyarakat yang berkorban melepaskan haknya atas sebidang tanah untuk pembangunan, maka seharusnya pengorbanan itu membawa dampak kemakmuran yang dapat dirasakan oleh masyarakat yang berkorban itu.
Orang berkorban dengan keikhlasan. Agama mengajarkan pengorbanan dengan hati yang tulus. Ketulusan itu menghasilkan kegembiraan dan kepuasan dalam memberi. Memberi baginya bukanlah kehilangan. Dengan memberi sesungguhnya ia menanam, dan pada waktunya kelak orang yang menanam akan memetik hasil dari apa yang pernah ditanamnya. Orang-orang akan memberi sesuai dengan keyakinan mereka dan menurut kesenangan mereka. Barangsiapa terpaksa memberi tanpa kerelaan, ia dinamakan korban keterpaksaan. Ia menjadi korban. Ia kehilangan.
Buddha mengemukakan adanya sejumlah alasan yang membuat orang mau memberi atau berkorban. Ada orang yang memberi karena dorongan hati nurani. Ada yang memberi karena dengan itu batinnya memperoleh ketenangan dan kepuasan. Ada yang memberi untuk memperkaya dan memperlembut batinnya. Ada yang mengharapkan kebahagiaan di surga kelak di kemudian hari. Ada yang ikut-ikutan, mengikuti kebiasaan semata-mata. Mungkin pula ada orang memberi dengan diliputi perasaan tidak senang, memberi karena kebodohannya, dan memberi karena perasaan takut. Pada kesempatan lain Buddha menyatakan pula ada yang memberi spontan karena kehendak sendiri, ada yang memberi sebagai balasan atau mengharapkan balasan, ada yang mengharapkan namanya termasyhur, ada yang karena berpikir itulah suatu perbuatan yang baik.[1]
Semua calon Buddha berkorban karena dorongan hati nurani. Mereka tidak hanya ikhlas mengorbankan barang-barang yang dimiliki bahkan juga mengorbankan jiwa dan raganya sendiri. “Korbankanlah dirimu, dan itu adalah kewajibanmu sendiri, jangan sampai engkau diperintah orang lain?”[2]Sekalipun pengorbanan itu bagi orang lain merupakan suatu penderitaan, ia sendiri tidak merasakannya sebagai penderitaan. Ia justru merasa bahagia dan tidak pernah menyesali pengorbanannya. “Bila suatu perbuatan selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu adalah baik. Orang akan menerima buah perbuatannya dengan hati yang gembira dan puas.”[3]
Pembangunan menghendaki partisipasi aktif segenap lapisan masyarakat, baik dalam memikul beban pembangunan atau di dalam menerima kembali hasil pembangunan. Setiap usaha dan kegiatan pembangunan seharusnya membuat kehidupan setiap warga menjadi lebih baik. Kota semakin maju dengan menggusur gedung-gedung reyot dan perkampungan jembel. Banyak orang misalnya harus mengorbankan tanahnya untuk kepentingan proyek umum. Orang kecil dan orang melarat selalu tergusur. Mereka menjadi bertambah miskin, hidupnya menjadi lebih menderita karena ganti rugi tanahnya yang jauh terlampau rendah. Biasanya orang-orang itu terpaksa harus memberi karena kelemahan atau kebodohannya. Terpaksa berkorban karena perasaan takut. Mereka sebenarnya menjadi korban. Lalu pembangunan itu untuk siapa?
Buddha membandingkan orang yang berbuat tidak untuk keuntungan dirinya sendiri atau orang lain sebagai tunas teratai kecil, yang terbenam dalam lumpur. Orang yang berbuat untuk keuntungan orang lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri atau orang yang berbuat untuk keuntungan dirinya sendiri tetapi tidak untuk orang lain sebagai kuntum teratai dalam air atau kuntum yang belum mekar. Yang paling baik adalah orang yang berbuat untuk keuntungan dirinya sendiri sekaligus pula membawa keuntungan untuk orang lain, yang diibaratkannya sebagai bunga teratai yang mekar. Apa yang ingin dicapai dalam pembangunan seharusnya bagai teratai yang mekar ini, memberi keuntungan bagi semua pihak.[4]
Dalam pembangunan, orang yang memiliki kelebihan harus dapat membagikan kelebihannya kepada yang kekurangan. Orang yang lebih pintar membimbing orang yang kurang pintar. Orang yang kaya dapat membagi hartanya kepada orang miskin. Orang yang memiliki kekuasaan melindungi orang-orang yang lemah tak berdaya. Barangsiapa menghendaki kebahagiaan, dengan ikhlas ia mengorbankan segala miliknya untuk menolong orang-orang yang menderita. Ini bukan perintah. Ini kewajiban. Jangan sampai seseorang berkorban karena diperintah.
19 September 1990
[1] Anguttara Nikaya VII, 4:31 & 33
[2] Sanghyang Kamahayanikan
[3] Dhammapada 68
[4] Anguttara Nikaya IV, 19:96