Berpikir Sehat
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Segala hal tampaknya menjadi buruk di mata orang yang pesimis. Ia hanya melihat adanya masalah, tetapi tidak melihat adanya jalan untuk mengatasi masalah. Pikirannya suram dan putus asa. Orang optimis melihat segala yang baik, selalu penuh harapan dan melupakan apa saja yang tidak menyenangkan pikirannya. Buddha tidak pesimis, tidak juga optimis. Ia seorang realis. Ia mengajarkan agar orang berpikir sehat dengan memahami hidup ini seperti apa adanya.
Narada menjelaskan dengan mengambil contoh mawar berduri. Katanya, dunia ini diliputi mawar-mawar yang indah dan duri-durinya yang tajam. Hidup mengandung suka juga mengandung duka. Orang yang mengerti tidak akan terpengaruh oleh keindahan mawar sehingga mengabaikan durinya. Tidak pula ia mencela mawar karena duri itu. Ia akan melihat seperti apa adanya. Ia akan berpikir realistis. Berpikir tentang mawar seharusnya tidak melupakan durinya. Dengan mengetahui benar akan sifat duri, ia berlaku hati-hati agar tidak sampai terluka olehnya.
Melihat seperti apa adanya tidaklah mudah. Banyak orang tidak melihat dan menerima kenyataan yang sesungguhnya, sehingga sukar untuk berpikir sehat. Ia melihat atau mendengar sesuatu tetapi membayangkan yang lain. Hidupnya tidak dalam kenyataan melainkan dalam gagasan dan angan-angan. Orang jatuh cinta melihat wajah si dia di mana-mana. Orang sakit melihat wajah maut menakutkannya. Seorang pemalu mengira banyak mata yang memandangnya; banyak orang menertawakannya. Seorang pemarah mungkin berpikir orang-orang lain mengejek atau memusuhinya. Orang besar kepala melihat dunia memujanya. Orang lapar melihat ayam goreng atau mencium bau ikan bakar. Maka dengan mudahnya orang terpedaya. Tidak hanya orang lain, tetapi juga dia menipu diri sendiri.
Karena tidak memahami kenyataan seperti apa adanya, sebagian orang menjalani hidup bagai bersandiwara. Sebagaimana bermimpi dan mendapat kepuasan dengan bermabuk-mabukan. Atau ada yang mencari hidup yang lebih baik dengan bunuh diri. Peristiwa bunuh diri massal 923 orang pengikut suatu sekte keagamaan di Guyana pada tahun 1978 mengungkapkan kerinduan pada penyelamatan, Tetapi yang terjadi adalah kekejaman dan kebodohan. Baru-baru ini, 13 Desember 1990, kembali dunia dikejutkan oleh tragedi bunuh diri dalam ritual keagamaan yang meminta korban 12 orang di Tijuana, di perbatasan Meksiko-Amerika Serikat.
Orang sakit jiwa biasanya merasa sehat. Bahwa orang sakit menyadari bahwa dia sakit, maka sesungguhnya orang itu tergolong waras dan berpikir sehat. Orang tergolong bodoh bila tidak menerima kenyataan, menganggap dirinya pandai dan tidak merasa perlu untuk belajar lebih banyak dari orang lain. Dia tidak berpikir sehat. Sehubungan dengan itu Buddha berkata, “Jikalau orang bodoh menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan bijaksana; tetapi jika orang bodoh menganggap dirinya bijaksana, maka ia memang pantas dinamakan orang bodoh.”[1]
Memahami apa adanya bukan berarti menerima nasib tanpa berusaha memperbaikinya. Segala peristiwa terjadi dalam hubungan sebab akibat. Suka duka hidup manusia bukanlah tanpa penyebab. Oleh karena itu, orang yang mengetahui tentang penyebabnya dapat berusaha untuk menghentikan penderitaan atau mempertahankan kebahagiaannya. Dengan mengembangkan pandangan atau pengertian yang benar, kita melihat segala fenomena yang mengandung penderitaan, melihat asal mula penderitaan, melihat lenyapnya penderitaan dan jalan mengakhiri penderitaan itu.
Sabda Buddha, “Bila seorang siswa telah melihat dengan jelas dan memahami dengan pengertian yang benar, sebagaimana apa adanya, betapa sedikit pun kesenangan indrawi yang terpenuhi dan betapa parah pun penyakitnya atau kehilangan harapan, serta betapa banyak pun kekurangan yang dihadapi, ia tetap mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan di luar dari kesenangan indrawi dan bebas dari gangguan hal-hal yang tidak menguntungkan, atau mencapai sesuatu yang jauh lebih bermakna, sehingga ia tidak akan tertarik lagi akan rangsangan indrawi.”[2] Kebahagiaan yang sering kali diukur dari kepuasan panca indra hanya memberi kesenangan sesaat, tidak kekal; sehingga akhirnya kemudian menimbulkan kekecewaaan.
Jika orang ingin melenyapkan penderitaan dengan mematahkan sebab-sebabnya, ia harus dapat berpikir sehat, memahami apa itu pikiran yang baik, apa yang buruk dan dengan waspada menyadari betul timbulnya pikiran-pikiran itu. Buddha berkata, “Tiga hal yang menyebabkan permasalahan, menimbulkan penderitaan dan kesedihan, yaitu keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.”[3] Maka, pikiran yang benar bebas dari hawa nafsu, bebas dari itikad buruk dan bebas dari kekejaman.
19 Desember 1990
[1] Dhammapada 63
[2] Majjhima Nikaya 14
[3] Samyutta Nikaya III, 3 : 3