Bersih dan Sehat
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Kesehatan adalah salah satu unsur yang diperlukan dalam perjuangan hidup. Sebagaimana dinyatakan oleh Buddha, kita harus memelihara iman, kesehatan, ketulusan, semangat, serta pengertian tentang timbul dan lenyapnya penderitaan dalam hidup ini.[1]
Pembangunan di bidang kesehatan merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional. Pembangunan yang memajukan kesejahteraan umum berarti pula memenuhi kebutuhan setiap manusia untuk bebas dari penderitaan, termasuk bebas dari hal-hal yang mengganggu kesehatan. Hanya dengan memiliki kesehatan yang optimal kita dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia.
Sukses bayi tabung, operasi canggih seperti transplantasi sumsum tulang dan baru-baru ini pemisahan kembar siam kraniopagus menunjukkan kemampuan dokter-dokter kita tidak kalah dari negara maju. Pekerjaan besar itu menandai kemajuan dari upaya kesehatan di rumah sakit, namun tidak lantas mencerminkan kemajuan bangsa.
Kita masih menghadapi tingginya angka kesakitan penyakit menular, tingginya angka kematian bayi, kurangnya air bersih, buruknya kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Itulah permasalahan di tengah masyarakat yang menjadi tolok ukur derajat kesehatan atau pun kesejahteraan rakyat.
Derajat kesehatan dipengaruhi terutama oleh faktor lingkungan dan perilaku. Keduanya saling berhubungan. Perilaku bersih dan sehat akan menghasilkan lingkungan yang bersih dan sehat. Lingkungan yang bersih dan sehat mendorong perilaku serupa. Maka peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun ini menekankan bersih dan sehat. Pesan ini bukan hal baru, tetapi seringkali harus diulangi dan dipertegas. Semangatnya harus diperbaharui.
Para petapa yang menyiksa diri melalaikan kebersihan dan kesehatannya. Buddha tidak menemukan manfaat dari cara bertapa yang menyebabkan jasmani lemah dan rapuh. Dengan mengabaikan peranan jasmani tidak benar akan didapat pembebasan atau penyempurnaan roh. Buddha menyangkal adanya roh dalam pengertian diri atau aku yang berdiri tersendiri sebagai majikan dari tubuh. Menurut Buddha jasmani yang lemah menghambat perkembangan rohani. Jasmani (rupa) dan rohani (nama) membentuk suatu hubungan yang saling bergantungan. Tanpa adanya komponen rohani, badan jasmani tidak berkembang atau hidup. Tanpa materi jasmani, tidaklah mungkin kesadaran rohani terwujud.
Disiplin (vinaya) bagi para biksu memiliki latar belakang kehidupan sosial, yang tidak hanya menyangkut segi moral atau rohaniah, tetapi juga mencakup segi lahiriah. Sebagian dari disiplin itu berhubungan dengan kebersihan dan kesehatan. Misalnya ketentuan tidak menggunakan tangan yang kotor untuk mengambil tempat air, tidak memungut makanan yang jatuh dari mangkoknya, tidak sembarangan meludah dan buang air.
Para biksu telah melepaskan segala harta kekayaannya. Hanya terdapat empat macam kebutuhan pokok mereka: jubah, makanan, tempat berteduh, dan obat-obatan. Keempat macam kebutuhan itu dipandang menjamin pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup yang layak. Banyak petapa yang tidak berpakaian. Buddha menilai golongan itu tidak beradab. Memakai jubah dari kain bekas yang ditemukan di pekuburan lebih baik daripada telanjang. Namun para biksu yang memakai kain bekas itu sering terkena penyakit. Maka Buddha memberikan kesempatan kepada orang awam untuk mempersembahkan jubah bagi para biksu.
Seseorang memperoleh berkah sehat atau sebaliknya sesuai dengan karma yang diperbuatnya sendiri, termasuk karma masa lalu. Karena ketidaktahuan atau kebodohan, orang didorong oleh perasaan sendiri melakukan suatu bentuk karma melalui gerak gerik jasmani, perkataan, atau pikiran yang menimbulkan hal-hal yang menyenangkan atau menyakitkan pada diri sendiri.[2]
Konon Yama, dewa kematian mengingatkan, “Saudara, belum pernahkah engkau melihat di antara manusia, seorang perempuan atau seorang laki-laki, yang sakit, merana, menderita penyakit yang parah, menggeletak di atas najisnya sendiri, digotong oleh orang lain, dirawat di tempat tidur oleh orang lain?… Tidak pernah terpikir olehmu sebagai manusia yang berakal dan dewasa, aku pun mungkin akan mengalami sakit, aku tidak dapat mengingkarinya, maka baiklah aku melakukan hal-hal yang benar dengan perbuatan, ucapan, dan pikiran?” Karena lalai, seseorang akan menerima nasibnya sesuai dengan kelalaian itu. Perbuatan itu bukan dilakukan oleh ibu, ayah, saudara, kerabat, manusia lain, atau dewa, tetapi oleh diri sendiri, maka adalah adil orang itu sendiri yang mengalami buah daripadanya.[3]
Memelihara kebersihan adalah karma baik. Melalaikannya menghasilkan akibat yang buruk yang akan menimpa diri masing-masing. Bersih dan sehat pun bukan pekerjaan kecil, karena menyangkut orang banyak.
11 November 1987
[1] Anguttara Nikaya V, 53
[2] Anguttara Nikaya IV, 171
[3] Anguttara Nikaya III, 35