Biang Kerok Krisis
- By admin
- January 22, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Krisis ditandai kemerosotan atau kemunduran. Menurut Buddha ada empat penyebabnya, yaitu gagal menemukan kembali apa yang hilang, lalai memperbaiki apa yang rusak, konsumerisme, dan mengangkat pemimpin yang tidak bermoral (A. II, 249). Aung San Suu Kyi melihat di Myanmar yang hilang itu adalah hak-hak demokratis. Apa yang rusak dan tidak diperbaiki adalah nilai-nilai moral dan politik. Lainnya perekonomian diurus secara ceroboh dan penguasa negara tidak memiliki integritas dan kebijaksanaan. Dalam konteks krisis global ataupun krisis nasional kita dapat mengidentifikasi apa saja yang menjadi biang kerok kemerosotan atau kemunduran.
Masyarakat terbentuk dari keluarga. Apa kita menyadari ada yang hilang dalam keluarga kita? Suatu yang juga hilang dalam kehidupan bermasyarakat. Kita bisa menyusun sebuah daftar kehilangan: Integritas dan kejujuran, kepercayaan, tanggung jawab, kearifan, keseimbangan, kedamaian, dan lain-lain. Bagaimana dengan cinta? Perhatikan kasus-kasus yang mengagetkan belakangan ini, istri memutilasi suami atau sebaliknya, seperti juga ibu membuang bahkan mencekik bayinya. Di situ tidak ada lagi cinta. Kita semestinya tahu kalau kemiskinan mengetuk pintu cinta terbang lewat jendela.
Sikap dan Perilaku
Ada yang tidak hilang, tetapi rusak. Kita terbiasa mendengar akhlak yang bejat. Niels Mulder mengamati bagaimana tolong menolong dan gotong royong sering dieksploitasi. Banyak permintaan sokongan yang harus dipenuhi. Siapa yang berpangkat harus memelihara orang banyak dan untuk menjalankan kewajibannya dia tergantung dari pendapatan yang ”halus”. Guru-guru tidak diberi gaji yang cukup dan mereka harus ditolong oleh orangtua murid-muridnya. Di mana batas-batas di antara yang boleh dan yang tidak boleh lagi? Sampai pun di pasar satu ons menjadi 80 gram, oleh karena harga per ons sudah ditetapkan. Dalam hidup keseharian kita mengenal pungli, suap-menyuap, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Belakangan ini aparat kepolisian sadar akan kerusakan yang ditimbulkan oleh premanisme di jalan-jalan atau di mana saja, dan mulai melibasnya.
Keberanian bukan untuk membela yang benar. Mulai dari kanak-kanak sebagian orang belajar bermusuhan, membunuh, dan berani mati lewat bermain perang-perangan. Padahal apa pun alasannya perang membawa penderitaan. Di bangku sekolah pelajar disebut berani karena menyontek, melanggar disiplin, ikut tawuran. Orang berani melanggar peraturan lalu lintas, melakukan tindak kriminal, mengambil apa yang bukan merupakan haknya, melakukan hubungan seks di luar pernikahan, memakai dan mengedarkan narkoba. Kebringasan massa di mana-mana menunjukkan kekompakan dan keberanian untuk menakuti, menindas, dan merusak. Sementara persaudaraan luntur, toleransi hancur. Banyak sekali yang bisa dipelajari dari tayangan TV. Yang luar biasa menjadi biasa.
Sedangkan apa yang biasa, ketika ditawarkan oleh iklan-iklan TV dan media lain, menjadi luar biasa. Orang-orang dibuat terangsang untuk membeli dan membeli. Dalam skala rumah tangga konsumsi berlebihan tidak hanya menyangkut makan-minum, pakaian, dan kebutuhan primer lain, tetapi melebar pada segala kebutuhan sekunder. Kebutuhan bukan lagi betul-betul kebutuhan (need), melainkan sudah merupakan keinginan atau tuntutan (demand) yang tidak lain dari keserakahan. Keserakahan tidak dibendung, melainkan dilampiaskan. Banyaknya permintaan timbul karena adanya penawaran, tidak mesti karena kebutuhan. Penawaran menciptakan permintaan (supply creates demand). Kredit-kredit memberi kemudahan. Krisis nasional satu dekade yang lalu, dan krisis global dewasa ini dipicu oleh kredit bermasalah.
Konsumsi
Konsumerisme menjadi tujuan dari usaha produksi yang tumbuh subur untuk memberi keuntungan bagi para pemilik modal. Berdasar persaingan bebas sistem kapitalisme menguasai dunia, mengakibatkan peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, namun sebaliknya juga terjadi proses pemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang makin melebar. Pencemaran air, tanah, dan udara, penggundulan hutan terjadi atas nama pertumbuhan ekonomi. Industrialisasi dan peperangan menimbulkan kerusakan di bumi. Mereka yang kuat dan menjadi pemenang bisa mengambil sebanyak-banyaknya. Yang lemah harus menyerahkan sumber daya alam dan tenaga manusia dengan harga murah, terjerat utang, dan tetap tinggal miskin.
Siapa yang memimpin memiliki kekuasaan untuk mengatur orang lain. Seringkali penguasa menyalahgunakan kewenangannya, dan kekuasaan ditegakkan dengan kekerasan. Dia berusaha memaksakan keinginannya kepada orang lain, hampir tidak terpikir untuk mengendalikan atau mengubah dirinya sendiri. Tanpa moral yang baik pejabat sulit dibedakan dari penjahat. Kita memiliki pengalaman bagaimana para pemimpin bukan bekerja untuk rakyat, bukan melayani, sebaliknya malah menakuti dan menindas. Banyak pemimpin pandai berbicara, tetapi tidak merealisasi janjinya. Salah memilih wakil rakyat, kepala daerah atau kepala negara, jelas tidak akan membawa kemajuan.
Jakarta, 25 November 2008