Bicaralah, Jangan Asal Bapak Senang
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
“Semua pejabat, kita tanggalkan segala atribut, karena kita akan bicara seenaknya. Kita mau dengar keluhan dan saran masyarakat sebagai masukan. Bila rakyat ngomong, pertanda mereka mengikuti pembangunan,” ucap Gubernur Bengkulu Soeprapto. Demikian diberitakan ketika ia membuka dialog, masih di bulan November ini.
Tentu saja bicara yang benar, yang dimaksudkannya. Apa itu bicara yang benar? Buddha mengajarkan, bicara yang benar berarti, “Menghindari dusta, menghindari fitnah, menghindari perkataan yang kasar, menghindari omong kosong.”[1] Dengan mengucapkan dusta, fitnah, kata-kata kasar bahkan omong kosong yang tidak perlu, seseorang dinyatakan melakukan kejahatan dari perkataan (vaciduccarita). Dalam rumusan positif, bicara yang benar itu berarti berkata dengan jujur, mengucapkan kata-kata yang memberi ketenangan atau kedamaian, yang halus atau sopan, dan yang bijaksana.
Kata-kata yang tidak sesuai dengan kenyataan, apalagi tidak menyenangkan orang lain, adalah tabu bagi Tathagata dan pengikut-Nya. Secara tegas Buddha menerangkannya kepada Pangeran Abhaya.[2] “Apa saja kata-kata yang diketahui Tathagata tidak sesuai dengan kenyataan, tidak betul, tidak berhubungan dengan tujuan, dan yang tidak disenangi orang lain, menyakitkan mereka, kata-kata itu tidaklah diucapkan oleh Tathagata.
Sekalipun kata-kata itu disenangi orang lain, bila tidak sesuai dengan kenyataan, tak diperkenankan-Nya.” Apa saja kata-kata yang diketahui Tathagata tidak sesuai dengan kenyataan, tidak betul, tidak berhubungan dengan tujuan, tetapi disenangi orang lain, sepaham dengan mereka, kata-kata itu tidaklah diucapkan oleh Tathagata.”
Barangkali tak semua orang suka melaporkan suatu kejadian yang mereka tahu tak akan menyenangkan atasan. Barangkali karena takut kalau konduitenya menjadi kurang baik, bawahan menyembunyikan sesuatu atau melaporkan hal-hal yang membuat atasannya senang saja. Semua kata atau laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan apalagi kalau bukan dusta.
Dalam suatu pertemuan khusus soal serangan hama wereng di hadapan sejumlah gubernur dan aparat daerah, Presiden Soeharto mengingatkan agar tak perlu takut melaporkan yang sesungguhnya. Angka-angka laporan yang kurang benar akan mengancam kepentingan nasional. Angka yang tepat yang bisa digunakan untuk membuat rencana yang tepat pula.
Pada kesempatan lain di Yogyakarta, di tengah memperingati Hari Kesehatan Nasional, Kepala Negara yang bertanya apa benar gerakan pelaksanaan pembangunan diterima sebagai paksaan dan mematikan kehendak rakyat, minta dijawab seadanya. Jangan ditutup-tutupi atau melaporkan yang baik-baik saja, demikian kata Presiden. Beliau menegaskan bahwa pemerintah tidak punya niat untuk memaksa setiap program sehingga rakyat sampai kehilangan daya inisiatifnya. Rakyat harus bicara yang benar.
Masih mengutip pernyataan Buddha kepada Pangeran Abhaya, kata-kata yang sesuai dengan kenyataan pun hanya diucapkan bila berkaitan dengan suatu tujuan. “Dan apa saja kata-kata yang diketahui Tathagata sesuai dengan kenyataan, betul, tetapi tidak berhubungan dengan tujuan, yang tidak disenangi orang lain, menyakitkan mereka, kata-kata itu tidak juga diucapkan oleh Tathagata.”
Sekali pun orang lain menyenanginya, tanpa suatu tujuan tidaklah suatu kata itu berkenan menurut Buddha. “Dan apa saja kata-kata yang diketahui Tathagata sesuai dengan kenyataan, betul, tetapi tidak berhubungan dengan tujuan, meskipun disenangi orang lain, sepaham dengan mereka kata-kata itu tidak juga diucapkan oleh Tathagata.” Sebaliknya kata-kata yang sesuai dengan kenyataan, jelas bertujuan, apa disenangi orang lain atau tidak, diucapkan pada waktunya yang tepat.
“Serta apa saja kata-kata yang diketahui Tathagata sesuai dengan kenyataan, betul, berhubungan dengan tujuan, tetapi tidak disenangi orang lain, menyakitkan mereka, Tathagata menyadari saat yang tepat untuk menjelaskan kata-kata itu. Apa saja kata-kata yang diketahui Tathagata sesuai dengan kenyataan, betul, berkaitan dengan tujuan dan disenangi orang lain, sepaham dengan mereka, Tathagata menyadari saat yang tepat untuk menjelaskan kata-kata itu.”
Bicara memang tidak berarti selesai. “Orang yang banyak bicara, tetapi tidak berbuat apa-apa, harus dipandang sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu. Ia membuat pernyataan yang bersahabat tentang hal-hal yang telah lewat, tentang hal-hal yang akan datang, berusaha mendapatkan simpati dengan kata-kata gombal dan jika saatnya tiba untuk menunjukkan jasanya kepadamu ia menyatakan tidak sanggup.” Demikian petunjuk Buddha kepada pemuda Sigala.
Serta dinyatakan-Nya pula seorang penjilat ibarat musuh yang berpura-pura menjadi sahabat. “Ia membiarkan engkau berbuat salah, tidak menganjurkan engkau berbuat baik, di depanmu ia memuji-muji dan di belakangmu jangan menjelek-jelekkan dirimu.”[3]
26 November 1986
[1] Digha Nikaya 22
[2] Majjhima Nikaya 58
[3] Digha Nikaya 31