Bila Nafsu Seks Padam
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Memenuhi permintaan Buddha, raja menunda kremasi jenasah Sirima, seorang pelacur kelas atas. Pada hari keempat mayat mulai membusuk. Lalu seluruh warga ibu kota diwajibkan menyaksikan mayat tersebut. Ketika itu raja mengumumkan, bahwa ia akan menyerahkan Sirima dengan bayaran seribu kahapana. Tak seorang pun yang mau membayarnya. Harga itu diturunkan, hingga akhirnya di bawah satu kahapana. Namun diberi cuma-cuma pun tidak ada orang yang bersedia menerima. Sedangkan pada saat hidupnya, tubuh Sirima berharga seribu kahapana untuk satu malam.[1]
Itulah gaya pendidikan seks Buddha. Ihwal seks memang masuk juga dalam lingkup ajaran agama. Setiap manusia mempunyai naluri seks. Hal ini merupakan keadaan yang normal. Karena tidak semua orang memahami dengan benar dorongan naluri tersebut, maka sering timbul masalah seksualitas. Penyebab permasalahan seks bukanlah pengetahuan, melainkan ketidaktahuan atau kesalahtahuan. Ketidaktahuan dan nafsu yang rendah adalah penyebab penderitaan.
Aganna Sutta menguraikan, makhluk atau manusia pemula di bumi ini belum terbagi menurut jenis kelamin. Kemudian sejalan dengan evolusi bumi dan segenap isinya, sesuai dengan karmanya masing-masing, tubuh para makhluk hidup itu memperlihatkan perkembangan yang berbeda, antara lain dalam hal jenis kelamin. Makhluk berbeda jenis kelamin itu saling memperlihatkan dan memikirkan satu sama lain secara berlebihan, sehingga timbul nafsu birahi yang membakar tubuhnya.[2]
Bergantung pada ketidaktahuan, muncullah bentuk-bentuk karma. Bergantung pada bentuk-bentuk karma, muncullah kesadaran. Bergantung pada kesadaran, muncullah batin dan jasmani. Bergantung pada batin dan jasmani, muncullah enam landasan indra. Bergantung pada enam landasan indra, muncullah kontak. Bergantung pada kontak, muncullah perasaan. Bergantung pada perasaan muncullah keinginan. Bergantung pada keinginan muncullah kemelekatan. Bergantung pada kemelekatan, muncullah penjelmaan. Bergantung pada penjelmaan, muncullah kelahiran. Bergantung pada kelahiran, muncullah kelapukan, kematian, dan penderitaan lain.[3] Rangkaian mata rantai dari Hukum Patticca-samuppada ini berlaku pula untuk menjelaskan hubungan ketidaktahuan dan nafsu keinginan dalam konsepsi seks.
Mencapai Nirwana berarti mematahkan mata rantai itu. Sebelum sampai pada Kesempurnaan Yang Mutlak, seorang manusia menjalani lingkaran kehidupan dari alam yang satu ke alam yang lain. Nirwana di luar alam kehidupan tersebut. Orang-orang suci tidak akan dilahirkan kembali di neraka atau alam rendah. Orang suci yang telah mencapai tingkat kesucian pertama, yaitu Sotapanna, masih akan mengalami tumimbal-lahir paling banyak tujuh kali di bumi atau di surga. Ia yang mencapai tingkat kesucian kedua, yaitu Sakadagami, dan akan dilahirkan paling banyak satu kali lagi. Dua tingkat kesucian ini dapat diraih oleh orang-orang yang menjalani hidup perkawinan, yang belum meninggalkan kegiatan seks.
Tetapi tingkat kesucian berikutnya, yaitu Anagami dan Arahat yang telah mencapai Nirwana tidak mungkin dapat diraih oleh orang yang belum membasmi segala belenggu termasuk kegiatan seks. Orang yang pernah kawin tidak kehilangan kesempatan untuk mencapai Nirwana. Tetapi secara alamiah nafsu seksnya akan padam dalam perjalanan mencapai kesempurnaan. Nafsu seks yang menurun lalu padam merupakan isyarat pencapaian kesucian. Orang-orang yang telah padam nafsu seksnya ini merasa bahagia. Visakha dan Dhammadinna merupakan contohnya.[4] Tentu saja tidak mungkin orang-orang suci memerlukan ahli syahwat.
Buddha mengharuskan para muridnya yang rahib untuk hidup mengendalikan nafsu indra dan berpantang hubungan seks (brahmacari). Peraturan patimokkha atau disiplin para rahib menyatakan, hubungan kelamin sebagai kesalahan terberat (parajika) yang tidak dapat diampuni dan pelakunya diusir dari Sanggha. Ia yang melakukan masturbasi diharuskan melakukan pengakuan dan memerlukan pengampunan atau bisa diusir dari Sanggha (sanghadisesa).
Ada seseorang yang selalu tidak dapat menahan nafsu birahinya dan ingin memotong alat kelaminnya. Sabda Buddha, “Daripada engkau memotong alat kelaminmu, lebih baik engkau memotong pikiranmu. Pikiran bagaikan sang komandan, bila ia berhenti, dengan sendirinya tiada lagi pengikutnya. Bila pikiran sesat itu tidak dihentikan, apa pula gunanya memotong alat kelamin?” Melenyapkan nafsu seks dilakukan dengan cara melatih diri, tidak dengan menggunakan ramuan obat atau cara kebiri, misalnya.
“Kekayaan dan nafsu seks bagi manusia sukar dilepaskan. Bagaikan madu yang berada di mata pisau yang tajam, tidak cukup nikmat untuk mengenyangkan perut, tetapi andaikata terjilat oleh anak kecil akan melukai lidahnya”[5]
Maka umat perumahtangga dibenarkan memenuhi dorongan seks secara wajar dalam hidup perkawinan. Mereka diikat dengan ikrar untuk tidak berzinah. Sila ketiga dari Pancasila yaitu: Kamesu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami, aku bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila.
“Perzinahan, melakukan sendiri, menganjurkan, mengizinkan, ini membawa orang ke neraka, ke alam binatang, ke alam setan. Sekurang-kurangnya menjadikan orang itu akan dimusuhi lingkungannya.”[6]
19 Agustus 1991
[1] Vimanavatthu 16
[2] Digha Nikaya 27
[3] Samyutta Nikaya XII, 3:22
[4] Majjhima Nikaya 44
[5] Sutra Empat Puluh Dua Bagian
[6] Anguttara Nikaya VIII, 40