Bohong di Tengah Kenyataan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Banyak wanita yang enggan menjawab kalau ditanya tentang umurnya. Atau dengan malu-malu mungkin ia menyebutkan suatu angka yang lebih muda dari sebenarnya. Ia berbohong. Mungkin juga ia berkhayal sebelum setua usia seharusnya. Apa salah asal menjawab, bilamana yang mendengar jawaban itu tidak merasa dibohongi. Lalu masyarakat menerimanya sebagai suatu kebiasaan yang wajar.
Bohong itu tidak benar, tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sebagai perbuatan, bohong ditentukan oleh pikiran yang mendahului, pikiran yang memimpin dan membentuknya. Seorang ilmuwan tidak berbohong ketika mengumumkan kebenaran dari teorinya, sekalipun di kemudian hari teorinya dinyatakan tidak benar. Seorang pengarang pandai mengkhayal dan menulis kisah yang tidak perlu benar, tetapi ia tidak bermaksud bohong. Sebaliknya ia mencipta dengan maksud baik. Ia menulis sejujurnya dengan pikiran yang bersih. Kalau ia berbohong, cerita yang tidak sebenarnya ini justru diperlukan oleh orang-orang yang memetik manfaat atau paling tidak terhibur karenanya. Maka, sang pengarang tidak berbohong, tetapi dinamakan kreatif dan imajinatif.
Sejak kanak-kanak, manusia sangat akrab dengan fantasi kalau tidak disebut kebohongan, yang datang dari dongeng-dongeng. Sedangkan isi dongeng mungkin mengajarkan untuk jujur atau tidak berdusta. Maka sang kancil misalnya, boleh dinamakan cerdik, tidak bertujuan bohong.
Bohong dimulai dari belajar. Tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi pembohong. Seharusnya orang percaya pada kebenaran dan kejujuran. Namun ketika berpegang pada kejujuran malah menghasilkan kekecewaan dan penderitaan, orang lalu belajar berdusta. Kalau berbicara sejujurnya takut dihukum, maka orang berdusta untuk menghindari hukuman. Dengan berbohong orang menutupi aib, menarik perhatian, dan menemukan berbagai keuntungan. Berbohong menjadi alat untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sudah barang tentu hal ini hanya dimungkinkan sepanjang belum atau tidak ketahuan. Tujuan tidak menghalalkan cara.
Orang yang berpengalaman “kumpul kebo”, bisa mengaku dan digolongkan perawan atau perjaka ketika saatnya kawin resmi. Tetapi dia yang berstatus kawin mengaku bujang, lalu mengawini orang lain, adalah pembohong yang melanggar hukum. Seorang penduduk Botabek boleh mengaku warga Ibukota karena bekerja di sana, tetapi berbohong bila memiiki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta. Orang kaya boleh saja mengaku miskin, tetapi tidak untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Mahasiswa putus kuliah tidak dilarang membual memiliki IQ tinggi, tetapi memiliki ijazah dan menyandang gelar sarjana merupakan soal lain.
Jika seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran yang buruk, maka penderitaan akan mengikutinya. Terlepas dari soal apakah orang lain tahu dibohongi atau tidak, akibat dari perbuatan itu akan mengikuti si pembuat bagai roda pedati selalu mengikuti langkah lembu yang menariknya.[1] Seorang pembohong tidak saja mendustai orang lain, ia pun menipu dirinya sendiri pula. Sering berdusta menyebabkan terbentuknya penyimpangan kepribadian. Buddha menamakan pembohong dan orang dengan perbuatan anti sosial lain sebagai sampah masyarakat.
“Para siswa, berdusta itu, apakah menyetujui, melakukan, menambah, membawa seseorang ke neraka, ke alam binatang, ke alam iblis, setidak-tidaknya menyebabkan orang itu menanggung umpatan dan tuduhan.”[2] Hidup yang akan datang ditentukan oleh perbuatan sebelumnya. Akibat dari perbuatan buruk yang disengaja itu tidak harus terjadi dalam kehidupan sekarang ini. Tetapi jelas Buddha mengingatkan. Sangat mungkin seseorang segera menanggung akibatnya, yaitu hukuman dari masyarakat atau negara. Dan sekali Iancung keujian, seumur hidup orang tak percaya.
Lebih jauh lagi Buddha mengajarkan tentang ucapan yang benar. Ucapan yang benar berarti bersih dari dusta (musavada), tidak mengandung fitnah (pisunavaca) yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, dan perpecahan, tidak menggunakan kata-kata yang kasar atau tidak sopan (pharasavaca), serta menghindar dari pergunjingan dan percakapan yang tidak bermanfaat atau sia-sia (samphappalapa).[3]
Meminjam kata-kata Menteri Kehakiman Ismail Saleh, “Gunung bergeser, silakan! Laut meluap, silakan! Tetapi wibawa hukum tidak boleh pudar. Untuk itu semua aparat harus bersikap jujur, tegas, berwibawa, bersih, dan berketeladanan.”
Memang, zaman boleh berubah. Tetapi, jujur, tidak berdusta, dan selengkapnya ucapan yang benar harus dipertahankan. Cahaya Dharma tidak boleh pudar.
15 Pebruari 1989
[1] Dhammapada 1
[2] Anguttara Nikaya VIII, 4;40
[3] Majjhima Nikaya 51