Budaya Diam
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Cukup banyak tanggapan masyarakat terhadap Daftar Calon Sementara yang diajukan oleh organisasi peserta pemilihan umum. Soepardjo, Menteri Dalam Negeri/Ketua Panitia Pemilihan Indonesia menilai tanggapan itu menggembirakan. Adanya tanggapan menunjukkan rakyat menaruh perhatian. Namun bagaimana jika seorang calon tidak ditanggapi? Calon tersebut dianggap mantap.
Apa artinya bila rakyat diam, tidak mengajukan tanggapan terhadap suatu persoalan? Barangkali diam adalah perwujudan sikap dari orang yang tidak menaruh perhatian. Barangkali diam diartikan takut. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr. Suhardiman, budaya diam disebabkan takut. Lalu bagaimana dengan peribahasa: Diam itu emas?
Dalam permusyawaratan Sanggha, himpunan para biksu, diam diartikan sebagai tanda setuju. Misalnya ditunjukkan oleh Sanggha ketika mencapai kesepakatan agar lima ratus biksu senior membacakan semua ajaran Buddha segera setelah Sang Guru mangkat. Maha Kassapa antara lain menyatakan, “Kalau Sanggha menyetujuinya, maka aku harap Sanggha diam; Dan kepada mereka yang berkeberatan aku persilakan untuk bicara.”[1]
Diam sebagai tanda persetujuan sudah menjadi tradisi yang berasal dari Sang Guru sendiri. Apabila ada umat perumah tangga, termasuk raja sekalipun, mengundang Buddha, Ia menyatakan persetujuan dengan cara diam. Kronologis menurut kitab Vinaya, setelah menahbiskan lima murid pertama, Buddha menerima Yasa sebagai murid berikutnya. Ayah Yasa mengundang Sang Guru ke rumahnya. Ketika itu Buddha menerima undangan dengan cara diam. Artinya, kemudian Ia memenuhi undangan tersebut.[2]
Diam itu emas manakala diam merupakan pernyataan sikap yang membawa manfaat. Diilustrasikan dengan sebuah kisah seorang pangeran yang tidak bisu namun hampir tidak pernah bicara. Raja mengumumkan bahwa barangsiapa dapat membuat pangeran berbicara, ia akan diberi hadiah. Ketika keluarga istana berburu, dua ekor burung murai yang berkicau sambut-menyambut menjadi korban panah pemburu. Sang pangeran yang berkeyakinan diam membisu itu baik, merenungkan bahwa jika burung itu tidak bersuara mereka akan tetap selamat. Terdorong oleh rasa iba, seketika pangeran berkata, “Mengapa engkau berkicau?” Seorang prajurit yang mendengar suara pangeran merasa gembira dan bergegas melaporkannya kepada raja. Namun setelah itu tetap saja pangeran tidak berbicara. Raja pun berpendapat bahwa prajuritnya berdusta, sehingga harus dihukum. Maka prajurit itu meratap agar dikasihani oleh sang pangeran. Sekali lagi pangeran merenungkan manfaat dari membisu. Bukankah prajurit itu mengundang bencana dengan mengucapkan beberapa kata saja? Untuk menyelamatkan dia, pangeran akhirnya berkata di hadapan orang banyak, “Mengapa engkau bicara?” Dan selamatlah prajurit itu.
“Satu kata yang bermanfaat yang dengan mendengarkannya akan membuat orang menjadi tenteram, adalah lebih baik daripada seribu kata yang tidak bermanfaat.”[3] “Orang yang berbicara tak benar akan pergi neraka. Demikian pula ia yang berbuat namun mengatakan: aku tidak melakukannya.”[4]
Diam berhubungan dengan pengendalian dan upaya menjaga kewaspadaan. Buddha mengajarkan kita untuk selalu berjaga mengawasi rangsangan, senantiasa mengendalikan jasmani, ucapan, dan pikiran. Setelah menghentikan perbuatan yang tidak pantas, giat melakukan perbuatan-perbuatan baik. Orang bijaksana terkendali dengan baik.
Maka diam tidak dengan sendirinya berarti pasif. Buddha menyerukan, “Bangun, jangan lengah! Tempuhlah kehidupan yang benar. Barangsiapa menempuh kehidupan benar, ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia selanjutnya.”[5]
Seorang siswa bertanya kepada gurunya, Biksu Tienhuang (748-807M), “Semenjak aku datang ke sini untuk belajar dari guru, sampai hari ini aku belum mendapat petunjuk dan bimbingan darimu. Aku mohon agar guru berkenan memberi bimbingan.” Sang guru menjawab, “Semenjak engkau datang, bukanlah setiap saat aku memberi petunjuk?” Muridnya bertanya, “Petunjuk apa yang engkau berikan, sepatah kata pun aku tidak pernah mendengarnya?” Kata Tienhuang, “Pada waktu engkau memberi air teh, bukankah aku mengucapkan terima kasih? Pada waktu engkau mengambilkan nasi, bukanlah aku pun mengucapkan terimakasih? Setiap pagi ketika engkau memberi salam, bukanlah aku juga membalas salammu? Setiap saat aku memberi bimbingan dan petunjuk, apa ada yang terlalaikan?” Makna percakapan ini yaitu: diam yang dipandang karena tidak bereaksi secara formal bukanlah tanpa makna. Diam menyertai kegiatan sehari-hari dan mengandung isyarat atau petunjuk.
“Bilamana suatu perbuatan selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu adalah baik. Orang akan menerima buah perbuatannya dengan hati yang gembira dan puas.”[6] Dengan memahami diam sebagai perbuatan yang baik, sekalipun tidak sempat ikut membuat pernyataan, kebulatan tekad menyukseskan pemilu akan muncul dalam tindakan nyata.
25 Februari 1987
[1] Culla Vagga XI
[2] Maha Vagga I
[3] Dhammapada 100
[4] Udana IV, 8
[5] Dhammapada 168
[6] Dhammapada 68